Tulisan : Sunu Wasono
Di era ini segala sesuatu dapat diabadikan oleh atau lewat teknologi komunikasi yang canggih. Dengan telepon seluler isi kehidupan seakan-akan dapat diliput. Dengan benda budaya itu, semua yang terjadi di jagat raya ini dapat direkam, diolah, atau dikemas sedemikian rupa dan dihidangkan kembali dalam bentuk atau wujud yang bermacam-macam: foto (gambar), suara (nyanyian, pembacaan), film, drama, puisi, cerita, catatan, dll. Di tangan orang yang peka dan kreatif, fenomena tertentu (gaya hidup, tren, rasa cinta dan cemburu), peristiwa alam, kejadian sehari-hari, bahkan juga kejahatan, dapat dijadikan bahan pemikiran, renungan, dan sumber inspirasi untuk berkarya. Buku ini adalah salah satu contoh atau wujud dari kreativitas orang semacam itu. Lima puluh kisah yang terhimpun dalam buku ini—seperti kata penulisnya—adalah “kumpulan tulisan tentang kejadian sehari-hari yang menarik, menginspirasi, atau memberi pelajaran maupun renungan dalam menjalani kehidupan.”
Harus buru-buru ditegaskan bahwa sekalipun pada judulnya tertera kata “cerita”, tulisan yang terhimpun dalam buku ini bukan fiksi. Penulisnya tidak berkehendak menyajikan “karangan” dalam arti ‘buah khayal (semata-mata) yang diwujudkan dalam bentuk tulisan’. Semua yang tersaji dalam buku ini dipetik dari pengalaman nyata penulisnya. Jadi, yang tersaji dalam buku ini adalah kisah yang diangkat dari hasil pengamatan dan pengalaman nyata yang direkam penulisnya. Tentu saja tidak semua yang dijumpai di jalan diangkat menjadi tulisan. Hanya kejadian yang berkesan yang diangkat ke dalam tulisan.
Penulis buku ini adalah sosok yang tidak membiarkan pengalaman yang berkesan berlalu begitu saja. Sebagai seorang yang peka terhadap keadaan, ia menyempatkan diri untuk mencatatnya, lalu “mengolahnya” dan menyampaikannya untuk pembaca. Dalam mengolah, ia tidak berlagak menjadi orang yang serbatahu dan bijaksana, lalu dengan kebijaksanaan yang dimiliki pengalaman dan pengetahuannya dituangkan untuk pembaca. Ia membeberkan saja apa yang diketahui dan dialami, lalu memolesnya dengan komentar sebagai bagian dari sikapnya terhadap sesuatu yang dialami. Kalaupun dalam komentar itu ada nada yang terkesan menasihati atau menggurui, cara penyampaiannya tetap terkontrol, tidak menimbulkan kesan bahwa dirinya adalah sosok yang paling tahu mengenai berbagai hal. Dalam “Cinta dan Cemburu”, misalnya, ia membahas perbedaan cinta dan cemburu. Pada tulisan itu ditemukan tips bagaimana menyikapi cinta dan cemburu. Dari cara penyampaiannya jelas terlihat bahwa penulis tidak sedang memberi petuah terhadap orang yang tidak tahu apa-apa tentang cinta dan cemburu. Ia hanya berusaha membuka ruang dan kesadaran pembaca tentang hubungan dan perbedaan antara cinta dan cemburu. Untuk itu, ia menghadirkan semacam “opini” yang nadanya terbuka bagi kemungkinan munculnya pendapat lain. Ia tidak mendesakkan pandangan/pendapatnya sendiri kepada pembaca.
