Monthly Archives: April 2023

MENGUAK ISI “RAHASIA CINTA” NI MADE SRI ANDANI: Sunu Wasono

Standard

Tulisan : Sunu Wasono

Di era ini segala sesuatu dapat diabadikan oleh atau lewat teknologi komunikasi yang canggih. Dengan telepon seluler isi kehidupan seakan-akan dapat diliput. Dengan benda budaya itu, semua yang terjadi di jagat raya ini dapat direkam, diolah, atau dikemas sedemikian rupa dan dihidangkan kembali dalam bentuk atau wujud yang bermacam-macam: foto (gambar), suara (nyanyian, pembacaan), film, drama, puisi, cerita, catatan, dll. Di tangan orang yang peka dan kreatif, fenomena tertentu (gaya hidup, tren, rasa cinta dan cemburu), peristiwa alam, kejadian sehari-hari, bahkan juga kejahatan, dapat dijadikan bahan pemikiran, renungan, dan sumber inspirasi untuk berkarya. Buku ini adalah salah satu contoh atau wujud dari kreativitas orang semacam itu. Lima puluh kisah yang terhimpun dalam buku ini—seperti kata penulisnya—adalah “kumpulan tulisan tentang kejadian sehari-hari yang menarik, menginspirasi, atau memberi pelajaran maupun renungan dalam menjalani kehidupan.”

Harus buru-buru ditegaskan bahwa sekalipun pada judulnya tertera kata “cerita”, tulisan yang terhimpun dalam buku ini bukan fiksi. Penulisnya tidak berkehendak menyajikan “karangan” dalam arti ‘buah khayal (semata-mata) yang diwujudkan dalam bentuk tulisan’. Semua yang tersaji dalam buku ini dipetik dari pengalaman nyata penulisnya. Jadi, yang tersaji dalam buku ini adalah kisah yang diangkat dari hasil pengamatan dan pengalaman nyata yang direkam penulisnya. Tentu saja tidak semua yang dijumpai di jalan diangkat menjadi tulisan. Hanya kejadian yang berkesan yang diangkat ke dalam tulisan.

Penulis buku ini adalah sosok yang tidak membiarkan pengalaman yang berkesan berlalu begitu saja. Sebagai seorang yang peka terhadap keadaan, ia menyempatkan diri untuk mencatatnya, lalu “mengolahnya” dan menyampaikannya untuk pembaca. Dalam mengolah, ia tidak berlagak menjadi orang yang serbatahu dan bijaksana, lalu dengan kebijaksanaan yang dimiliki pengalaman dan pengetahuannya dituangkan untuk pembaca. Ia membeberkan saja apa yang diketahui dan dialami, lalu memolesnya dengan komentar sebagai bagian dari sikapnya terhadap sesuatu yang dialami. Kalaupun dalam komentar itu ada nada yang terkesan menasihati atau menggurui, cara penyampaiannya tetap terkontrol, tidak menimbulkan kesan bahwa dirinya adalah sosok yang paling tahu mengenai berbagai hal. Dalam “Cinta dan Cemburu”, misalnya, ia membahas perbedaan cinta dan cemburu. Pada tulisan itu ditemukan tips bagaimana menyikapi cinta dan cemburu. Dari cara penyampaiannya jelas terlihat bahwa penulis tidak sedang memberi petuah terhadap orang yang tidak tahu apa-apa tentang cinta dan cemburu. Ia hanya berusaha membuka ruang dan kesadaran pembaca tentang hubungan dan perbedaan antara cinta dan cemburu. Untuk itu, ia menghadirkan semacam “opini” yang nadanya terbuka bagi kemungkinan munculnya pendapat lain. Ia tidak mendesakkan pandangan/pendapatnya sendiri kepada pembaca.

