Monthly Archives: December 2014

Aku Ingin Pulang…

Standard

PulangSeorang sahabat saya sedang gandrung pada lagu “Aku Ingin Pulang” yang dilantunkan Ebiet G Ade di tahun 80-an. Ia meminta beberapa teman (termasuk saya) untuk ikut mendengarkan dan menyimak lagu itu baik-baik. Ia menyebut tentang suara Saxophone di lagu itu yang sangat mengesankan. Sebenarnya saya sudah agak-agak lupa akan lagu itu. Karenanya saya coba ceklak ceklik di Youtube. Akhirnya ketemu juga. mana ya suara saxophone yang dimaksud?Ternyata memang lagunya enak. Namun alih-alih mendengarkan suara saxophonenya saya malah menyimak baik-baik lyricsnya.

Kemanapun aku pergi/Bayang bayangmu mengejar/Bersembunyi dimanapun/S’lalu engkau temukan/Aku merasa letih dan ingin sendiri/

Ku tanya pada siapa/Tak ada yang menjawab/Sebab semua peristiwa/Hanya di rongga dada/Pergulatan yang panjang dalam kesunyian/

Aku mencari jawaban di laut/Ku sadari langkah menyusuri pantai/Aku merasa mendengar suara/Menutupi jalan/Menghentikan petualangan/Du du du

Kemanapun aku pergi/Selalu ku bawa-bawa/Perasaan yang bersalah datang menghantuiku/Masih mungkinkah pintumu ku buka/Dengan kunci yang pernah kupatahkan/Lihatlah aku terkapar dan luka/Dengarkanlah jeritan dari dalam jiwa

Aku ingin pulang uhuu/Aku harus pulang uhuu/Aku ingin pulang uhuu/Aku harus pulang uhuu/aku harus pulang

Seperti judulnya, sang penyanyi yang sekaligus penyair berkisah tentang keinginannya untuk pulang kembali , setelah petualangannya yang panjang. Sebuah niatan yang sangat baik. Masalahnya adalah, ia telah mematahkan kunci rumah itu, lalu apakah mungkin ia akan bisa membuka pintu rumah itu kembali dengan kunci yang patah itu? Nah!. Saya terbengong-bengong mendengarnya. Terutama pada bagian yang menceritakan tentang kunci yang patah itu.

Apa yang dimaksudkan oleh Ebiet dengan kata “Rumah”? Dan Kunci yang patah? Lagu itu sungguh mungkin ditafsirkan dari berbagai sudut pandang. Tergantung konteks pendengarnya.

Pertama yang sangat mungkin terlintas dalam pikiran saya adalah bahwa rumah mengibaratkan seorang kekasih kemana seseorang merasa ingin kembali setelah petualangannya yang panjang. Mungkin di suatu saat di masa lampau ia pernah mematahkan hati sang kekasih dan kini ia ingin pulang kembali ke pangkuan kekasihnya namun tak yakin, apakah sang kekasih masih bersedia membukakan pintu hatinya kembali.

Kemungkinan yang lain adalah bahwa rumah mengibaratkan Tuhan yang Maha Kuasa, dimana seseorang ingin pulang kembali setelah merasa berjalan jauh dan berpaling dariNYA. Ia ingin pulang kembalike jalanNYA,namun ragu apakah ia akan mampu membuka pintuNYA dengan kunci yang sempat ia patahkan.

Dan kemungkinan yang terakhir..ya barangkali bahwa penyanyi itu memang mengatakan apa adanya..bahwa ia memang ingin pulang ke rumah yang sebenarnya.

Terlepas “rumah” yang mana yang dimaksudkan oleh Ebiet G Ade sebagai tujuan untuk pulang, saya merasa bahwa kata “pulang” selalu terdengar dan terasa indah, baik di telinga maupun di hati saya. Karena rumah adalah tempat dimana hati kita terpaut. Setiap orang yang merasakan arti sebuah rumah memahami bahwa rumah adalah sebuah tempat yang sangat hangat dan penuh dengan kasih sayang dan cinta, dimana seseorang merasa aman, nyaman dan selalu ingin kembali sejauh manapun kakinya melangkah pergi. Jika rumah yang dimaksud adalah seorang kekasih, tentu kekasih yang ia maksudkan adalah seseorang yang selalu ada untuknya, memberinya cinta dan kehangatan yang melimpah serta kehangatan dan kenyamanan hati dan jiwa yang tidak ia dapatkan dari yang lain. Itulah sebabnya mengapa ia ingin pulang.  Jika rumah yang dimaksudkan adalah Tuhan Yang Maha Esa, sudah pasti  ia merasa bahwa hanya Dialah satu-satunya tempat berlindung, tempat ia merasa mendapatkan rasa aman, nyaman dalam kasih sayangNYA.  Demikian juga halnya dengan rumah dan keluarga yang sebenarnya.

