Category Archives: Kids & Motherhood

Aku Bukan Pemeran Utama.

Standard

Dari group WA orang tua murid, saya mengetahui bahwa anak-anak akan menggelar Drama Musikal di gedung teater sebuah sekolah international. Dan wali kelas menawarkan ticket menonton bagi orang tua murid, max 1 ticket per siswa. Ibu ibu pun pada berlomba lomba membeli. Maklum… namanya anak kita yang manggung ya, tentu setiap ibu pengen melihatnya 😊.

Saya sendiri tentu tertarik juga untuk menonton anak saya manggung. Tapi yang mengherankan adalah mengapa ia tidak ada bercerita tentang Drama Musikal ini sebelumnya yang ternyata digarap dengan seserius ini. Sambil meminta tolong anak saya membelikan ticket, sayapun bertanya. Anak saya menjawab sepintas, bahwa ia tidak bermain Drama. Hanya bernyanyi saja. Ooh, oke!. Mungkin itu sebabnya mengapa ia tidak bercerita sebelumnya. Karena tidak bermain drama. Sayapun tidak bertanya lebih jauh. Saya tahu ia senang bernyanyi dan bermain musik.

Pada hari H, dimana pegelaran akan berlangsung. Anak saya bangun lebih pagi. Karena mau gladi resik dulu.

Saya berdadah-dadah ria dengannya. ” Oke!. Sampai ketemu nanti di sana ya. Nanti mama akan nenonton” kata saya.

Lalu ia berkata “Tapi nanti aku bukan pemeran utama, Ma. Cuma jadi penyanyi latar ya “. Ucapnya pelan, terdengar seperti woro-woro untuk mengantisipasi, khawatir mamanya kecewa karena ia tidak menjadi pemeran utama atau bahkan tidak menemukannya di tengah panggung karena hanya menjadi penyanyi latar.

Oooh!. Saya membesarkan hatinya ” Tidak apa-apa. Kan tidak di setiap panggung kita harus jadi bintang utamanya” kata saya.

Dalam sebuah panggung, kenyataannya bukanlah tentang seberapa besarnya peranan kita, tetapi tentang seberapa baik kita menghayati dan memainkan peranan itu. Karenanya, kita tidak selalu harus menjadi pemeran utama di setiap panggung.

Saya bercerita. Waktu di SMP dan SMA, saya juga beberapa kali manggung dan hanya mendapatkan peranan kecil, peranan latar atau peranan massal, seperti menjadi dayang-dayang, menjadi kijang, menjadi laut dan sebagainya. Peranan yang seandainya saya nggak adapun, drama atau sendratari tetap akan berlangsung dengan baik.

Sampai Bapak sayapun berkelakar soal peranan-peranan saya itu” “Yaah.. dapat peranannya kok nggak jauh jauh dari jadi dayang-dayang, jadi bidadari yang tidak bernama, jadi hutan, jadi angin…. Kapan ini dapat peran jadi Dewi Sitha, atau jadi Putri Candra Kirana, De?”. Ha ha ha… tapi kelakar Bapak saya itu tidak membuat saya berhenti berkesenian. Pernah juga sih mendapat peran utama, tapi itu sangat jarang sekali. Mungkin dari belasan kali manggung, cuma 2 atau 3 kali rasanya memegang peran penting.

Saya tahu, sesungguhnya saya bukan siapa -siapa di panggung itu. Tetapi saya sadar keberadaan saya dibutuhkan untuk membuat keseluruhan pegelaran nenjadi lebih baik, lebih grande dan lebih top deh pada akhirnya.

Menjadi pemeran utama wanita di sebuah panggung teater.dengan setting sebuah penjara.

Saya terus bersemangat di panggung, tanpa mempedulikan besar kecilnya skala panggung dan penontonnya, mau itu panggung sekolah, panggung bale banjar atau televisi. Juga tak peduli akan besar kecilnya peranan saya dalam naskah drama itu. Mau jadi dagang kopi kek, jadi nyonya besar, jadi pembantu dan sebagainya. Lakoni saja dengan bahagia 😀😀😀.

