Category Archives: Inspiration

BURUNG – lukisan karya Eddy Yoen. Menggambar energi dan dinamisme.

Standard
Burung – karya pelukis Eddy Yoen

Salah satu lukisan lain yang dipajang di pameran lukisan “Cinta Puspa dan Satwa” di Bekasi, yang juga menarik hati saya, adalah lukisan seekor burung yang hinggap di sebuah dahan. Yang tampak detail pada lukisan itu adalah wajah burung, terutama matanya yang belo, paruhnya yang tajam dan dahinya. Sisanya seolah tertiup angin bara panas yang membakar.

Jika melihat bentuk paruh dan dahinya yang seperti itu, tentulah ia sejenis burung raptor atau setidaknya jenis burung omnivora atau yang masih sekeluarga dengan elang kecil. Yang pasti bukan jenis burung parkit yang berparuh bengkok, berjidat jenong, kemayu dan unyu-unyu.

Ia adalah burung yang kuat dan tabah. Wajahnya tetap tenang, walau banyak masalah yang terjadi di selilingnya.

Saya suka tarikan warna satu arah ke belakang burung ini yang mengesankan sebuah gerakan angin atau entah kobaran api yang membuat keseluruhan lukisan terlihat hidup dan dinamis. Mengingatkan saya akan karya-karya patung Nyoman Nuarta. Ia mampu membuat sebuah benda mati (patung) menjadi tertangkap energi dan dinamismenya. Lukisan burung ini serupa itu. Energi dan dinamismenya tampak tertuang dengan baik.

Efek interpretasi yang diciptakan bisa macam-macam. Tergantung penonton sih.

Seolah burung itu baru hinggap dalam keadaan mendadak, mirip sebuah pesawat yang ngerem dalam keadaan mendarat darurat.

Bisa juga diinterpretasikan sebagai seekor burung yang menclok di dalam kobaran hutan yang terbakar.

Atau bisa juga seolah burung itu datang dari sebuah perjalanan panjang, dimana ia telah banyak membakar energinya hingga akhirnya bisa mendarat dengan selamat di tempat ini. Walau sekitar terbakar, tapi tampaknya ia masih baik-baik saja.

Nah…tentu itu adalah interpretasi yang dibuat oleh penonton lukisannya.

Tetapi, yang paling paham tentang apa sesungguhnya yang ingin disampaikan lewat lukisan ini, tentu saja pelukisnya sendiri yang tahu.

Pelukis Eddy Yoen dan karyanya ” Burung,”

Pelukisnya adalah Bapak Eddy Yoen – yang saat itu, kebetulan juga sedang ada di tempat pameran. Sekalianlah saya tanyakan kepada beliau tentang lukisannya itu.

Pak Edddy Yoen menjelaskan bahwa perjalanan burung yang baru saja mendarat itu serupa dengan perjalanan hidupnya yang penuh dinamika. Di dunia yang serba tergesa-gesa, semua butuh kecepatan tinggi, lari dari satu karya ke karya lain, dari satu pameran ke pameran yang lain.

Cocok kayaknya penggambarannya begini.

Selamat dan sukses untuk Pelukis Eddy Yoen.

GOSONG

Standard

Hari ini saya bangun kesiangan wk wk wk.
Tapi karena hari Minggu, bukan hari sekolah atau hari kerja – ternyata tetanggapun banyak yang belum mematikan lampu rumahnya (kemungkinan besar memang belum bangun juga 😃).

Jadi saya mulai jalan setelah matahari naik. Baru beberapa menit, keringat sudah ngocor, karena memang sinar matahari sudah mulai panas. Tapi saya bertekad, minimum 3000 langkah pagi lah. Tidak boleh kurang.

Jadi saya terus jalan di bawah sinar matahari pagi dan menguatkan keyakinan diri saya bahwa sinar matahari pagi itu penting untuk kesehatan dan perbaikan sel-sel tubuh mahluk hidup. Sinar matahari itu adalah obat. Buktinya tanaman baru bisa tumbuh subur setelah mendapat sinar matahari, selain air dan pupuk tentunya.

Ya betul. Cahaya -Air -Makanan, itu adalah tiga serangkai elemen untuk kehidupan.

Sangat penting untuk selalu berpikir positive 😎🤩

Ketika sampai di ujung taman, saya berpapasan dengan dua Ibu-Ibu yang sedang jalan pagi juga. Saya belum pernah bertemu dengan mereka sebelumnya. Nggak begitu jelas juga karena wajahnya tertutup masker. Tetapi saya yakin mereka adalah tetangga saya di perumahan ini, entah yang di blok mana.

Kami pun saling tersenyum.
“Pagi Bu” sapa Ibu yang berkaos hijau yang posturnya lebih tinggi, kepada saya. Saya segera membalas ucapan selamat paginya dengan riang. Senang bertemu sesama pejuang kesehatan.