Lalu bagaimana dengan kunci yang sempat ia patahkan? Apakah ia akan mampu membuka pintunya walaupun hanya berbekal kunci yang patah? Terus terang saya tidak bisa menebak jawaban pada bagian ini. Sangat relatif tentunya. Namun dalam pikiran saya, jika rumah itu memang benar-benar sebuah rumah yang penuh kehangatan dan cinta, maka cinta tidak akan pernah menutup pintunya. Cinta tak mengenal kunci yang patah. Cinta akan selalu ada dan membuka pintunya lebar-lebar bagi sang petualang untuk pulang kembali. Ketulusan cinta tak mengenal hitungan untung dan rugi, ataupun hitungan disakiti ataupun menyakiti. Yang ada hanyalah kasih sayang yang tak berbatas. Demikianlah Ia Yang Maha Pemaaf, selalu menerima setiap hambaNYA yang ingin kembali kejalanNYA, sehingga setiap orang tidak ada yang merasa khawatir untuk bertobat. Jika Ia telah memberi contoh dalam memaafkan, mengapa pula manusia tidak mau belajar dariNYA?

Memikirkan itu, saya teringat kembali kepada sahabat saya. Mengapa ia meminta teman-temannya, termasuk saya ikut mendengarkan lagu itu? Apakah memang benar karena ia terkesan dengan suara Saxophonenya ? Ya.. memang benar bagus juga sih. Atau apakah saat ini ia sedang berada diluar, tersadar dari sebuah ‘petualangan’ dan sedang ingin pulang ke rumahnya? Tiba-tiba saya ingin mengobrol dengannya. Saya melihat jam. Sudah terlalu malam. Tidak memungkinkan bagi saya untuk menelponnya selarut ini. Lagipula belum tentu ia begitu. Barangkali hanya perasaan saya saja. Ha ha..kadang-kadang saya memang rada sok tahu. Akhirnya saya memutuskan hanya berdoa saja, jika memang begitu –  semoga sahabat saya itu bisa pulang ke rumah, jika memang saat ini ia benar-benar ingin pulang.

Pulanglah jika engkau memang ingin pulang! Jangan pernah hiraukan kunci yang pernah kau patahkan. Karena orang rumah pasti akan membukakan pintunya untukmu dengan suka cita.

Sahabat yang baik, selalu mendoakan yang terbaik untuk sahabatnya. Apapun itu.

 

2014 in review

Standard

Happy New Year 2015!!!. Thanks to all of my friends and readers where ever you are. Thanks for making blogging become so wonderful experience for me. And big thanks to WordPress to make it happen!.

***************************************************************************************************

The WordPress.com stats helper monkeys prepared a 2014 annual report for this blog.

Here’s an excerpt:

The Louvre Museum has 8.5 million visitors per year. This blog was viewed about 530,000 times in 2014. If it were an exhibit at the Louvre Museum, it would take about 23 days for that many people to see it.

Click here to see the complete report.

Sinkronisasi Waktu.

Standard

HidanganSedang berada di rumah. Cuti. Gara gara  si Mbak pulang kampung dan anak-anak liburan di rumah. Apalagi yang saya lakukan selain berberes dan masak buat anak anak dan keluarga.  Malam kemarin rencananya saya memasak  sup cream jagung, rolade saus barbeque, goreng tofu dan bikin ca pakchoy. Saya pikir anak-anak akan senang. Karena semua masakan yang saya buat itu kesukaan mereka – kecuali sayuran. Itu mah kesukaan emaknya. Aneh juga! Sulit untuk membujuk anak-anak agar menyukai sayuran.