Satu hal yang perlu dicatat, komentar yang muncul dari berbagai “persoalan” yang digulirkan atau cacatan terhadap kisah yang dialami tidak membunuh pesan dari kejadian yang diabadikannya. Penulis berlaku sebagai perekam dan tidak mengambil alih apa yang direkamnya menjadi sekadar alat atau kendaraan untuk memamerkan pengetahuannya. Adakalanya dalam mengusung fenomena tertentu, misalnya tentang perayaan hari valentine, Made Sri Andani hanya bertindak sebagai pelapor dan peramu pernyataan/cerita dari sejumlah orang (teman/handai taulannya). Setelah menyampaikan sejumlah cerita/pengalaman sejumlah orang, ia menutupnya dengan satu pernyataan pengalaman tentang dirinya yang berbeda dengan cerita orang lain. Namun, dalam pernyataan itu tak ada kecaman, nyinyiran, atau kata-kata lain dari dirinya yang bernada sinis. Di sini terlihat bahwa penulis menampilkan diri sebagai sosok yang rendah hati, bijak, dan toleran terhadap orang lain yang berbeda dengan dirinya terkait dengan gaya hidup tertentu—dalam hal ini kebiasaan merayakan Hari Valentine.

Dalam cerita lain, kesan di atas juga terlihat. Terkait dengan cerita yang diangkat dari kejadian/pengalaman nyata tertentu, pembaca diberi ruang dan kesempatan untuk menangkap sendiri kisah yang disajikan penulis. Kalaupun ada komentar penulis, fungsinya tidak menggurui pembaca. Penulis juga tidak menjadi juru bicara tokoh-tokoh atau orang-orang yang disebut dalam kisahnya. Penulis “hanya” seorang pencatat, perekam, dan penyimpul dari suatu kejadian atau fenomena yang disaksikan atau dialami. Posisi dan peran seperti itu dapat dilihat, antara lain, pada kutipan berikut.

“Hal menarik yang saya pelajari dari kejadian ini adalah, bahwa ketidaksukaan terhadap sesuatu sebenarnya bisa ditoleransi dan dikurangi. Terutama jika kita berusaha mencari dan menemukan sisi baik dari hal yang kita tidak sukai itu. Misalnya kita tidak menyukai seseorang. Jika kita hanya melihat hal-hal buruk dari orang tersebut, maka kita pun tidak akan pernah menyukainya. Setiap hari ada saja yang kita lihat salah atau tidak menyenangkan dalam dirinya. Namun jika kita berusaha untuk melihat hal–hal baik dalam dirinya, mungkin berikutnya kita bisa menemukan lebih banyak lagi hal-hal baik lain yang menyebabkan kita berpikir bahwa teman kita itu sebenarnya nggak jelek-jelek banget. Dan lama-lama, mungkin kita bisa melihat bahwa ia pun sebenarnya sama dengan teman yang lainnya atau bahkan dengan diri kita sendiri yang tak luput memiliki sisi baik dan buruk.”

Kutipan di atas dipetik dari “La Kitty” yang berkisah tentang seekor kucing liar. Dengan kepiawaiannya menata cerita, penulis dapat menyampaikan renungan yang bijak tentang perasaan suka dan tak suka kepada orang lain. Melaui cerita tentang kucing liar, pembaca diajak masuk ke persoalan hubungan antarteman yang kadang-kadang diwarnai oleh ketegangan akibat rasa suka tak suka. “La Kitty” hanya kisah tentang kucing, tetapi melalui kisah itu persoalan lain bisa masuk ke dalam topik pembicaraan. Masuknya terasa wajar, tidak dipaksakan.

Kalau ditelisik keseluruhan tulisan yang terhimpun dalam buku ini, niscaya ditemukan banyak hal yang menarik, mulai dari cerita “biasa” yang sekadar cerita—tentu saja tetap ada isi/pesannya—cerita yang mengandung opini, hingga cerita yang berupa renungan atas suatu hal, fenomena, atau kejadian tetentu. Cerita tentang laptop, “Laptopku Belahan Jiwaku,” misalnya, bagi saya, tidak sekadar menghibur, tetapi juga menyodorkan sesuatu yang bisa menjadi bahan pemikiran. Kisah tentang laptop itu—mungkin bisa jiuga disebut anekdot—ditutup dengan paragraf begini: “Perubahan adalah sebuah keniscayaan. Walaupun kita terlalu malas untuk mengikuti perubahan, rupanya selalu ada mekanisme alam yang mendorong kita terpaksa melakukan pembaharuan.” Bagi saya, pernyataan itu merupakan kesimpulan sekaligus tesis yang terbuka untuk digali lebih jauh.