Saya berperan menjadi dagang kopi, dalam sebuah panggung penyuluhan di sebuah Bale Banjar.

Anak saya ikut tertawa mendengar cerita saya . Sekarang tampaknya ia sudah tambah lega. Lalu ia berangkat dengan riang.

Begitu ia berangkat, saya terjatuh dalam renungan. Bukankah dalam kehidupan sehari -hari pada dasarnya juga begitu?.

Dalam suatu kejadian, mungkin kitalah yang menjadi pemeran utamanya dan yang lain memegang pemeran pembantu dan figuran. Saat demikian, alur cerita kitalah yang menentukan bagaimana drama kehidupan ini akan berakhir. Happy ending kah?. Semoga saja.

Tapi di kejadian lain, barangkali teman kita atau saudara kitalah yang memegang peran utama. Dan kita cukup menjadi pemeran pembantu atau bahkan figuran. Tak mengapalah. Kan tidak mungkin kita mengambil alih pemeran utama dalam panggung drama orang lain.

Nah… kita tak perlu khawatir jadi pemeran utama, pemeran pembantu atau figuran. Yang paling penting kita harus berperan dengan baik. Apapun peranan kita.

Selamat Jalan & Terimakasih Ibu Guruku Tersayang. 

Standard

Kemarin saya mendapatkan kabar duka berpulangnya Ibu Anak Agung Ayu Anom Alit, ibu guru saya waktu Taman Kanak-Kanak. Dumogi Amor ring Acintya. Om Swargantu, Moksantu, Suryantu. Semoga atmannya menyatu kembali dengan Brahman. 

Berita itu saya terima lewat Whatsapp ketika saya sedang rapat di kantor. Tak mampu menyimpan rasa duka, sayapun berbisik kepada teman di sebelah saya tentang kedukaan hati saya. “Ooh guru waktu TK. Masih ingat, Bu?”komentar teman saya. Ya. Guru TK saya. Tentu saja saya masih ingat dan sangat berterimakasih atas jasa beliau dalam mendidik saya. 

Ibu Anom adalah Kepala Taman Kanak-Kanak Bhayangkari Bangli pada masa saya kecil. Bersama dengan Ibu Raden Roro Sri Imari (Bu Erna) dan Bu Pember, Bu Anom adalah guru pertama yang mendidik saya setelah ke dua orang tua saya. Kebetulan sekali ke tiga ibu guru kami ini adalah ibunda dari sahabat-sahabat baik saya. Bu Anom adalah ibunda dari Gung Swasta Wibawa, Bu Erna adalah ibunda dari Erna dan Bu Pember adalah ibunda dari Putu Purwanthi. Oleh karenanya, kedekatanpun kian terasa. 

Ketika pertama kali saya mengenal sosok “Guru” dalam hidup saya,  maka Bu Anom Alit inilah yang saya tahu dan sebut namanya pertama, beserta Bu Erna dan Bu Pember. Beliau memberikan dasar-dasar kepercayaan diri, tata krama, kedisiplinan, dasar-dasar pemahaman garis, bidang dan ruang serta mendorong saya untuk membuka serta mengasah bakat dan kemampuan saya. 

Tentu saja banyak kenangan yang tertinggal di hati saya tentang ibu guru kami ini. Kenangan yang indah tentunya. 

Dahulu, ada sebatang pohon Wani (Kemang) di depan halaman sekolah. Disanalah detiap pagi kami menunggu kedatangan Ibu guru. Jika sudah ada yang terlihat kami langsung mengelu-elukan dengan nyanyian:

Ibune sampun rawuhibune sampun rawuuuhibune sampun rawuuuh…” berulang -ulang dengan riang gembira.  Bu Anom akan mengembangkan senyumnya dan melambaikan tangannya pada kami. 