“Wah… ibu kuat sekali” komentar ibu yang satunya yang memakai kaos warna hitam.

Saya belum menangkap arah pembicaraannya. Saya kuat? Kuat bagaimana ya? Apa mereka sering melihat saya olah raga jalan pagi, sementara saya kurang memperhatikan mereka ya? (Ge Er – serasa diri seperti orang yang populer 😎😎🤣).

“Nggak takut sinar matahari, Bu? ” tanyanya lagi melanjutkan, sambil tertawa. Ia memeragakan orang-orangan sawah, dimana kedua tangannya yang tertutup lengan baju yang kepanjangan diangkat ke atas setinggi leher, sehingga sisa lengannya melambai-lambai.

Oooh… astaga! Ibu ini lucu banget 🤣🤣🤣

Sayapun memperhatikan kostum ibu-ibu itu yang rupanya memang agak luar biasa pagi ini 😀

  • Keduanya menggunakan outfit yang serba tertutup.
  • Celana panjang (yang satu jeans, yang satunya lagi kayaknya berbahan kaos). Di bawahnya tentu tertutup dengan sepatu dan kaos kaki.
  • Atasan kaos lengan panjang (dengan panjang melebihi jari tangannya – sehingga tangannya bisa disembunyikan di dalam lengan kaos agar tak kena sinar matahari).
  • Lalu hijab yang panjang yang pastinya menutupi kepala, rambut dan lehernya.
  • Setelah itu masih memakai topi yang memiliki visor yang panjang lagi di atas hijabnya (ini pasti untuk memastikan sinar matahari tidak mengenai dahinya 😀)
  • Memakai masker untuk menutupi daerah dagu, mulut dan hidungnya.
  • Terakhir ditutup dengan kacamata gelap ray-band.

Ha ha…luar biasa memang ibu-ibu ini !!! 😀 Jadi memang tidak ada satu celahpun yang memungkinkan sinar matahari mengenai langsung ke tubuhnya.

“Takut gosong, Bu” katanya terbahak.

Saya pun melihat ke kulit lengan saya. Hampir setiap pagi saya terpapar sinar matahari, walaupun biasanya belum sepanas ini. Nambah gosong dikit kelihatannya tidak terlalu nampak bedanya, karena dasarnya memang sudah rada gosong dari lahirnya.

“Puun” kata orang Bali 😂😂😂

Lukisan Wangi Kopi.Karya Titik Sundari.

Standard
Lukisan Kopi Titik Sundari

Salah satu keuntungan bersedia diajak menari oleh teman, adalah tanpa diduga saya mendapatkan hadiah sebuah lukisan diri saya yang terbuat dari kopi dan wangi kopinya kemana-mana. Wow! Keren banget 🙂👍👍👍

Lukisan dari kopi?
Iya beneran! Saya baru melihat sebuah lukisan yang dibuat dengan kopi. Lukisan itu diserahkam langsung oleh pelukisnya , Mbak Titik Sundari kepada saya.

Seketika saya meraba lukisan yang baru saja kering itu dengan takjub dan nyaris tak percaya. Karya lukis artist yang biasa dipanggil Mbak Ndari ini terlihat detail. Di juga memainkan tebal tipis cairan kopi itu di beberapa bagian lukisan untuk mendapatkan kedalaman.

Wangi kopinya masih tercium sangat kuat. Wangi yang nagih.

Selain itu, saya juga heran, bagaimana ia membuat lukisan itu menjadi sangat mirip dengan wajah saya dan dikerjakan hanya dalam waktu yang singkat.

Terimakasih Mbak Titik Sundari

Saya jadi pengen berguru kepadanya 😀

SUATU SIANG DI TOKO ROTI.

Standard

Kapan hari saya hendak menghadiri sebuah acara di tengah kota. Habis menengok anak seorang teman yang sedang dirawat di rumah sakit. Acaranya akan dimulai jam 13.00.

Wah, saya belum sempat makan siang. Mampirlah saya di sebuah toko roti alias bakery di tepi jalan yang saya lewati. Salah satu bakery yang saya sukai.

Saya masuk ke toko ber-AC itu . Ummm…. segarnya. Terasa sejuk setelah sebelumnya saya tertimpa udara panas kemarau yang menyengat. Segera saya menuju tempat nampan dan penjepit makanan yang terletak tak jauh dari pintu masuk.

Tepat ketika saya mengangkat nampan, bahu saya didorong oleh seseorang dari belakang. Saya kaget. Rupanya seorang perempuan lebih muda dari saya baru masuk dan bergegas hendak mengambil nampan kue juga. Wajahnya cantik, dengan dandanan rapi, make up lengkap bahkan dengan bulu mata palsu, mengenakan pakaian dan sepatu yang saya rasa mahal harganya.