Pertama yang saya lakukan adalah memasak nasi dulu. Mencuci beras, lalu menyalakan rice cooker. Saya pikir  sementara saya memasak makanan-makanan ini, tentu setelah semua matang, nasi di rice cookerpun sudah matang. Demikianlah saya memasak makanan itu satu per satu. Setengah jam kemudian. Selesailah sudah semuanya!. Saya melirik ke rice cooker. Posisi indikator panas ada di “Warm” bukan di “Cook”. Berarti sudah matang. Wah…cepat sekali matang ya. Pikir saya dalam hati. Mungkin karena masaknya tidak banyak. Nah sekarang tinggal menghidangkan di meja makan dan manggil anak-anak dan suami untuk makan. “Ayo sayaaaang! Kita makan!” teriak saya dari dapur. Anak-anakpun bermunculan di dapur. Saya meminta tolong yang besar untuk membantu menyiapkan piring sendok dan garpu serta gelas untuk diletakkan di meja makan. “Oke Ma!” jawabnya dengan manis seperti biasanya. Lalu mengerjakan apa yang saya perintahkan. “Apa lagi Ma?” tanyanya. Nggak ada lagi. Semuanya sudah di meja makan.O ya..kecuali Nasi. Masih di rice cooker. “Panas! Biarlah mama saja yang ngangkat” kata saya kepada anak-anak. Merekapun menurut dan duduk manis di dekat meja makan.

Saya membuka tutup rice cooker. Astaga!!! Alangkah terkejutnya saya. Ternyata nasi sama sekali belum matang! Malah masih mentah. Masih beras!. Rupanya setelah mencolokkan kabel Rice Cooker ke listrik, saya lupa memencet tombol “Cook” untuk memberi perintah agar Rice Cooker memasak. Pantas saja status indikatornya di “Warm”. Aduuuh…bagaimana sih saya ini. Kok bisa sepikun ini. Ada dua kesalahan yang saya lakukan, pertama adalah kurang teliti alias lupa menekan tombol “Cook”, dan yang ke dua adalah tidak memfollow up kecurigaan saya, padahal saya sudah heran sendiri mengapa nasi terasa lebih cepat matang dari biasanya. Alih-alih memeriksa kondisi Rice Cooker, saya malah memanggil anak-anak untuk makan. Saya kurang men’challenge’ apa yang saya lihat dan pikirkan.

Akhirnya saya meminta maaf pada anak-anak dan meminta mereka untuk sabar menunggu selama kurang lebih setengah jam lagi. “Aduuh Mamaaa! Mamaa!” Anak-anak tertawa dan kembali ke gadgetnya masing-masing lagi. Suami saya hanya senyum-senyum saja  dari balik laptopnya  mengetahui kehebohan itu . Huaaa…malunya saya!.

Setengah jam kemudian barulah nasi siap. Walaupun cuma selisih setengah jam, namun semuanya jadi berantakan juga. Karena  sekarang jadi kurang sinkron lagi. Saat nasi matang dan masih panas, semua hidangan yang lain sudah menjadi dingin. Berkuranglah kenikmatannya!. Idealnya sih, begitu hidangan yang lain siap, nasi juga tepat pas sudah matang. Nah..itu baru mantap!.

Awalnya ide saya juga begitu sih…makanya saat diawal yang saya lakukan adalah mencuci beras terlebih dahulu, karena memasak nasi membutuhkan waktu yang lebih lama. Tapi apa daya..faktor U juga rupanya sudah mulai ambil bagian… sehingga saya lupa he he.

Ingat kejadian itu, saya jadi memikirkan betapa pentingnya sinkronisasi waktu dalam setiap hal yang kita lakukan dalam hidup. Sinkronisasi waktu membantu kita mengoptimalkan segala sesuatunya sehingga kita mendapatkan nilai terbaik dari apa yang seharusnya kita dapatkan.

Contoh lain dari sinkronisasi waktu yang saya tahu banyak dilakukan oleh penduduk Betawi di lingkungan saya tinggal adalah menanam bibit timun suri pas 3 bulan menjelang bulan Ramadhan. Dengan harapan, saat timun suri ini berbuah dan matang, itu sudah pas sedang memasuki bulan Ramadhan dimana orang-orang berpuasa dan timun suri tentu banyak dibutuhkan untuk membuat campuran minuman dan es buat buka puasa. Jika menjual buah timun suri pas di bulan ini, tentu saja petani bisa menjual dalam jumlah sangat banyak dan dengan harga yang sedang pas tinggi-tingginya karena tingginya jumlah permintaan.

Tentunya masih banyak lagi contoh-contoh lain dari aplikasi Sinkronisasi Waktu dalam kehidupan kita sehari-hari. Merapikan genteng atau membersihkan saluran got saat musim kemarau, dengan harapan nanti pas musim hujan tidak ada lagi genteng yang bocor atau kebanjiran gara-gara saluran air tidak lancar, selain ongkos merapikan genteng saat musim kemarau tentu tidak semahal saat musim hujan. Dan sebagainya.