Cerita lain yang diangkat dari pengalaman konkret, seperti kebiasaan memijit anak (“Memijat Anak Mengasah Naluri Ibu”) atau tentang patung blonyo (“Blonyo yang Ksespian”) tampak sebagai cerita biasa, tetapi bisa manautkan pikiran kita ke persoalan hakiki mengenai hubungan batin antara ibu dan anak serta persoalan minteri kehidupan manusia, khususnya yang terkait dengan jodoh, yang dilapisi perlambang-perlambang.

Satu cerita lagi, “Tumbuh di Tempat yang Salah” dapat ditampilkan sebagai contoh yang menunjukkan betapa cerita yang dihimpun dalam buku ini bergizi. Cerita tersebut “hanya” berkisah tentang biji labu yang ditanam di sebuah pot untuk jenis tanaman adenimum. Semula pencerita menananamnya hanya untuk mengetes apakah biji labu itu masih bisa tumbuh atau tidak. Ternyata bisa. Muncul masalah ketika biji itu menjelma tanaman yang subur. Masalahnya ia tumbuh di pot yang kalau sudah mulai merambat akan mengganggu adenium yang menjadi kesayangan suami. Lewat cerita itu Ni Made Sri Andani mencoba masuk ke persoalan lain: memilih pekerjaan dan memilih pasangan. Ia menciptakan analogi untuk menjelaskan pentingnya orang berpikir masak-masak sebelum bertindak. Melalui kisah biji labu, Ni Made dapat menjelaskan dengan baik dan masuk akal tentang memilih pekerjaan dan memilih pasangan.

Terlepas dari kesalahan-kesalahan kecil, khususnya terkait dengan salah tik (liar ditik lair) dan ejaan, jaman (seharusnya zaman), sexsual (seharusnya seksual), emotional (seharusnya emosional), kurang tanda koma setelah muncul penghubung antarkalimat di awal kalimat atau sebelum petikan (dialog), tak perlu ada titik setelah tanda tanya, atau ada kalimat yang harus diluruskan: “Padahal selama ini, halaman belakang rumah kami cukup rajin dikunjungi tikus liar, karena berada di tepi sungai”—yang rajin halaman belakang atau tikusnya—dll., misalnya, membaca Resep Rahasia Cinta rasanya seperti makan buah durian yang manis, pulen, wangi, dan lezat. Sekali makan enggan berhenti. Ketika harus berhenti karena sudah kenyang, sisanya tetap disimpan untuk dimakan dan dihabiskan dalam kesempatan kemudian.

Semua cerita yang tertoreh di buku ini—sesepele apa pun yang disajikan—rasanya penting untuk disimak. Apa yang dalam hidup keseharian seakaan tidak layak untuk diperhatikan di tangan penulis buku ini, Ni Made Sri Andani, menjadi perlu disimak, dihayati, direnungkan, dan diambil hikmahnya.

Tanpa bermaksud melayangkan pujian berlebihan terhadap penulis buku ini, apa yang tersaji dalam buku ini memang inspiratif. Isinya menggugah kesadaran akan pentingnya memperhatikan hal-hal “kecil”, “sepele”, yang dalam kehidupan keseharian (ter)lewat begitu saja. Isi yang inspiratif itu ditopang oleh cara penyajiannya yang renyah, memikat, dan mengalir. Dalam ungkapan bahasa yang formal, cara penyajian keseluruhan cerita dalam buku ini komunikatif, kreatif, dan efektif.

Pondok Rajeg, 18 Maret 2023.

PENGLARIS

Standard

Penglaris. Apa ya yang disebut dengan penglaris? Menurut saya Penglaris adalah sesuatu yang mendorong barang dagangan menjadi lebih laku di pasaran, alias lebih laris.

Entah berapa banyak cerita simpang siur tentang penglaris ini pernah saya dengar. Misalnya tentang seorang pedagang makanan yang larisnya minta ampun, namun ternyata ketika dilakukan pengecekan oleh yang namanya “ahli” konon ada seekor jin pintar yang membantunya memasak di dapur. Mungkin serupa Remy, si tikus ahli masak di film Ratatoille gitu kali ya .

Ada juga cerita yang pernah saya dengar, konon untuk meningkatkan jumlah kunjungan ke warungnya, orang ada yang menggunakan ludah tuyul, kencing tuyul, apel jian, minyak kasturi hingga  minyak karomah. Dan ajaibnya, benda-benda yang konon bisa melariskan dagangan ini dijual bebas di toko online macam di Lazada.