Sayapun mengalah dan mundur sedikit ke belakang arah samping agak menjauhinya. Saya pikir, mungkin ibu itu sedang perlu kue buru-buru.

Terlihat oleh saya ia mengambil penjepit makanan dari gantungannya dengan cepat. Tiba-tiba…Gedombrang!!!. Saya kaget. Mungkin karena ditarik dengan terburu-buru, beberapa penjepit makanan yang tergantung itu saling menyangkut satu sama lain dan jatuh ke lantai.

Sesaat saya hanya berdiri diam dan tidak melakukan apa-apa. Sementara pelayan toko yang berdiri agak jauh pun terlihat kaget dan menoleh ke arah saya dan ibu itu.

Saya sangka ibu itu akan meminta maaf pada pelayan toko dan mengambil kembali penjepit-penjepit kue itu dari lantai dan meletakkannya di atas meja. Tapi, lho?! Ternyata Ibu itu melenggang ke dalam begitu saja dan membiarkan penjepit-penjepit itu tetap berserakan di lantai. Oh ya sudahlah. Mungkin ia benar-benar terburu-buru, pikir saya.

Akhirnya saya bantu mengambil penjepit-penjepit itu dan mengumpulkannya di satu nampan, agar bisa dicuci oleh pelayan toko. Sudah jatuh di lantai yang mungkin sudah diinjak-injak sepatu pengunjung sebelumnya. Tentu kotor dan tak higienis jika digunakan oleh pembeli selanjutnya.

Saya dengar Ibu itu bertanya kepada petugas toko tentang nama kue ini apa, itu apa, isinya apa, mengapa yang ada hanya isi daging sapi, yang daging ayam mana, dan sebagainya dengan nada keras dan kuramg bersahabat.

Berikutnya ibu itu berteriak marah kepada pelayan dan berkomentar mengapa jumlah kue basah yang tersedia di toko ini sedikit sekali. Para pelayanpun dengan ekspressi sedikit takut menjelaskan bahwa, tinggal itu sisa kue basahnya, karena yang lainnya sudah terjual. Ibu itu kelihatan tidak puas akan penjelasan pelayan toko itu. Ia masih mengomel dengan nada tinggi. Dua orang pelayan toko yang ada di situ, kelihatan ngeper. Berusaha melayaninya dengan sesopan mungkin.

Setelah memilih beberapa kue, saya menuju kasir. Di sebelah counter kasir ada beberapa arem-arem yang dipajang. Ada yang isi ayam dan ada yang isi ikan. Saya mengambil sebuah arem-arem isi ikan dan menambahkan ke nampan. Akhirnya saya selesai memilih kue. Tinggal bayar.

Sayapun berdiri di depan kasir dengan nampan yang sudah berisi beberapa kue dan siap membayar. Tanpa disangka, tiba-tiba ibu yang tadi, menyenggol lengan saya dengan nampannya. Astaga! Ia menyerobot antrian saya dan langsung meletakkan nampannya sendiri yang penuh dengan kue di depan meja kasir di depan saya. Sang kasir tampak bengong melihat ke arah ibu itu.

“Saya duluan !!!!” Perintahnya pada kasir, tanpa memperdulikan saya.

Tampak sekali ia terburu-buru. Sebenarnya itu sungguh perbuatan yang tidak sopan sama sekali. Tapi okelah, pikir saya ibu itu mungkin memang terburu-buru karena takut telat datang ke sebuah acara yang entah apa. Saya memahaminya. Sebaiknya saya mengalah saja. Lagipula saya sedang tidak terlalu terburu-buru amat. Sayapun agak mundur dan kembali berdiri di depan pajangan arem-arem di sebelah kasir sambil menunggu.

Tanpa saya duga, tiba-tiba ibu itu kembali menyenggol lengan saya karena tergesa-gesa mau mengambil arem-arem yang di pajang persis di sebelah saya. Lho?! Ini main tabrak saja dengan gerakan yang tiba-tiba. Tidak memberi isyarat sedikitpun, boro-boro bilang permisi.

Sungguh saya heran. Padahal pengunjung toko hanya ada dua orang saat itu. Yaitu saya dan ibu itu saja. Dan tokonya juga luas. Harusnya ibu itu tidak perlu menyenggol saya sama sekali. Lha ini TIGA KALI lho! Pertama di dekat counter nampan dan penjepit kue. Kedua karena mau bayar duluan di kasir. Ketiga gara-gara mau ngambil arem-arem.

Mengapa harus begitu ya? Tapi ibu itu tidak peduli sama sekali. Aneh! Sungguh aneh!