Jika kita mampu mengingat-ingatnya kembali dan menerapkan sinkronisasi waktu ini dengan baik dalam setiap hal yang kita lakukan, tentu akan sangat membantu.

Pulang…

Standard

Danau BaturPenghujung tahun seperti ini jalanan terasa lengang dan sepi. Banyak orang mengambil cuti. Liburan entah keluar kota atau mungkin ke luar negeri. Tak pelak membuat pikiran sayapun melayang ingin ikut libur. Pulang!. Alangkah nyamannya membayangkan kata itu. Rumah yang hangat penuh dengan cinta, kasih sayang dan canda tawa  kakak adik, sepupu, keponakan. Seberapa jauhpun kaki saya melangkah, keinginan untuk pulang selalu terasa menarik saya.

Seorang sahabat bertanya kepada saya, mengapa seseorang merasa harus pulang? Rasanya hanya sebuah pertanyaan mudah. Tapi karena saya belum pernah menanyakan hal ini kepada diri saya sendiri sebelumnya, saya agak membutuhkan waktu untuk menjawabnya. Saya rasa, seperti halnya dengan saya, rasa rindu seseorang untuk pulang tentu bukan dipicu oleh rumah itu secara ‘fisik” sebagai sebuah bangunan, namun lebih karena kerinduan terhadap apa yang ada di dalam rumah itu, yakni kasih sayang, perhatian dan  cinta yang diberikan oleh seluruh anggota keluarga.  Saya ingat bagaimana orang orang rumah selalu memeluk saya dengan sayang. Bertanya ketika saya tidak memberi berita. Menghibur ketika saya kesusahan. Menunggu ketika saya sakit. Semuanya itu membuat saya merasa kalau rumah dan keluaga adalah tempat yang paling aman di dunia. Itulah yang selalu saya kenang, mengapa saya selalu merasa ingin pulang ke kampung halaman saya.

Rumah menjadi sangat dirindukan ketika kehangatan dan canda tawa penghuninya memberi pupuk yang menyehatkan bagi ladang hati dan jiwa kita. Karenanya, walau kemanapun kaki kita melangkah hati kita tetap terpaut di rumah.

Sebaliknya ketika semua kehangatan itu sirna, mengikuti hilangnya sinar mentari yang tertinggal hanyalah kebekuan, rumah tidak lagi menjadi tempat yang menarik untuk dirindukan. Tiada tawa dan canda. Tiada kasih sayang dan perhatian.

Saya ingat seorang teman pernah bercerita kepada saya, ia sangat tidak nyaman berada di rumah. Apa pasal? Menurutnya, setelah lelah dari urusan kantor yang formal, ia ingin bersantai sejenak di rumah. Membebaskan diri dari formalitas, dimana ia bisa seenaknya hanya menggunakan kaos oblong dan celana kolor tanpa ada yang perlu dikhawatirkan. Ia ingin melarikan diri dari segala kedisiplinan dan keteraturan. Bisa berantakan dan menikmati ketidak-rapian di rumah. Santai! Relax!. Nah..masalahnya, istrinya adalah seorang yang super rapi, sehingga setiap kali ia duduk atau rebahan di sofa atau di tempat tidur, istrinya buru-buru merapikan lagi, sehingga ia merasa sama sekali tidak nyaman. Saya hanya nyengir mendengar ceritanya. Bisa jadi istrinya tidak menyadari dan tidak bermaksud membuat suaminya tidak betah. Ia hanya berpikir sederhana, ingin selalu melihat rumah dalam keadaan rapi. Dan suaminya..entah kenapa pula tidak mengatakan terus terang kepada istrinya kalau ia lebih menyukai rumah yang ‘berantakan’ daripada rumah yang super rapi? Barangkali sudah..entahlah. Saya tidak bertanya lebih lanjut.

Hal-hal kecil, terkadang tanpa kita sadari membuat salah satu anggota rumah merasa tidak nyaman. Tidak merasakan kehangatan yang membuat hatinya tidak terpaut di rumah lagi. Dan  ujung-ujungnya memilih pergi dan tidak pulang ke rumah.

Nah.. kembali lagi dengan pertanyaan sahabat saya itu, jadi menurut saya..hanya rumah yang hangat dengan kasih sayang dan cinta yang membuat seseorang rindu ingin pulang.