Nah, saya mau menambah satu cerita lagi tentang Penglaris.

Suatu sore saya ingin makan gorengan. Tetapi karena sedang sibuk, saya tak sempat turun sendiri ke kantin yang berlokasi di lantai basement gedung. Saya meminta tolong kepada Pak Supir yang biasa mengantar saya pulang pergi ke kantor untuk membelikan.  Kebetulan beliau sedang ada di basement. Jadi tinggal saya chat saja via whatsapp. Minta tolong, ntar uangnya saya kembalikan.

Di basement  itu ada 2 pedagang  makanan. Sebut saja namanya Mbak Santi dan Mbak Sinta (ngarang sih ini namanya , tapi dua pedagang itu memang beneran ada). Barang dagangannya hampir sama. Nasi dengan lauk-pauk rumahan seperti tumis kangkung, bayam, tauge, telor bulat, telor dadar, tahu, tempe, ayam goreng dan sebagainya. Dan dua-duanya juga menjual gorengan.

Walau saya jarang membeli makanan, karena biasanya saya membawa bekal makan siang dari rumah, saya lebih sering berbelanja di tempat Mbak Santi. Nggak begitu jelas sih penyebabnya. Mungkin karena tampilan makanannya kayaknya lebih segar gitu di etalase Mbak Santi.

Sementara itu, sambil menunggu Pak Supir datang membawa gorengan yang saya pesan, kawan saya yang sudah membeli gorengan lebih awal menawarkan kepada saya. Saya mengambil Bakwan Sayur sepotong. Terlihat bersih dan rasanya enak .

“Beli di mana?”

“Di Mbak Santi” jawab kawan saya.

Sayapun menikmati gorengan pemberian kawan saya itu.

Tak berapa lama, telpon saya berdering.

“Bu, gorengannya sudah habis. Sudah kesorean”.

Oh ya. Bulan puasa. Dagang gorengan laris manis.  Pada beli buat berbuka puasa.

“Ooh gitu ya? Beneran habis semua? “
“Ya, Bu. Ini yang habis yang di Mbak Santi. Apa ibu mau beli dari yang Mbak Sinta?”

Ooh begitu. Saya paham, rupanya Pak Supirpun  lebih suka berbelanja di Mbak Santi. Tentu ada penyebab. Lalu saya menjawab OK. Nggak apa-apa membeli dari Mbak Sinta.

Tak seberapa lama, datanglah Pak Supir mengantarkan gorengan itu ke saya. Beliau bercerita  bahwa antrian orang yang hendak membeli gorengan sudah mengular di Mbak Santi sejak jam 4 sore, karena pada beli gorengan buat buka puasa.  Sedangkan di sebelahnya  Mbak Sinta cuma bisa menonton antrian di tetangganya itu, karena  tidak banyak orang yang membeli gorengannya.

Teman-teman saya ikut mendengarkan dan setuju dengan pengamatan itu. Betul, katanya. Selalu begitu setiap hari. Mbak Santi sangat laris, Mbak Sinta sangat sepi. Ooh, semua orang tahu rupanya soal Mbak Santi versus Mbak Sinta ini.

“Jika orang awam melihat kondisi dua pedagang itu, bisa-bisa ada yang berpendapat bahwa Mbak Santi memakai penglaris. Soalnya kontras sekali tingkat keramaian pengunjungnya”.

Kami tertawa memikirkan kemungkinan itu. Betul! Karena cerita-cerita tentang penglaris itu sering datang dengan perbandingan. Satu warung laris sementara warung-warung lain disekitarnya tidak laris. Pasti berkaitan dengan persaingan dagang. Jadi sangat masuk akal, jika ada  yang menduga ini ada hubungannya dengan penglaris.

Setelah Pak Supir pergi, saya membuka bungkus gorengan itu. Waduuh..ternyata dari tampilannya kelihatan jika gorengan dari Mbak Sinta ini kayaknya bukan gorengan baru. Tapi gorengan kemarin yang digoreng lagi tadi siang, dan sekarang sudah dingin. Astaga! Ada pastel yang coklat kering, cireng yang juga coklat butek (biasanya cireng warnanya putih), tempe yang juga coklat kering.