Setelah kejadian itu, dengan nampan kue yang sudah ia letakkan di depan kasir agar kasir tidak mendahulukan meladeni pembayaran pembeli lainnya, saya pikir ia akan langsung membayar. Eeh, ternyata ia masih celingak-celinguk melihat-lihat roti lain dan ternyata belum siap membayar juga. Lha, maksudnya apa ini? Masak saya harus menunggu orang yang masih belum siap membayar?

Saya mulai merasa terganggu oleh gedubrak-gedubruk kelakuan tak jelas dari ibu itu. Rasanya ingin marah, tapi saya berusaha mengontrol emosi saya.

Syukurnya, tepat ketika saya akan menegur, sang kasir mulai menghitung harga kue saya di mesin kasir dan memberi saya kode mata seolah minta maaf dan meminta agar saya tak meladeni ibu itu. Perhatian saya jadi beralih ke kasir dan kemarahan sayapun mereda.

“Eh, saya yang duluan lho!!!” kata Ibu itu marah melihat kasir meladeni saya.

“Ibu ini yang sudah duluan siap membayar, Bu!” kata kasir itu dengan berani.

“Lagian saya sudah selesai. Ayo saya hitung punya Ibu sekarang, kalau ibu mau bayar sekarang” lanjut kata kasir, sambil memberikan uang kembalian kepada saya.

Tapi ibu itu malah pindah ke bagian rak roti yang lain dan memilih roti lagi. Tak peduli pada omongan kasir.

Sayapun menenteng tas kertas berisi kue dan meninggalkan toko roti itu. Dengan ekor mata saya masih sempat melirik ke ibu itu, karena penasaran. Apakah ia akan segera ke kasir untuk membayar?

Ah, bahkan setelah ditantang oleh kasir untuk membayar kuenyapun, ibu itu ternyata masih tetap melihat-lihat dan memilih-milih kue lain lagi. Jadi memang belum siap membayar. Aneh ! Dan dua orang pelayan dan seorang kasir di toko itu tampak masih tegang, bersiaga menampung omelan ibu yang marah- marah sejak baru masuk toko itu.

Saya keluar dari bakery itu. Dan berdoa dalam hati semoga ketiga karyawan toko roti itu bisa menangani konsumennya yang cerewet dan pemarah itu dengan baik.

Di halaman toko, terparkir sebuah kendaraan yang cukup besar dan kelihatan mewah. Besar kemungkinan adalah kendaraan Ibu itu. Karena saat saya masuk, kendaraan itu belum ada di sana.

Di jalan saya menceritakan tentang kejadian aneh yang saya alami di toko roti itu kepada Pak Supir yang megantarkan saya. Ia ikut heran akan apa yang saya ceritakan. Ia kurang memperhatikan ibu itu saat keluar dari kendaraannya di parkiran. Namun menurut Pak Supir kendaraan ibu itu adalah Hyundai Santa Fe yang harganya lumayan mahal.

“Padahal orang itu tentu orang yang berpendidikan ya kan, Bu? Mengapa begitu kelakuannya?” tanyanya.

Tapi mengapa tidak mememiliki budi pekerti yang baik dan sopan santun sedikitpun?

Memiliki harta yang banyak dan pendidikan sekolah yang tinggi, tidak serta merta menjamin seseorang itu memiliki budi pekerti yang baik dan menjalankan dharma alias kebaikan dalam tingkah lakunya sehari-hari.

Saya tidak bisa menjawab pasti apakah ibu itu berpendidikan tinggi atau tidak. Tetapi jika menilik dari dandanan, tampilan dan kendaraannya, tak pelak ia seorang wanita yang berada. Dan karena berada, besar kemungkinan ia mampu membayar pendidikan hingga ke jenjang tinggi. Yaah… secara tidak langsung bisa disimpulkan sebagai seseorang yang berpendidikan tinggi.

Peristiwa itu seolah menjadi pengingat bagi diri saya sendiri, agar selalu bersikap sopan dan santun di situasi apapun dan di manapun. Dan memastikan agar orang lain di sekitar merasa tetap nyaman dan tak terganggu oleh perbuatan dan sikap kita yang kurang menyenangkan.

SEDEKAH AIR.

Standard

Sementara beberapa teman sudah mengumumkan hujan pertama telah jatuh di wilayahnya, di tempat saya bisa dibilang hujan belum turun sama sekali.
Sempat ada gerimis super tipis yang hanya turun setetes dua tetes, lalu hilang dalam hitungan semenit.

Mendungpun yang sempat sekali dua kali terlihat menggantung di langit, dengan cepat diterbangkan angin entah kemana. Walhasil, wilayah tempat saya masih tetap kemarau. Kemarau yang sungguh panjang.

Taman perumahan kering kerontang, dengan rumput dan perdu yang coklat layu dan bahkan gosong di bawah terik matahari. Udara terasa panas  di 36° – 37°C.  Tanah pada retak-retak akibat saking lamanya tak tersiram air.