Setelah itu Bu Anom, Bu Erna dan Bu Pember akan meminta kami semua berbaris, siap grak, lencang kanan, lencang kiri dan berhitung sebelum masuk ke dalam kelas. Semuanya harus rapi dan semuanya harus disiplin. 

Belajar disiplin nggak selesai sampai di situ. Setelah masuk kami harus duduk dengan tertib di bangku masing-masing. Dan itupun ada ceremoninya. Sayang saya lupa lagunya. Tapi intinya dimulai dengan sikap duduk yang baik, dengan kedua tangan disilangkan di depan dada (sidakep). Dua tangan atas, lalu dibentangkan ke samping lalu silang. Barulah pelajaran di mulai. Mengenal garis lurus garis lengkung, bernyanyi, berdoa, menari dan sebagainya. 

Atas dorongan Bu Anom juga saya berani tampil untuk pertamakalinya di atas panggung dalam lomba menyanyi tunggal di Balai Masyarakat Bangli (sekarang bangunannya sudah tidak ada lagi dan berganti menjadi pasar senggol). Dan pertamakalinya juga saya tahu rasanya berkompetisi dan menang mendapatkan juara pertama dengan hadiah boneka ikan berwarna hijau yang sangat besar untuk ukuran tubuh saya saat itu. Saya masih memainkan boneka itu hingga sekitar kelas 4 SD. Dan saya tetap mengenang peristiwa itu di dalam hati saya. Beliau telah membangun kepercayaan diri saya. 

Guru TK adalah guru yang meletakkan pondasi pengetahuan pada setiap anak untuk dibangun berikutnya oleh guru guru sekolah lanjutan dan dosen beserta dengan orang tua dan masyarakat dengan melibatkan si anak itu sendiri.

Dan pastinya itulah yang telah dilakukan oleh Bu Anom Alit terhadap diri saya dan teman teman sehingga sekarang kami bisa mandiri dalam menjalani kehidupan. 

Selamat jalan Bu. Saya sangat berterimakasih. Berharap Ibu masih nendengarkan ucapan terimakasih saya dari atas sana. Kenangan tentang ibu akan selalu hidup di hati saya. 

Over Protective.

Standard

image
Anak saya yang kecil pergi camping. Wajahnya berseri-seri ketika menginformasikan kegiatan sekolahnya itu. Saya ikut senang. Teringat ketika saya seumurnya.Saya melakukan hal yang sama dan alangkah menyenangkannya.  Tidur di tenda, berpetualang, menjelajah alam, mencari jejak, menyalakan api unggun. Belajar mandiri.

“Bolehkanh mama ikut?” tanya saya berharap. Anak saya terkejut. “Ah, jangan Ma! Nggak ada mama-mama yang lain yang ikut.Lagipula tidak boleh sama Ibu Guru” kata anak saya. Weh.. saya kecewa.

“Oke deh. Kalau gitu ntar mama tengok aja ya” kata saya lagi.  Anak saya tetap tidak mengijinkan. “Janganlah Ma!. Aku malu sama teman-temanku”. Saya merasa heran, kenapa sih harus malu ? Kan cuma ditengok doang.  Anak saya tetap mengatakan tidak bisa. Bahkan hape saja tidak boleh dibawa. “Kalau dibawa akan disita Ibu Guru”, katanya. Tapi akhirnya saya setuju untuk tidak mengantar dan tidak menengok.

Saya hanya membantu menyiapkan benda-benda yang perlu ia bawa. Pakaian secukupnya, tidak kurang dan tidak berlebih. Agar backpack-nya tidak terlalu berat. Tali pramuka, sabun-odol-sikat gigi, sweater, selimut tipis, handuk, payung dan senter. Sambil meyiapkan peralatannya saya membayangkan suasana camping. Sebenarnya sih tidak ada yang bahaya, tapi entah kenapa saya merasa sangat khawatir.