Tapi karena saya lapar dan tentu mubazir jika dibuang, saya makan juga gorengan itu. Rasanyapun tidak menarik selera. Ada terkecap rasa amis di gorengan itu. Saya pikir Mbak Sinta mungkin telah menggorengnya dengan minyak jelantah, bekas menggoreng ikan cue.

Teman-teman saya ikut melihat gorengan itu dan berkomentar sama. Menurit cerita teman saya, selain gorengan, hal yang sama juga terjadi pada lauk pauk dan sayur yang dijual Mbak Sinta. Sering tidak segar dan hasil dipanaskan.

“Makanya Bu, orang jadi males belanja di Mbak Sinta. Makanannya nggak seger. Beda dengan Mbak Santi. Makanannya selalu segar dan baru. Rasanya lebih enak, lebih bersih. Orangnya juga ramah. Suka ngajakin ngobrol”.

“Mbak Sinta itu, jika barang dagangannya nggak habis ia simpan, lalu panaskan lagi. Sedangkan Mbak Santi nggak pernah begitu. Jika ada sisa, pasti ia bagi-bagikan kepada orang yang ada di sekitar situ” cerita teman saya yang lain.

Ooh begitu ya. Saya baru tahu. Baik juga Mbak Santi itu rupanya ya. Selain baik, cara itu juga berguna baginya untuk mempertahankan barang dagangannya selalu dalam keadaan segar dan baru.

Pulangnya, di jalan saya ngobrol lagi tentang gorengan Mbak Sinta yang kurang fresh itu dengan Pak Supir.

“Ya memang begitu Bu. Makanya nggak ada yang mau belanja di tempat Mbak Sinta. Kecuali kepepet. Misalnya di Mbak Santi habis. Atau nggak sabar nunggu antrian di Mbak Santi. Barulah ke Mbak Sinta”

“Lagipula di Mbak Sinta itu mahal. Pernah saya beli makan di situ, mahal sekali” imbuhnya. 

Wah, satu lagi faktor penambah, mengapa konsumen enggan berbelanja di Mbak Sinta. Harga yang lebih mahal untuk kwalitas barang yang lebih buruk.

“Selain itu Bu, Mbak Santi tidak pernah menyimpan sisa makanan yang tidak laku. Jika ada sisa, setiap sore sebelum pulang, pasti mendatangi kami untuk membagikan sisa makanan”

“Jadi benar ya cerita itu. Saya juga dengar dari teman-teman”

“Ya, benar Bu. Itupun pakai meminta maaf, bukan bermaksud menghina memberikan makanan sisa, tetapi karena tahu sebenarnya makanannya masih bagus dan mubazir jika dibuang, maka lebih baik dibagikan. Siapa tahu ada yang mau. Tetapi jika tidak mau, nggak apa apa juga dibuang” 
Pak Supir bercerita kepada saya, sambil tetap awas memperhatikan lalu linta di jalan raya. Cerita ini sejalan dengan yang diceritakan teman-teman saya tadi.

“Terus terang, itu sangat bermanfaat buat kami para supir. Siapa sih Bu, supir yang tidak mau diberi makanan. Apalagi yang menunggu di basement hingga malam dan mungkin juga lapar. Saya sering kebagian.  Mbak Santi itu baik sekali”

Saya mendengarkan cerita Pak Supir dengan rasa terharu. Terharu dengan kebaikan hati Mbak Santi yang tidak mencari keuntungan berlebih dari usaha dagangnya dan memilih berbagi dengan sesama jika ada sisa.

Ha! Sekarang saya tahu. Mbak Santi itu memang memakai PENGLARIS dalam menjalankan usaha dagangnya.  Tetapi penglarisnya itu adalah berupa KWALITAS barang dagangan yang baik, bersih dan segar, HARGA yang masuk akal dan terjangkau, pelayanan yang RAMAH dan KEBAIKAN HATI terhadap sesama.

Jadi itu !!!. Itu rupanya Jimat PENGLARISnya, Mbak Santi.
Bukan  ludah tuyul, apel jin atau minyak karomah.

Tuhan memelihara rejeki orang-orang berhati tulus yang sering membagikan rejekinya sendiri kepada orang lain yang membutuhkan. Diam-diam, sayapun ikut berdoa, semoga Mbak Santi selalu sehat dan banyak rejekinya, agar bisa terus menebarkan kebaikan bagi sesama.