Pagi hari ketika saya berjalan pagi, saya melewati sebuah rumah tetangga yang menarik perhatian saya. Di samping rumah itu, saya selalu melihat ada sebuah galon air minum.  Dan di dekatnya ada tulisan untuk mempersilakan kepada siapa saja orang yang lewat untuk mengambil air minum itu jika haus.

Penyediaan air minum itu sudah sejak lama saya lihat di situ. Ada petugas  kebersihan perumahan yang kelelahan dan kehausan saya lihat mengambil air minum itu dan meneguknya dengan wajah lega. Beberapa minggu sebelumnya saya juga melihat ada seorang tukang tahu keliling berhenti di situ dan mengambil air minum itu. Juga seorang pejalan kaki yang melintas, pernah saya lihat mrngambil air minum itu.  Intinya memang air minum itu sangat berguna untuk sesama yang sedang kehausan. Terutama saat kemarau begini.

Pemilik rumah ini sungguh orang yang berhati mulia. Inisiatofnya dengan menyediakan air minum bagi orang ya g membutuhkan sungguh hal yang patut dipuji. Saya tidak tahu berapa banyak ia mengeluarkan dana untuk sedekah air ini. Setidaknya jika  1 galon air habis dalam 2 hari  mungkin ia  membeli 15 galon air setiap bulannya untuk didermakan.  Saya angkat topi untuk tetangga saya yang mulia ini.

Dari depan rumah itu saya melanjutkan perjalanan pagi says. Ketika melintasi pojok timur laut perumahan,  dimana ada sebuah taman kecil yang rumputnya  juga tampak  kering kerontang, saya melihat seorang bapak tua sedang memikul dua ember  berisi air.

“Olah raga, Bu” Sapa Bapak itu.  Saya berhenti sejenak.
“Iya, Pak. Jalan pagi”. Jawab saya.

Bapak itu tampak menyiram pangkal tanaman mangga yang kelihatannya layu. Seingat saya tanaman itu baru ditanam tidak lebih dari setahun yang lalu di taman perumahan ini.  Harusnya tukang taman memelihara dan menyiramnya. Tapi melihat sedemikian banyaknya tanaman yang layu dan rumputpun sudah pada mati,  saya rasa taman ini sudah tidak disiram dalam waktu cukup lama.
“Rajin sekali, Pak” komentar saya mrlihat Bapak itu menyiram , berpibdah dari satu tanaman ke tanaman lain.

” Ya  Bu. Kasihan tanamannya layu. Takut mati. Kelihatannya sudah lama tidak disiram tukang taman. Jadi saya siram sajalah. Kasihan ” katanya.

Saya melihat sebuah tanaman sirih gading yang merambat di pohon palem juga mulai layu. Sudah pasti tanaman ini akan mati, jika tidak ditolong oleh Bapak itu dengan menyedekahkan air dari halamannya 

Sungguh Bapak yang berhati mulia, yang jiwanya penuh kasih terhadap sesama mahluk.

Sambil berjalan, saya mikir bahwa ternyata ada banyak orang baik di sekeiling saya.

MENGAPA BULAN.

Standard

Puisi karya Ni Made Sri Andani.

Mengapa bulan diletakkan di sana
Di langit malam yang kadang terang
Kadang gelap tertutup mendung dan awan
Menggantung ia bagai bola indah
Menebar cahaya nan rupawan

Mengapa matahari diletakkan di situ
Di langit siang yang berwarna biru
Terkadang merah dan jingga menyatu
Mencipta pelangi mejaku hibingu
Bergerak ia ke barat dari arah timur

Agar senantiasa kita ingat
Mendongak dan menatap langit
Menyapa bintang-bintang dan planet
Menyalami galaxy dan debu antar bintang
Menabik materi dan lubang hitam

Agar senantiasa kita sadar
Ada bermilyard-milyard kehidupan
Di kedalaman semesta
Nan jauh tak berbatas
Kita tak sendirian di jagat raya ini

Bintaro, 10 November 2022.

Puisi ini dimuat di buku “LARUNG SASTRA” Jilid 2, Antologi Puisi terbitan Teras Budaya Jakarta.

Puisi “MENGAPA BULAN” saya tuliskan, terinspirasi dari sebuah renungan malam dan melihat ‘James Webb Space Images’ yang indah dan intriguing.

Dibacakan oleh sahabat Moktavianus Masheka , dalam acara ngobrolin buku ” Resep Rahasia Cinta” bulan Maret yang lalu di PDS HB Jasin, Taman Ismail Marzuki, Jakarta.

PENARI YANG KABUR DARI PANGGUNG.

Standard
Ni Made Sri Andani – menari Topeng Tua.

Seorang kakak saya berkomentar di Sosmed, di foto saya yang sedang menari.