 

 

Kebudayaan Daerah Dan Alih Generasinya.

Standard

 

Sekaha-Barong-Truna-Bangbang-alih-generasi.

Sekaha-Barong-Truna-Bangbang-alih-generasi.

Seorang sahabat saya, Dewa Gede Putra Adnyana yang sehari harinya adalah  seorang Arsitek sekaligus Engineer di Treetop Adventure yang merancang design dan mengawasi tempat-tempat wisata Outbound di daerah-daerah di Indonesia bahkan hingga ke mancanegara, kerap kali mengup-load foto-foto anak-anak yang sedang berlatih memainkan alat-alat musik traditional Bali. Rupanya di tengah kesibukannya itu, ia masih sempat-sempatnya mengabdikan waktunya untuk masyarakat sekitar dengan aktif membina kelompok kesenian anak-anak  ini.

Setiap kali ia berada di Bali, sesibuk apapun sudah dipastikan ia akan meluangkan waktunya beberapa saat dengan kelompok kesenian anak-anak ini di kampungnya di desa Bangbang, kecamatan Tembuku di Bangli. Berusaha ikut membantu melestarikan dan mengembangkan kesenian dan kebudayaan traditional daerah di tengah derasnya arus modernisasi dan globalisasi.  Bahkan yang sering saya lihat, seni musik yang dimainkannya itu adalah dari jenis yang sudah langka seperti  Gambang, Selonding, Caruk – yang merupakan Bebali yang hampir punah (Bebali = Seni Tradisi pelengkap upacara), yang  jika tidak ada yang melestarikannya sekarang tentu akan benar-benar punah. Itu yang membuat kami teman-temannya merasa salut padanya.

Pertama tentunya karena  di jaman sekarang ini, tidak banyak anak-anak yang punya minat pada kesenian traditional. Mereka lebih suka membuang waktunya dengan bermain games online. Membuat anak-anak hanya sekedar “bersedia”untuk belajar kesenian traditional saja sudah sulit. Apalagi untuk membuat mereka menjadi tertarik dan bangga akan kesenian daerahnya- tentu jauh lebih sulit lagi. Membutuhkan effort yang tidak mudah. Slonding cilik yg menggelitik(1) Kedua, karena  tidak banyak orang dewasa yang perduli akan keberlangsungan kesenian dan kebudayaan daerahnya, sehingga tidak ada effort untuk meng’estafet’kannya kepada generasi penerusnya. Bagaimana mau meneruskan, wong ia sendiri juga tidak mengerti. Jadi melihat ia begitu kami semua merasa bangga dengan apa yang ia lakukan.

Suatu kali ia mengupload sebuah gambar pementasan  sekeha Gong anak-anak itu.  Ia bertanya kepada kami. Ada element kegembiraan dan kegelisahan di sana. Ada yang bisa menebak, apa itu? katanya. Saya pikir ia ia ingin mengatakan bahwa diantara kegembiraan anak-anak yang akan tampil, ada kegelisahan dan kehawatiran akan basah kuyup, karena photo itu kelihatannya diambil saat mendung menggelayut di langit.  Sebentar lagi tentu akan turun hujan, pikir saya. Ternyata bukan. Bukan itu yang menjadi kegelisahannya. Inilah gamelan Caruk pelengkap upacara selain Slonding...yg membanggakan adalah generasi muda Bangbang(1) Ia kemudian menceritakan kegalauan hatinya.  Sejumput pertanyaan akan bagaimana kelak nasib kelompok kesenian anak-anak ini dengan berlalunya waktu. Mereka tentu akan sekolah dan bekerja mengikuti alur nasibnya sendiri-sendiri dan mungkin akan keluar desa dan sukses di tempat lain. Berpencar dan tak semuanya bisa kembali ke desa. Saat itu tentu apa yang ia bina tidak akan terlihat lagi bentuknya. Karena masa depan anak-anak ini bukan hanya Sekeha Gong. Dewa Bali Treetop Saya terhenyak dengan keprihatinannya itu. Teman-teman memberikan pendapatnya masing-masing. Ada yang menenangkan. Ada yang memberi masukan. Semuanya sangat berguna.  Kesenian, sebagai salah satu bentuk hasil pemikiran dan perasaan manusia tentunya hanya akan hidup jika masyarakatnya menjalaninya. Dan untuk menjalaninya perlu kesenangan hati, minat dan semangat. Karena pada prinsipnya,kesenian adalah ungkapan hati. Jika kita senang melakukannya maka sudah dipastikan akan menghasilkan bentuk karya yang terindah. Namun jika hati kita tidak di situ, dan kita melakukannya hanya karena kita harus begitu..atau dengan motivasi lain, tentu karya yang dihasilkanpun menjadi tanggung nilainya. Kurang sempurna.