Satu hal yang perlu dicatat, komentar yang muncul dari berbagai “persoalan” yang digulirkan atau cacatan terhadap kisah yang dialami tidak membunuh pesan dari kejadian yang diabadikannya. Penulis berlaku sebagai perekam dan tidak mengambil alih apa yang direkamnya menjadi sekadar alat atau kendaraan untuk memamerkan pengetahuannya. Adakalanya dalam mengusung fenomena tertentu, misalnya tentang perayaan hari valentine, Made Sri Andani hanya bertindak sebagai pelapor dan peramu pernyataan/cerita dari sejumlah orang (teman/handai taulannya). Setelah menyampaikan sejumlah cerita/pengalaman sejumlah orang, ia menutupnya dengan satu pernyataan pengalaman tentang dirinya yang berbeda dengan cerita orang lain. Namun, dalam pernyataan itu tak ada kecaman, nyinyiran, atau kata-kata lain dari dirinya yang bernada sinis. Di sini terlihat bahwa penulis menampilkan diri sebagai sosok yang rendah hati, bijak, dan toleran terhadap orang lain yang berbeda dengan dirinya terkait dengan gaya hidup tertentu—dalam hal ini kebiasaan merayakan Hari Valentine.
Dalam cerita lain, kesan di atas juga terlihat. Terkait dengan cerita yang diangkat dari kejadian/pengalaman nyata tertentu, pembaca diberi ruang dan kesempatan untuk menangkap sendiri kisah yang disajikan penulis. Kalaupun ada komentar penulis, fungsinya tidak menggurui pembaca. Penulis juga tidak menjadi juru bicara tokoh-tokoh atau orang-orang yang disebut dalam kisahnya. Penulis “hanya” seorang pencatat, perekam, dan penyimpul dari suatu kejadian atau fenomena yang disaksikan atau dialami. Posisi dan peran seperti itu dapat dilihat, antara lain, pada kutipan berikut.
“Hal menarik yang saya pelajari dari kejadian ini adalah, bahwa ketidaksukaan terhadap sesuatu sebenarnya bisa ditoleransi dan dikurangi. Terutama jika kita berusaha mencari dan menemukan sisi baik dari hal yang kita tidak sukai itu. Misalnya kita tidak menyukai seseorang. Jika kita hanya melihat hal-hal buruk dari orang tersebut, maka kita pun tidak akan pernah menyukainya. Setiap hari ada saja yang kita lihat salah atau tidak menyenangkan dalam dirinya. Namun jika kita berusaha untuk melihat hal–hal baik dalam dirinya, mungkin berikutnya kita bisa menemukan lebih banyak lagi hal-hal baik lain yang menyebabkan kita berpikir bahwa teman kita itu sebenarnya nggak jelek-jelek banget. Dan lama-lama, mungkin kita bisa melihat bahwa ia pun sebenarnya sama dengan teman yang lainnya atau bahkan dengan diri kita sendiri yang tak luput memiliki sisi baik dan buruk.”
Kutipan di atas dipetik dari “La Kitty” yang berkisah tentang seekor kucing liar. Dengan kepiawaiannya menata cerita, penulis dapat menyampaikan renungan yang bijak tentang perasaan suka dan tak suka kepada orang lain. Melaui cerita tentang kucing liar, pembaca diajak masuk ke persoalan hubungan antarteman yang kadang-kadang diwarnai oleh ketegangan akibat rasa suka tak suka. “La Kitty” hanya kisah tentang kucing, tetapi melalui kisah itu persoalan lain bisa masuk ke dalam topik pembicaraan. Masuknya terasa wajar, tidak dipaksakan.
Kalau ditelisik keseluruhan tulisan yang terhimpun dalam buku ini, niscaya ditemukan banyak hal yang menarik, mulai dari cerita “biasa” yang sekadar cerita—tentu saja tetap ada isi/pesannya—cerita yang mengandung opini, hingga cerita yang berupa renungan atas suatu hal, fenomena, atau kejadian tetentu. Cerita tentang laptop, “Laptopku Belahan Jiwaku,” misalnya, bagi saya, tidak sekadar menghibur, tetapi juga menyodorkan sesuatu yang bisa menjadi bahan pemikiran. Kisah tentang laptop itu—mungkin bisa jiuga disebut anekdot—ditutup dengan paragraf begini: “Perubahan adalah sebuah keniscayaan. Walaupun kita terlalu malas untuk mengikuti perubahan, rupanya selalu ada mekanisme alam yang mendorong kita terpaksa melakukan pembaharuan.” Bagi saya, pernyataan itu merupakan kesimpulan sekaligus tesis yang terbuka untuk digali lebih jauh.