“Aniii….nu lana ingetanga igis-igis. Awas, dasaanè ngalaib ka sisi (malipetang) 🤣🤣”

Artinya kurang lebih, “Waaah… masih ingat (menari) juga rupanya dikit-dikit, ya. Awas, jangan sampai kabur & balik ke belakang panggung lagi 🤣🤣”.

Begitu komentarnya dalam bahasa Songan, sambil tertawa.

Note: Bahasa Songan adalah bahasa yang dicakapkan masyarakat Bali Mula di pegunungan Kintamani. Ada sekitar 40% perbedaan kosa kata dengan Bahasa Bali biasa.

Saya 🙄 🤣😂😍

Seperti yang saya ceritakan sebelumnya, saya ini menari sejak kecil. Selain tari pendet, panyembrama, tenun, margapati, panji semirang, nelayan, legong keraton, wiranata, oleg tamulilingan, saya mempelajari tarian laki-laki juga, seperti Tari Baris, Tari Jauk Keras, Tari Jauk Manis, dsb.

Suatu ketika, ada upacara di desa Songan. Bapak memberitahu jika malam nanti saya dan saudara-saudara akan ngayah menari di halaman pura. Ngayah artinya, melakukan pekerjaan di Pura (misalnya bersih-bersih, membuat banten, menari, mekidung, dsb) tanpa bayaran.

Pada jaman itu, jika di pura akan ada tari-tarian, maka halaman pura yang tadinya kosong, maka akan disulap dan didandani, dijadikan kalangan (panggung pertunjukan).

Kalangan, atau arena panggung akan dibuat dengan menancapkan tiang-tiang bambu membentuk ruang persegi panjang yang juga dibatasi lagi dengan bambu di sisi kiri, kanan dan depan untuk mencegah penonton merangsek masuk ke dalam kalangan. Dihiasi dengan janur dan pelawa (hiasan dedaunan) dan di atapnya digantungi dengan tamiang dan hiasan janur serta bunga lainnya. Sebagai alasnya diletakkan tikarr- tikar daun pandan yang berfungsi sebagai karpet, di mana penari akan menari di atasnya. Butuh cukup banyak tikar yang dusambung-sambung untuk menutupi selurih Kalangan, mengingat ukuran tikar biasanya hanya sepesekian dari ukuran Kalangan. Di sebuah ujung Kalangan, akan dipasang Langsè, sejenis gorden besar dan tinggi yang dibelah dua di tengah-tengah, darimana nantinya penari akan muncul dengan cara membuka Langsè itu.

Nah sekarang waktunya saya menari. Gamelan Jauk Keras telah berbunyi dengan kencang dan irana yang sangat cepat.

Pak dug pak dug pak dug.. Jreng!!!
Ndang ndèng ndung ndang ndèng ndung ndèng ndong
Ndang ndèng ndung ndang ndèng ndung ndèng ndong 🎶🎶

Saya menarikan Tari Jauk Keras yang menggambarkan seorang penguasa yang penuh semangat, namun cenderung ambisius, kasar dan arogan. Tari ini menggunakan Topeng yang wajahnya berwarna merah.

Saya pun membuka Langsè, mulai membawakan bagian pembukaan dari Tari Jauk ini. Melihat penonton yang sangat banyak dari balik mata topeng yang saya kenakan. Gerakan tari ini sejak awal memang sudah sangat dinamis, cepat dan penuh tenaga. Lalu saya bergerak dan bergerak terus semakin ke depan mengikuti irama gamelan.

Setelah beberapa gerakan pembuka, sekarang tarian memasuki fase pengawak, alias ” Mapang” , dimana gerakan di fase mapang ini adalah gerakan yang paling keras dan kencang. Entah kenapa, mungkin karena pandangan dari balik topeng sangat sempit, saya kurang memperhatikan ke bawah, eeeh.. kaki saya yang tanpa alas, tersangkut di salah satu ujung tikar daun pandan yang dijadikan alas menari.

Waduww, kacau!!!. Saya kehilangan fokus. Perhatian saya terpecah ke kaki yang terasa sedikit perih. Ketika saya hendak kembali menari, tiba-tiba saya tidak bisa mengingat sampai di mana gerakannya tadi. Sementara musik terus berjalan dengan sangat keras dan bising.

Tari Bali adalah tari yang ketat. Antara gamelan dengan gerakan harus menyatu. Kapan harus menggerakkan tangan, kapan harus menggerakkan kaki, leher, kepala dan sebagainya tidak bisa seenak udel.
Astaga! Saya tidak bisa mengingatnya, kalau gamelan ini gerakannya harus bagaimana ya.

Dan saya benar-benar nge-blank!!!

Karena merasa malu terdiam terlalu lama di panggung tanpa mampu mengingat kembali gerakan, akhirnya saya memutuskan untuk lari, kabur, masuk kembali ke dalam langse.