Akan halnya anak-anak – saya rasa kita sebagai orangtua hanya perlu memberinya kesempatan  dan wadah untuk menumbuhkan minat, rasa cinta dan semangatnya untuk berkesenian. Jika itu sudah kita lakukan, selanjutnya terserah masing-masing anak. Karena pada kenyataannya,  jika minat dan cinta akan kesenian itu memang sudah tumbuh,maka di manapun dan kapanpun orang akan berusaha mencari jalan untuk mengekspresikannya. Anak-anak itu akan pulang pada keseniannya, walau kemanapun perjalanan hidup membawanya. Setidaknya teman saya ini sudah melakukan sesuatu.

Jikalaupun mereka kelak tidak kembali berkesenian, mungkin saja anak-anak itu tetap bisa memanfaatkan dan mengimplementasikan pengalamannya dalam bentuk lain. Karena pengalaman berkesenian juga sangat membantu anak-anak mengasah kemampuannya untuk percaya diri dan berani tampil. Juga menyeimbangkan kemampuan emotional dan kepekaan hati.  Tentu saja kelak akan berguna dalam menjalankan tugas ke depannya entah itu sebagai pemimpin maupun sebagai anggota masyarakat biasa.

Generasi muda akan tumbuh dan tunas baru akan susul menyusul menggantikan.Selama kita konsisten melakukan peralihan generasi, semoga kebudayaan dan kesenian daerah kita tidak punah.

Bravo Dewa Putra Adnyana! Semoga sukses dengan apa yang dilakukan untuk masyarakat. Semoga semakin banyak lagi orang orang yang mau berbuat sesuatu untuk mengembangkan kebudayaan daerahnya masing-masing. Walaupun kecil.

Menulis, Untuk Memberi & Menerima.

Standard

MEnulisSuatu ketika, saya sedang mengambil foto-foto di sebuah pasar traditional dan mengobrol dengan orang-orang sekitar. Seseorang bertanya kepada saya, apakah saya seorang wartawan? Saya menggeleng. Bukan!. Saya bukan seorang wartawan profesional. Lalu mengapa memotret-motret dan bertanya ini itu?. Saya menjelaskan bahwa saya hanya senang menulis. Menulis di dunia maya. Saya ngeblog. Saya memotret dan bertanya ini-itu  untuk mendukung apa yang akan saya unggah ke dunia maya. Ooh!.

Anehnya orang itu menyangka saya memiliki toko online. Menjual produk di dunia maya. Saya menggeleng. “Saya hanya menulis. Bukan berdagang” kata saya lagi. Oooh!. Lalu ia bertanya lagi, apakah saya mendapatkan uang dari tulisan saya? Ada yang membayar  jika saya menulis? “Tidak!” Jawab saya. Sungguh!. Setidaknya untuk saat ini.  Entahlah ke depannya.”Saya menulis, hanya karena saya senang menulis. Tidak ada orang yang membayar” kata saya.

Orang itu heran dan tidak mengerti mengapa saya melakukan itu. Mengapa bersusah-susah menulis jika tidak menghasilkan uang? Apa untungnya?. Hmm…apa untungnya ya? Saya tidak bisa menemukan jawabannya dengan seketika. Tapi gara-gara pertanyaan itu saya jadi merenung. Benarkah jika kita menulis tanpa bayaran tidak memberi keuntungan apa-apa bagi diri kita?.

Bagi saya menulis walaupun tanpa bayaran, tetap sangat menguntungkan. Mengapa?

Pertama, sudah pasti karena saya sangat senang menulis. Bukankah kesenangan itu bisa kita anggap sebagai sebuah keuntungan? Saya merasa sangat beruntung karena bisa membuat diri sendiri senang dengan menyalurkan hobby menulis. Menulis di blog rasanya seperti menuis catatan harian…

Kedua, jika saya menulis, maka yang saya tulis adalah tentang kejadian sehari-hari yang menarik perhatian saya. Tentang hal-hal yang saya alami atau lakukan, tentang pemikiran-pemikiran saya, tentang alam sekitar, tentang sikap atau perbuatan baik orang-orang di sekitar yang menginspirasi saya. Menuliskan hal-hal yang menyenangkan dan memberi inspirasi membuat saya lebih mudah mengingat, mengenang dan mengambil inti sari pelajarannya.