Musim hujan begini! Saya khawatir tendanya kerendam air. Saya menawarkan agar ia membawa jas hujan yang berbahan plastik. “Nggak usahlah Ma!.Kan sudah bawa payung lipat” katanya.  “Buat jaga-jaga” kata saya. “Nggak usah. Payung saja cukup. Kan tidak boleh bawa banyak-banyak barang” kata anak saya.

Bagaimana nanti makannya? Tidak boleh bawa uang, sementara saya hanya diminta mempersiapkan bekal makan siang saja. Itupun ukurannya kecil-kecil saja. Tidak mau membawa banyak makanan. Saya membelikannya beberapa jenis snack. Buat jaga-jaga siapa tahu ia nanti kelaparan. Kan bisa bagi-bagi dengan teman-temannya. “Ntar jadi nyampah di sana, Ma.Aku tidak mau membuang sampah sembarangan. Apalagi sampah plastik” katanya. Ah! Positive thinking saja. Tentu saja makanan pasti disiapkan oleh Bapak Ibu gurunya .Saya menepis pikiran buruk saya. Akhirnya ia hanya bersedia membawa sebotol air minum saja, selain bekal makan siang.

Lalu saya teringat akan danau yang berada tak jauh dari tempat anak saya akan camping. “Jangan nakal-nakal nanti di sana ya… Jangan main ke danau. Harus hati-hati” kata saya. Anak saya tampak mulai tidak sabar.”Udahlah Ma. Aku juga tidak mungkin  nakal-nakal. Aku kan nanti akan hanya ikut kegiatan yang ditetapkan. Lagipula aku sudah gede. Aku tahu mana yang berbahaya, mana yang tidak” katanya. Saya tertawa.

Ya. Sebenarnya saya tahu kalau ia sudah gede. Dulu saya bermain juga ke danau,walaupun saya tidak bisa berenang. Nah, sekarang jelas-jelas anak saya jauh lebih jago berenang dari saya, mengapa pula saya sangat khawatir.

Lalu anak saya mendekat “Mengapa sih mama over protective banget sama anaknya?” tanya anak saya dengan wajah serius. Saya nyengir dibuatnya. Pikiran saya melayang ke 35 tahun yang lalu. Cepat sekali melintas. Saya ingin berkemah. Walaupun akhirnya mengijinkan, tetapi Bapak saya banyak sekali larangan ini dan itunya. Nggak boleh begini. Nggak boleh begitu. Harus hati-hati. Jangan makan dan minum sembarangan. Bawa pakaian tebal.Bawa payung. Dan juga minyak gosok. Tidak boleh mekelanyiran (mekelanyiran = centil, dekat-dekat dengan teman cowok). Jangan mau jika dikasih minum oleh teman laki atau orang yang tidak dikenal. Kalau tidur di tenda harus pakai celana panjang. Jangan lupa berdoa.Dan seterusnya, dan seterusnya yang membuat saya stress. Setelah itu, Bapak saya juga menyuruh kakak-kakak sepupu saya menengok saya di tepat kemah. Kok rasanya seperti dimata-matai ya?. Hingga akhirnya, suatu ketika saya pernah protes keras kepada Bapak – saya merasa diperlakukan dengan tidak adil dan tidak dipercaya.

Sekarang saya baru tahu apa yang dirasakan oleh Bapak saya. Setiap orang tua pasti memiliki kekhawatiran akan anaknya. Tapi jika dulu saya bisa melewati masa -masa berkemah itu dengan baik, tentu anak saya akan bisa mekewatinya dengan jauh lebih baik lagi. Ia memiliki ketahanan fisik yang lebih dari saya saat seumurnya. Dan ia juga memiliki pengetahuan dan skill yang lebih baik ketimbang saat saya di umurnya. Lah…mengapa saya harus mengkhawatirkan anak saya.