Cerita lain yang diangkat dari pengalaman konkret, seperti kebiasaan memijit anak (“Memijat Anak Mengasah Naluri Ibu”) atau tentang patung blonyo (“Blonyo yang Ksespian”) tampak sebagai cerita biasa, tetapi bisa manautkan pikiran kita ke persoalan hakiki mengenai hubungan batin antara ibu dan anak serta persoalan minteri kehidupan manusia, khususnya yang terkait dengan jodoh, yang dilapisi perlambang-perlambang.
Satu cerita lagi, “Tumbuh di Tempat yang Salah” dapat ditampilkan sebagai contoh yang menunjukkan betapa cerita yang dihimpun dalam buku ini bergizi. Cerita tersebut “hanya” berkisah tentang biji labu yang ditanam di sebuah pot untuk jenis tanaman adenimum. Semula pencerita menananamnya hanya untuk mengetes apakah biji labu itu masih bisa tumbuh atau tidak. Ternyata bisa. Muncul masalah ketika biji itu menjelma tanaman yang subur. Masalahnya ia tumbuh di pot yang kalau sudah mulai merambat akan mengganggu adenium yang menjadi kesayangan suami. Lewat cerita itu Ni Made Sri Andani mencoba masuk ke persoalan lain: memilih pekerjaan dan memilih pasangan. Ia menciptakan analogi untuk menjelaskan pentingnya orang berpikir masak-masak sebelum bertindak. Melalui kisah biji labu, Ni Made dapat menjelaskan dengan baik dan masuk akal tentang memilih pekerjaan dan memilih pasangan.
Terlepas dari kesalahan-kesalahan kecil, khususnya terkait dengan salah tik (liar ditik lair) dan ejaan, jaman (seharusnya zaman), sexsual (seharusnya seksual), emotional (seharusnya emosional), kurang tanda koma setelah muncul penghubung antarkalimat di awal kalimat atau sebelum petikan (dialog), tak perlu ada titik setelah tanda tanya, atau ada kalimat yang harus diluruskan: “Padahal selama ini, halaman belakang rumah kami cukup rajin dikunjungi tikus liar, karena berada di tepi sungai”—yang rajin halaman belakang atau tikusnya—dll., misalnya, membaca Resep Rahasia Cinta rasanya seperti makan buah durian yang manis, pulen, wangi, dan lezat. Sekali makan enggan berhenti. Ketika harus berhenti karena sudah kenyang, sisanya tetap disimpan untuk dimakan dan dihabiskan dalam kesempatan kemudian.
Semua cerita yang tertoreh di buku ini—sesepele apa pun yang disajikan—rasanya penting untuk disimak. Apa yang dalam hidup keseharian seakaan tidak layak untuk diperhatikan di tangan penulis buku ini, Ni Made Sri Andani, menjadi perlu disimak, dihayati, direnungkan, dan diambil hikmahnya.
Tanpa bermaksud melayangkan pujian berlebihan terhadap penulis buku ini, apa yang tersaji dalam buku ini memang inspiratif. Isinya menggugah kesadaran akan pentingnya memperhatikan hal-hal “kecil”, “sepele”, yang dalam kehidupan keseharian (ter)lewat begitu saja. Isi yang inspiratif itu ditopang oleh cara penyajiannya yang renyah, memikat, dan mengalir. Dalam ungkapan bahasa yang formal, cara penyajian keseluruhan cerita dalam buku ini komunikatif, kreatif, dan efektif.
Pondok Rajeg, 18 Maret 2023.