Ketiga, menulis juga memungkin saya untuk berbagi kepada orang lain. Jika ada hal-hal yang menurut saya menarik atau berguna untuk diri saya, maka saya pikir barangkali ada orang lain juga yang mau mendengarkan? Atau mengambil inspirasi dan ide-idenya?

Dan yang keempat dan menurut saya paling penting adalah – jika kita menulis, bukan saja kita sharing pemahaman dengan orang lain  namun juga meningkatkan pemahaman kita dengan signifikan terhadap topik yang kita tuliskan. Ketika ingin membagi pengetahuan ataupun pengalaman dengan orang lain, mau tidak mau terpaksa kita menggali isi kepala kita untuk mendapatkan pemahaman terbaik yang kita miliki untuk kita keluarkan.  Menulis membuat kita menyikat kembali isi otak kita dengan cermat. Atau bahkan mungkin mencari referensi-referensi tambahan untuk mendukung tulisan kita, entah dengan cara bertanya, membaca, meneliti data atau gambar-gambar dan sebagainya. Dengan demikian pada moment kita menulis, maka di moment itupun pemahaman kita ikut meningkat. Kita menyegarkan pemahaman kita atau bahkan menerima pemahaman-pemahaman baru.  Ada mekanisme memberi (sharing pemahaman) dan mekanisme menerima (meningkatkan pemahaman) di sini.

Jadi nett-nett kesimpulannya, walaupun tidak ada yang membayar, tetap saja menulis itu memberi keuntungan bagi kita yang memang senang melakukannya.

Ayo kita menulis!.

 

Keladi Dan Tentang Rasa Nikmat.

Standard

tales2Gara-gara berat badan yang berlebihan, saya mulai mendapat sedikit gangguan kesehatan. Hasil lab menunjukkan ada indikasi kesehatan yang kurang baik. Jika tidak cepat-cepat dicegah, takutnya nanti menjadi masalah serius. Saya disarankan untuk berusaha mengurangi berat badan minimal 3 kg per bulan selagi masih dini. Saya mencoba diet. Ternyata sangat sulit. Mungkin karena tidak tahu caranya yang tepat, sudah setengah mati rasanya kelaparan…eh berat badan saya hanya bisa turun 1.8 kg dalam sebulan. Sama sekali tidak sukses. Hasil lab sayapun tidak menunjukkan perkembangan yang membaik.  Dokter menganggap saya tidak serius menangani masalah saya. Untungnya beliau kepikiran untuk merujuk saya  ke dokter lain yang ahli gizi.

Dokter itu memberi saran bagaimana mengatur pola makan yang tepat dengan memperhatikan asupan karbohydrat, protein, vitamin dan mineral dengan baik, dari makanan sehari-hari. Saya mengikuti sarannya dengan senang hati.  Karena sama sekali tidak merasa kelaparan. Malah rasanya makan lebih banyak dan lebih sering dari biasanya. Hanya porsi dari jenis makanannya saja yang berubah.  Saya juga berolah raga pagi selama 1/2 jam setiap hari.

Hasilnya sungguh menakjubkan! Berat badan saya turun 4.8kg dalam 4 minggu. Walaupun masih gendut juga sih. Hasil pemeriksaan lab pun menunjukkan kemajuan yang sangat luar biasa. Darah saya mulai lebih bersih. Cholesterol saya normal, Gula saya normal, ureum saya juga normal. Saya terbebas dari nyaris semua indikasi buruk itu. Nah sekarang yang lebih penting bagi saya adalah bagaimana saya bisa menjaga dan mempertahankan ini semua ke depannya.

Suatu pagi saya bertemu dengan seorang teman lama. Kamipun mengobrol seputaran kesehatan kami masing-masing. Dan saya cerita dong soal perubahan pola makan saya dan hasilnya yang menakjubkan itu. Tentang betapa hati-hatinya saya sekarang mengkonsumsi sesuatu. Semuanya saya timbang dan takar terlebih dahulu. Contohnya karbohydrat. Makan siang saya tetap makan nasi, namun hanya sekitar 100g. Pagi dan malamnya, sumber karbohydrat saya ambil dari kentang, jagung, singkong, labu, keladi, ubi dan sebagainya. Tapi yang lebih sering adalah keladi alias talas, karena itu yang banyak tersedia di tukang sayur.