Camping ataupun menjelajah di alam bebas memberikan manfaat yang luar biasa kepada perkembangan jiwa anak. Menurut saya, anak-anak yang terbiasa berkemah, wawasan dan tingkat kesiapan menghadapi hidupnya akan sangat tinggi. Pengalaman hidup di alam akan membuatnya tidak takut hidup susah. Tidak takut miskin. Lebih cepat tanggap jika ada masalah, dan lebih cepat pula mencari pemecahannya.  Karena ia tahu, jawaban untuk setiap permasalahan selalu ada di alam. Tinggal bagaimana kita mencari dan menemukannya.

Baiklah!.Akhirnya saya merasa tahu apa yang harus saya lakukan. Mengijinkan anak saya berkemah dengan keikhlasan hati.Biarlah ia mengalaminya sendiri. Dan memetik manfaatnya sendiri. Untuk dirinya sendiri di kemudian hari.

 

 

 

 

Tips: Jeruk Nipis Menghilangkan Cegukan Dengan Cepat.

Standard

20151129_124002.jpgAnak saya keluar dari kamar dan mengeluh “Mama..aku cegukan. Obatin Ma” katanya sambil diselingi suara ceguk ceguk. Kalau dulu saya sering panik tiap kali anak saya cegukan. Biasanya saya kasih air minum hangat. Atau kalau tidak saya suruh dia memaksakan diri untuk bersendawa guna mengeluarkan gas dari lambungnya. Biasanya sih hilang, tapi memakan waktu yang cukup lama.Tapi kemudian, saya tahu cara yang paling cepat menghilangkan cegukan yaitu dengan jeruk nipis atau lemon.

Caranya, pertama saya cuci bersih jeruk nipis atau lemon. Iris tipis. LALU Saya minta anak saya untuk memejamkan maranya, mendongakkan kepala dan nembuka mulutnya. Saya teteskan air perasan jeruk nipis ke dalam mulut anak saya dengan hati-hati agar mendekati kerongkongannya. Biasanya anak-anak bereaksi kaget karena kekecutan. SIM SALABIM ABRAKADABRA!!!. Cegukannya hilang!. Anak anakpun kembali riang. Anak saya yang kecil yang suka sekali rasa air perasan lemon malah teriak “Lagi Ma! Lagi Ma!”.

Saya pikir mungkin ada baiknya saya ceritakan di sini. Walaupun sudah banyak yang tahu rahasia sederhana ini tetapi barangkali masih berguna bagi mereka yang belum tahu sebelumnya.

Sangat perlu untuk menyediakan stock jeruk nipis di dapur.

Crispy Cheesy Garlic Bread.

Standard

image

Sarapan pagi buat anak -anak bisa jadi membosankan jika kita emaknya nggak cukup  kreatif mencoba-coba bikin hidangan variasi baru.(eh…ini yang bosen anaknya apa emaknya ya? He he…).
Bagaimana kalau pagi ini kita coba memanggang roti dengan bawang putih dan keju? Jadi judulnya nih Roti Renyah Bawang Putih Berkeju. Biar keren kita kasih nama :  Crispy Cheesy Garlic Bread!
image

Bahannya tentu saya tidak mau repot bikin roti sendiri. Jadi rotinya beli di tukang roti yang lewat, di toko ataupun supermarket terdekat. Pilih roti tawar yang panjang yang biasanya dipakai untuk hot dog. Bahan untuk toping Sup krim instant dalam kemasan, 1 siung bawang putih besar, 1 batang sosis ayam, seledri secukupnya. Dan tentunya keju Cheddar.
1/. Cincang halus sosis dan seledri.
2/. Parut bawang putih.
3/. Seperti biasa masak sup krim bersama sama dengan sosis ayam cincang dan seledri cincang.
4/. Masukkan parutan bawang putih. Aduk hingga rata dan mengental.
5/ Ambil roti. Potong-potong melintang.
6/. Oleskan sup krim bawang putih di atasnya.
7/. Parut keju cheddar.
8/. Taburkan parutan keju cheddar di atasnya.
9/. Panggang dengan api 200 derajat selama 20 menit.
image

Roti panggang renyah dengan rasa keju bawang putih kini siap dihidangkan buat sarapan keluarga.
Mantap untuk menemani teh hangat.
Coba yuk!!!.