Penonton pada bengong semuanya. Demikian juga tukang gamelan. Mereka pun menghentikan gamelannya. Dan heran, apa yang terjadi ?

Di belakang panggung, Bapak saya memenangkan dan membesarkan hati, setelah tahu mengapa saya kabur dari panggung. Karena kaki saya tersandung dan saya tak bisa fokus pada gerakan tariannya, dan tiba-tiba nge-blank tidak bisa mikir. Saya malu.

Kegagalan adalah sebuah hal yang biasa dalam hidup. Bukan untuk dirutuki dan untuk membuat kapok tak mau mencoba lagi. Kegagalan justru harus dipelajari, agar kita bisa melakukan perbaikan berikutnya. Anggap saja latihan.

Sesaat kemudian setelah saya tenang, Bapak saya menawarkan apakah saya mau mengulang lagi menari dari awal. Saya mengangguk. Saya harus mengulang lagi menari dan membuktikan kepada penonton, bahwa saya memang bisa menari.

Gamelan terdengar lagi, dan sayapun menari kembali. Melupakan kegagalan yang pernah saya alami. Saya bertekad untuk sukses. Dan saya berhasil menunjukkan kesuksesan menari malam itu.

Sayapun terus menari.

ART FUSION – Kebebasan Berekspresi di Pentas Seni.

Standard

ART FUSION.
Olah Kata, Tari dan Lagu .
Kebebasan Berekspresi di Tengah Pentas Seni.

Ni Made Sri Andani – I Bungkling.

Ketika Mbak Dyah Kencono Puspito Dewi menawarkan kepada saya untuk mengisi slot waktu pementasan di pentas seni “MERENGKUH BUMI”, di Teater Kecil di TIM, saya mengangguk setuju saja untuk tampil membacakan puisi.

Namun ketika hari semakin dekat dengan tanggal pementasan, saya melihat kembali chat dari Mbak Dyah serta melihat di poster bahwa selain puisi ada juga penampilan kesenian dalam bentuk lain.

Lalu terpikir oleh saya, kenapa saya tidak nenari saja? Saya menari Bali sejak bocah, baik di Pura, di Sekolah, di Balebanjar, Art Center dan sebagainya. Saya berguru kepada alm Ni Ketut Sudiari, bibi saya sendiri yang seorang penari, lalu pada guru tari Bali alm Wayan Gatri dari Tampaksiring, dan kadang berlatih dibawah arahan dan bimbingan maestro tari alm Pak Made Pasek Tempo yang sering berkunjung ke rumah jaman dulu. Hanya setelah di Jakarta, saya jarang menari.

Ha! Baiknya saya menari saja. Sayapun memutuskan untuk menari dan ngajak Yanuar, Deka, Lukman, Budi, Sri, Cory, Miyati – teman-teman saya di kantor yg juga suka menari untuk ikut menari juga.

Mbak Dyah bilang, tapi Mbak Dani tetap baca puisi juga lho ya.

“Oke!”, kata saya sambil berpikir, puisi apa yang akan saya bacakan nanti.

Selagi memikirkan tokoh tari “TOPENG TUA” yang akan saya tarikan nanti, saya mendapatkan inspirasi untuk menulis puisi tentang tokoh Topeng Tua itu sendiri. Menurut saya ini menarik.

Begitu puisi rampung, saya mencoba membacakannya di halaman rumah. Ternyata lebih nyaman jika dibawakan sambil menari. Lah… ternyata sebuah tarian, menginspirasi lahirnya sebuah puisi. Dan sebaliknya, sebuah puisi bisa menginspirasi gerakan yang melahirkan tarian baru.

Apalagi jika diselingi dengan gending yang berirama, gerakan terasa semakin menyatu. Mengingatkan saya akan kesenian ” ARJA”, sejenis Opereta tradisional dari Bali. Dimana kisah dusampaikan oleh pemainnya lewat gerakan tari dan lagu.

Demikianlah saya bernyanyi, menari dan membacakan puisi yang sekarang terasa menjadi sebuah kesatuan baru. Saya membuka pembacaan puisi “Werdha Lumaku” dengan menyanyikan dan menarikan gending traditional lawas “I Bungkling” dan menutupnya dengan sebuah pupuh Sinom dasar “Iseng-isengang Menyurat”. Sementara saat jeda di pertengahan puisi, saya menyanyikan “Legod Bawa” lagu tanpa syair, yang hanya mendendangkan nada-nada swaranya secara traditional.