Ooh..talas. Kan rasanya sangat tawar” pendapat teman saya. Ya. Saya mengiyakan. Memang sangat tawar. “Dan juga nggak enak kan?” tanyanya. Saya agak tidak sependapat dengan pernyataan keduanya. “Hm..tapi menurut saya, lama -lama keladi kampung itu terasa sangat enak” kata saya. Teman saya tertawa.”Kok bisa sih lama-lama menjadi sangat enak?” Saya tidak menjawab lagi, tapi memikirkan kata-katanya itu.

Jika pernyataan ini saya dengar beberapa waktu yang lalu, barangkali saya juga setuju, kalau keladi yang tawar rasanya dan kadang malah bikin tenggorokan gatal itu, memang relatif agak kurang enak dikonsumsi ketimbang makanan lain. Tapi sejak menjalani diet ini, sekarang saya sangat menyukai rasa keladi itu. Apa yang menyebabkan terjadinya “shifting rasa” dari kurang enak menjadi enak? Bahkan sangat enak?  Darimana persepsi tentang rasa makanan itu datang?

Ketika kita dewasa dan bekerja, kita memiliki cukup uang untuk mencoba berbagai jenis makanan. Cicip ini cicip itu. Semuanya kita coba. Yang enak-enak. Yang gurih, asin, sedap, manis, segar dan sebagainya. Dari seluruh nusantara, bahkan berbagai jenis masakan negara lainpun kita jajal.  Kita meningkatkan standard rasa enak kita menjadi lebih tinggi. Apa yang dulu enak, sekarang terasa kurang enak, karena kita sudah sering memakannya dan bosan karenanya.  Bukan karena rasa makanan itu sendiri yang berubah. Juga karena kita sudah mengenal rasa enak yang lain dari jenis makanan lain. Kita menenal berbagai jenis bumbu dan rasa yang lain. Sehingga kita mempunyai pembanding yang banyak. Makanan kampung kita pun harus berkompetisi dengan makanan lain di lidah kita.  Sehingga bisa jadi, makanan kampung kita yang sederhana menjadi tersingkir dari daftar makanan favorit kita.

Ada banyak pilihan makanan, dan ada cukup uang untuk membeli. Kombinasi itu membuat kita cenderung memilih makanan-makanan yang kita sukai saja, dan menyingkirkan yang tidak kita sukai. Bukan memilih apa yang cocok untuk kesehatan kita.

Ketika kita sakit, makanan yang boleh kita konsumsi menjadi terbatas. Tanpa gula, tanpa garam, tanpa kelapa ataupun bumbu dan hiasan lainnya. Umbi-umbian dikukus/direbus, sayuran dikukus, buah-buahan segar seperti apa adanya yang disajikan oleh alam kepada kita. Kita hanya diberi dua pilihan: Nikmati apa  adanya seperti yang tersaji atau tidak usah menikmatinya.

Jika kita memilih untuk menikmatinya, saat itulah kita menjadi lebih menghargai cita rasa asli dari makanan yang sudah dianugerahkan sehat olehNYA untuk kita konsumsi. Tiba-tiba keladi kukus yang tadinya terasa tawar dan agak gatal di tenggorokan, sekarang terasa sangat enak di lidah. Karena sekarang kita fokus hanya menikmati apa yang tersajikan di depan mata kita saja.  Tuhan mengembalikan kesadaran kita untuk berterimakasih pada makanan yang disediakan oleh alam.

Saya membayangkan, jika suatu saat saya tidak lagi mampu bekerja dan tidak lagi memiliki uang, tentu pilihan saya menjadi sangat terbatas. Ketika kita miskin, kita tidak punya pilihan apa-apa untuk kita makan. Apapun yang bisa kita dapatkan dengan cara yang baik untuk bisa dimakan hari ini adalah nikmat yang tak terkira. Kita menikmati suap demi suap makanan sederhana yang kita miliki. Kita mensyukuri teguk demi teguk air bersih yang mampu kita dapatkan. Semuanya terasa enak dan nikmat.

Jadi rasa sebenarnya adalah masalah persepsi yang ditimbulkan oleh lidah kita yang dicampuri oleh sikap kita dalam menghargai makanan tertentu pada suatu kondisi tertentu. Bukan soal  singkong atau keju. Dua-duanya sama nikmatnya ketika kita mampu berterimakasih dan bersyukur. Dan dua-duanya sama tidak enaknya ketika kita tak mampu berterimakasih dan bersyukur.