Sapu Nenek Sihir.

Standard
????????????

Sapu Lidi

Jika sedang berada di kota Sukabumi, saya paling senang makan bubur untuk sarapan pagi. Karena menurut saya bubur ayam di Sukabumi itu sangat enak. Nah suatu pagi saya melihat seorang kakek penjual sapu lidi di depan tukang bubur langganan saya itu. Seketika saya teringat akan sapu lidi pembersih kasur saya yang sudah rusak dimainkan anak-anak. Kelihatannya  perlu membeli penggantinya. Saya memberi isyarat kepada kakek tua itu bahwa nanti  saya akan membeli setelah makan bubur. Maksudnya agar beliau jangan cepat-cepat pergi. Biasanya tukang jualan seperti ini hanya nongkrong sebentar lalu pergi, karena torotoar ini bukan tempat jualan permanen.

Seusai makan bubur, saya menepati janji saya. Melihat-lihat dan memilih sapu yang ingin saya beli. Ada sapu untuk membersihkan tempat tidur. Jumlah batang lidinya paling sedikit diantara semua jenis sapu. Lidinya sendiri berwarna lebih terang. Diameter sapu itu sekitar 3.5 cm. Harganya 10 ribu rupiah.

Lalu ada sapu lidi biasa. Maksudnya sapu lidi untuk lantai dan halaman. Diameternya sekitar 5 cm. Eh..harganya sama lho….10 ribu rupiah juga. Apa nggak salah ya kakek ini? Padahal jumlah lidinya 2x lipat lebih banyak dibanding sapu yang kecil. Pasti salah satu ada yang salah. Mungkin yang kecil kemahalan. Atau yang besar kemurahan. Saat saya konfirmasi apakah kakek ini tidak salah memberikan harga, beliau bilang tidak. “Memang begitu harganya dari sananya Neng” katanya. Beliau juga tidak mengerti mengapa bisa begitu. Hm..barangkali karena warnanya yang agak berbeda. Sapu lidi yang kecil warna lidinya agak lebih terang sedikit (biasanya diambil dari lidi janur alias daun kelapa yang masih muda – Busung – Bahasa Bali) ketimbang warna lidi dari sapu yang besar yang warnanya lebih coklat (biasanya diambil dari lidi daun kelapa yang lebih tua – Selepaan -Bahasa Bali). Saya mencoba mencari pembenaran sendiri atas harga yang kelihatannya janggal itu.

Terus ada lagi sapu lidi yang bertangkai. Saya tahu ini pasti untuk membantu agar pinggang kita tidak sakit karena membungkuk. Harganya menjadi 20 ribu rupiah. Oke, masuk akal jika yang ini harganya lebih mahal.

Saya memilih-milih dan memutuskan untk membeli 2 buah sapu kasur dan 1 buah sapu halaman yang bertangkai. Dan menambahkan satu buah lagi sapu biasa. Jadi semuanya ada 4 buah yang saya beli, Melihat wajah Kakek itu saya tidak tega menawarnya. Lagi pula saya pikir harga sapu ini sangatlah masuk akal . Sementara kwalitasnya sendiri  menurut saya jauh lebih baik dibanding sapu lidi kasur yang saya beli di Jakarta. Sebagai pembanding,  saya coba hitung jumlah lidi sapu kecil jualan si kakek ini ada 169 buah.  Sedangkan yang saya beli di Jakarta paling banter isinya tidak lebih dari 75 batang lidi saja.  Saya lupa harganya berapa yang saya beli di Jakarta ini.