Saya tidak tahu, apakah jenis pementasan gabungan seperti ini menyalahi pakem pementasan yang ada. Namun saya pribadi berpikir, selagi kita merdeka, kita bebas mengekpresikan ide-ide kita dalam bentuk apapun dan dalam bentuk campuran apapun, sepanjang kita tidak merugikan orang lain dan tidak menyalahi aturan undang undang yang berlaku 😃😃😃

Saya sendiri merasa senang, karena bisa mengekpresikan cinta saya pada gending-gending Bali lawas, yang tidak banyak lagi orang mengingatnya.

Salam lestari budaya daerah !

WERDHA LUMAKU

Standard

Sebuah puisi, karya Ni Made Sri Andani.

WERDHA LUMAKU.

Prajurit Tua
Terbangun dari duduknya
Memandang ia ke sekitar
Menyadari
jika puncak telah terlampaui
Lewat pendakian panjang
Menebas hutan semak belukar
Mengarungi lautan bergolak
Gurun tandus nan memanggang
Jalan berliku dan jurang terjal
Semua telah ia lampaui

Ooh prajurit tua
Telah ia jalani kehidupan
Menyesap segala rasa
Melukis dengan segala warna
Menggores segala bentuk dan grafis
Melampaui rasa nikmat, amarah dan ketakutan

Ia telah mengintai di semak belukar
Beribu-ribu jam lamanya
Mengatasi rasa sakit, terhina dan tefitnah
Menikam batalyon demi batalyon musuh hingga menyerah
Bertekuk lutut tak berdaya

Prajurit tua
Sekarang mengamati keriput di tangannya
Mata yang merabun
Rambut yang memutih

Benar !!!
Waktu telah merentakan tubuhnya
Penyakit telah melemahkan lututnya
Encok dan asam urat
Memperlambat langkahnya
Namun
Tiada yang mampu
merampas semangat juangnya

Lelaki tua yang tak pernah menyerah
Berkata ia kepada prajurit muda
Janganlah engkau menyerah sekarang
Setelah berjalan ribuan kilometer
Tanpa menyadari jika kesuksesan cuma tinggal sejengkal lagi di depanmu

Namun
Janganlah jua engkau berfokus diri
Pada kesuksesan duniawi
Tanpa menjunjung tinggi
Nilai-nilai kehidupan

Lelaki tua
Memandang ke belakang
Sekali lagi berkata pada prajurit muda
Yang terpenting dalam kehidupan
Bukanlah harta kekayaan
Tapi
Persahabatan
Kepercayaan
Rasa kemanusiaan
Empati dan Kasih Sayang
Serta Kejujuran.

Aku berbicara kepadamu
Bukan karena lebih pandai
Namun
Karena aku lebih dahulu
Lahir ke dunia ini.

Bintaro, Juni 2023.

Penciptaan puisi ini terinspirasi dari tari ” TOPENG TUA” yang mengisahkan seorang Ksatria di masa tuanya.
Saya sangat menyukai karakter Topeng Tua itu, sehingga darinya saya menuliskan puisi ini, yang saya bacakan dalam mengisi Pentas Seni, “Merengkuh Bumi” di Teater Kecil, TAMAN ISMAIL MARZUKI, Jakarta, pada hari Minggu siang, tanggal 11 Juni kemarin.

Ni Made Sri Andani, membacakan puisi Werdha Lumaku di Taman Ismail Marzuki.

Tampil di Pesta Seni, “Merengkuh Bumi”, di Teater Kecil, Taman Ismail Marzuki.

Standard
Ni Made Sri Andani, membawakan tari TOPENG TUA, di Teater Kecil, TAMAN ISMAIL MARZUKI, Jakarta
Ni Made Sri Andani, membacakan puisi sambil menari dan diselingi dengan menembangkan lagu traditional Bali. Pelestari Budaya Traditional Bali.
Di belakang panggung.
Yanuar, Deka, Lukman dan Budi membawakan tari Mambri dari Papua, dalam Pentas Seni “Merengkuh Bumi”, di Teater Kecil, Taman Ismail Marzuki.

Pada hari Minggu tanggal 11 Juni yang lalu, dalam Pentas Seni ,”MERENGKUH BUMI” di Teater Kecil, TAMAN ISMAIL MARZUKI di Jakarta, saya membawakan TARI TOPENG TUA, sebuah tarian traditional Bali yang menceritakan semangat seorang lelaki ksatria di masa tuanya. Dalam kesempatan ini, saya mengajak beberapa orang sahabat saya, Yanuar, Deka, Lukman, Budi, Sri, Cory dan Miyati untuk ikut tampil bersama. Mereka membawakan Tari Mambri dari Papua.

Selain menari, saya juga membacakan puisi karya saya sendiri yang berjudul “WERDHA LUMAKU”. terinspirasi oleh tokoh Topeng Tua itu sendiri.

Di panggung itu, saya juga mengambil kesempatan untuk memperkenalkan tradisi lisan di Bali melalui pupuh Sinom dan Bungkling, serta tangga lagu traditional gending LEGOD BAWA.