Yang membuat saya tertawa adalah sapu itu ternyata memiliki merk. Dan merknya adalah “SAPU NENEK SIHIR“.  Dilengkapi dengan alamat dan nomor telpon  si Abah pembuatnya di Kampung Gentong Desa Selajambe, Kecamatan Cisaat, Sukabumi.  Ha ha.. terutama yang bertangkai panjang itu memang mirip sapunya Nenek Sihir dalam dongeng sih. Jadi cocoklah barangkali bermerk Nenek Sihir. Dikorek-korek sedikit dengan sapu ini, sim salabim! Abrakadabra! Halaman langsung bersih!. Kreatif juga si pembuatnya. Walaupun bagi sebagian orang denger nama Nenek Sihir barangkali takut juga.  Eh.. tapi tiba-tiba saya jadi penasaran juga, sebenarnya sapu nenek sihir dalam dongeng itu sapu ijuk atau sapi lidi sih?

O ya… terlepas dari kaitan sapu lidi dengan Nenek Sihir, ada cerita menarik yang saya ingat tentang Sapu Lidi. Diceritakan oleh guru saya waktu SD. Seorang Bapak memanggil anak-anaknya yang sering sekali bertengkar dan tidak pernah akur satu sama lain. Sang Bapak mengambil lidi lalu menyerahkan ke anak-anaknya masing-masing sebatang lidi. Ia lalu berkata, siapa yang bisa mematahkan batang lidi itu?. Anak-anaknya tentu saja heran akan pertanyaan bapaknya itu. Semua anak bisa mematahkan batang lidi itu dengan mudah.  Sang Bapak lalu mengambil sebuah sapulidi. Sekarang beliau bertanya lagi kepada anak-anaknya. Siapa yang bisa mematahkan  sapu lidi ini? Anak-anaknya secara bergiliran mencoba  mematahkan sapu lidi itu dengan sekuat tenaga, tetapi tidak ada yang berhasil. Sapu lidi itu hanya melengkung, tapi tidak pernah patah. Cerita itu diakhiri dengan pesan Sang Bapak agar anak-anaknya selalu hidup rukun dan saling mendukung agar bisa berhasil. Sebagaimana yang dicontohkan oleh Sapulidi, jika sendirian kita akan mudah patah. Namun jika rukun dan selalu bersama-sama maka kita akan menjadi kuat.

Saya pikir ingin juga saya menceritakan kembali cerita ini kepada anak-anak saya. Agar mereka mengerti arti kerukunan dalam keluarga. Demikian juga arti kerukunan di dalam kelas, dalam bermasyarakat dan kerukunan dalam berbangsa. Tiada gunanya membesar-besarkan perbedaan yang membuat kita justru terpecah belah dan akhirnya lebih mudah dikuasai orang lain, bukan?.

Nah..lumayan juga sapulidi nenek sihir ini mengingatkan saya kembali.

Mencerna Ilmu, Mencerna Makanan.

Standard

Piza

Seorang teman anak saya pernah bercerita tentang kesulitannya mendapat nilai yang baik di sekolah. Saya mendengarkan cerita dan keluhannya dengan baik. Lalu saya memberi saran agar berusaha lebih memperhatikan penjelasan guru dengan lebih baik. Dan jangan pernah meninggalkan ruangan kelas, sebelum mengerti apa yang diajarkan oleh guru di hari itu juga. Karena menurut saya, pemahaman yang baik akan tersimpan lama di memory kepala kita ketimbang hapalan yang baik yang tersimpan sementara di otak kita.

Jika kita paham,pasti kita akan bisa menjelaskan kembali. Tapi jika kita tidak paham dan hanya mengandalkan diri pada hapalan, belum tentu kita bisa menjelaskannya kembali dengan baik.Jadi pertama, pastikan kalau kita mengerti dulu,baru nanti kita hapalkan detailnya.” saran saya. Itulah sebabnya mengapa ada banyak anak-anak yang cerdas, bahkan malas belajar namun skor-nya di Sekolah selalu tinggi.Karena ia paham dengan baik. Sebaliknya ada banyak anak-anak yang sangat rajin namun skor-nya tidak mampu mengimbangi temannya yang cerdas namun pemalas itu. Mengapa?karena ia tidak memahami permasalahannya.Ia hanya rajin menghapal. “Ya! Itulah masalahnya Tante…aku sering tidak langsung paham apa yang disampaikan guru. Rasanya sulit sekali mencerna” keluhnya.

Walaupun obrolan dengan anak itu sangat pendek, namun saya terhenti sejenak untuk memikirkannya. Saya menyukai anak itu dan keterbukaannya.Jadi sungguh tidak keberatan untuk ikut memikirkan hal yang dianggapnya menjadi masalah.

Jadi, sebenarnya masalahnya adalah bagaimana mencerna dengan baik. Mencerna ilmu.Bukan mencerna makanan!. Tapi urusan cerna mencerna pada prinsipnya sama saja bukan? Jika makanan adalah untuk seluruh tubuh kita, maka ilmu adalah makanan untuk otak kita. Menurut saya prinsipnya sih sami mawon.

Yuk coba kita lihat bagaimana kita mencerna makanan dengan baik…

Semua tentu familiar dengan konsep makanan harus dikunyah dengan baik agar mudah dicerna oleh tubuh kita. Bahkan orangtua atau guru kita di sekolah mengajarkan agar sebaiknya kita mengunyah makanan 24x kunyahan sebelum menelannya. Maksudnya tentu agar makanan yang kita telan itu sudah benar-benar hancur dan menjadi serpihan kecil oleh gigi dan geraham kita,sehingga usus kita tidak perlu lagi bekerja keras karenanya. Karena tugas usus, bukanlah untuk menyobek atau memotong makanan menjadi kecil-kecil. Selain itu,dengan mengunyah makanan lebih sering sebeum ditelan, juga memberikan kesempatan kepada enzym-enzym  yang dikeluarkan oleh kelenjar ludah untuk melakukan pekerjaannya dengan baik, yakni merubah amylum menjadi glukosa (enzym ptialin) maupun sakarida yang lebih sederhana (enzym amilase). Nah kemudian hasil kerjasama gigi dan kelenjar ludah inilah yang kita telan untuk dicerna lebih jauh di dalam usus kita, sebelum semua intisarinya siap diserap dan diedarkan ke seluruh tubuh oleh pembuluh darah.

Kalau kita perhatikan,bagaimana kita bisa mencerna dengan baik di tahap pertama,tidak lain dan tidak bukan adalah dengan memberikan kesempatan untuk gigi melakukannya berkali-kali (24 x mengunyah) dan memberi waktu untuk enzym-enzym itu bekerja. Jadi 2 kata kuncinya adalah waktu (time) dan berulang-ulang (repetition).  Ya..time & repetition!.

Saya pikir, dua hal ini sangat applicable dalam cara pembelajaran guru dan murid, untuk membantu murid agar lebih mudah mencerna ilmu yang diajarkan. Memberikan penjelasan yang berulang kepada murid. Jika sekali dijelaskan belum mengerti, barangkali penjelasan ke dua akan lebih mudah dipahami? Demikian seterusnya? Ibarat mengunyah, 24 x baru sempurna.  Atau setidaknya memberikan contoh-contoh yang beragam agar murid menangkap inti pelajarannya dengan lebih mudah.

Jika guru tidak melakukannya, anak juga sebenarnya bisa mengacungkan tangan dan mengatakan dengan terusterang bahwa ia belum paham dan meminta tolong guru untuk menjelaskannya kembali hingga ia benar-benar paham.

Penejelasan yang berkali-kali juga memberikan waktu bagi otak si anak untuk mencerna apa yang sesungguhnya dimaksudkan oleh guru.Informasi yang didapat akan disangkutkan ke sel otaknya satu per satu. Sehingga jika suatu saat nanti harus dikeluarkkan kembali saat Ulangan Umum maupun Ujian, pemahaman itu masih tersimpan dengan baik dan sangat mudah untuk dikeluarkan kembali untuk menjawab soal-soal ujian.