Category Archives: Uncategorized

Pameran Lukisan “Pahlawan – Tanpa Batas Ruang Waktu”

Standard
Pameran lukisan Pahlawan Tampa Vatas Ruang Waktu

Tadi siang saya ikut menghadiri pembukaan pameran lukisan di Perpusnas, Jln Medan Merdeka Selatan, Jakarta. Di undangannya tertulis pkl 13.00. Bergegaslah saya ke situ. Berangkat awal, karena takut telat 😀

Walau melewati demo yg cukup mengganggu lalu lintas, saya tiba bahkan sebelum pukul 12.30. Masih ada sekitar 30 menit lebih buat saya ngobrol dengan teman-teman pelukis yang ada di sana, sambil melihat-lihat, sebelum acara akan dibuka oleh Bapak Agus Sutoyo selaku Kepala Pusat Jasa Informasi Perpustakaan dan Pengelolaan Naskah Nusantara Perpusnas RI/ yang mewakili, pada pukul 13.00.

Hingga pukul 13.00 saya lihat belum ada tanda-tanda pameran akan dibuka. Rupanya acara pembukaan terlambat dimulai – molornya hingga sekitar sejam. Lama juga ya 😀. Dan karena Pak Kepala berhalangan hadir, jadi akan dibuka oleh Ibu Fera sebagai yang mewakili.

Saya melihat- lihat lukisan yang dipajang. Themanya pahlawan. Ya, dibagian depannya diisi dengan lukisan Bung Karno, Pak Sudirman, Bung Tomo. Yang menarik ternyata ada banyak lukisan pahlawan tanda jasa bagi murid, bagi anak dan keluarga. Misalnya lukisan kuli panggul pengangon bebek, guru piano, TKI pahlawan devisa dan sebagainya orang-orang yang menjadi pahlawan tulang punggung keluarga. Ya memang. Sosok Pahlawan masa kini sudah berubah banyak. Bukan lagi yang fokus pada yang mengangkat senjata dan berangkat ke medan perang, tapi termasuk juga yang memperjuangkan ekonomi keluarga, pendidikan, dan sebagainya. Sesuailah dengan judul pameran ini, “Pahlawan – tanpa batas ruang waktu,”

Selain kebanyakan lukisan memang ada kaitannya dengan thema pahlawan, tapi beberapa lukisan menurut saya tidak ada hubungan dengan pahlawan sama sekali

Banyak lukisan yang bagus -bagus, hanya sayang, menurut saya tata letak dan juga displaynya agak berantakan, terkesan asal terpajang saja. Mungkin karena terburu-buru. Pencahayaan kurang, terutama di areal display agak belakang. Sayang banget, lukisan bagus jadi banyak yang redup dan kurang terlihat keindahannya. Semoga besok sudah bisa diperbaiki.

Pameran ini berlangsung dari tanggal 28 Nov hingga tgl 11 Desember 2023.

WERDHA LUMAKU

Standard

Sebuah puisi, karya Ni Made Sri Andani.

WERDHA LUMAKU.

Prajurit Tua
Terbangun dari duduknya
Memandang ia ke sekitar
Menyadari
jika puncak telah terlampaui
Lewat pendakian panjang
Menebas hutan semak belukar
Mengarungi lautan bergolak
Gurun tandus nan memanggang
Jalan berliku dan jurang terjal
Semua telah ia lampaui

Ooh prajurit tua
Telah ia jalani kehidupan
Menyesap segala rasa
Melukis dengan segala warna
Menggores segala bentuk dan grafis
Melampaui rasa nikmat, amarah dan ketakutan

Ia telah mengintai di semak belukar
Beribu-ribu jam lamanya
Mengatasi rasa sakit, terhina dan tefitnah
Menikam batalyon demi batalyon musuh hingga menyerah
Bertekuk lutut tak berdaya

Prajurit tua
Sekarang mengamati keriput di tangannya
Mata yang merabun
Rambut yang memutih

Benar !!!
Waktu telah merentakan tubuhnya
Penyakit telah melemahkan lututnya
Encok dan asam urat
Memperlambat langkahnya
Namun
Tiada yang mampu
merampas semangat juangnya

Lelaki tua yang tak pernah menyerah
Berkata ia kepada prajurit muda
Janganlah engkau menyerah sekarang
Setelah berjalan ribuan kilometer
Tanpa menyadari jika kesuksesan cuma tinggal sejengkal lagi di depanmu

Namun
Janganlah jua engkau berfokus diri
Pada kesuksesan duniawi
Tanpa menjunjung tinggi
Nilai-nilai kehidupan

Lelaki tua
Memandang ke belakang
Sekali lagi berkata pada prajurit muda
Yang terpenting dalam kehidupan
Bukanlah harta kekayaan
Tapi
Persahabatan
Kepercayaan
Rasa kemanusiaan
Empati dan Kasih Sayang
Serta Kejujuran.

Aku berbicara kepadamu
Bukan karena lebih pandai
Namun
Karena aku lebih dahulu
Lahir ke dunia ini.

Bintaro, Juni 2023.

Penciptaan puisi ini terinspirasi dari tari ” TOPENG TUA” yang mengisahkan seorang Ksatria di masa tuanya.
Saya sangat menyukai karakter Topeng Tua itu, sehingga darinya saya menuliskan puisi ini, yang saya bacakan dalam mengisi Pentas Seni, “Merengkuh Bumi” di Teater Kecil, TAMAN ISMAIL MARZUKI, Jakarta, pada hari Minggu siang, tanggal 11 Juni kemarin.

Ni Made Sri Andani, membacakan puisi Werdha Lumaku di Taman Ismail Marzuki.

MINYAK TANDUSAN

Standard

LENGIS TANDUSAN.
Mencoba Membuat Sendiri Minyak Tandusan.

Seorang sahabat bertanya,”Minyak Tandusan itu apa?”. Saya berpikir sejenak. Apa ya Minyak Tandusan dalam Bahasa Indonesianya? Itu lho….minyak kelapa yang dibuat sendiri di rumah. Bukan minyak goreng pabrikan. Wangi dan rasanya sangat enak. Beda dengan minyak goreng biasa. (Saya search di google itu sama dengan MINYAK KLETIK kalau di Jawa).

Tiba-tiba saya terpikir untuk membuatnya sendiri. Saya coba mengingat-ingat bagaimana caranya. Mengingat -ingat situasi dapur Nenek saya jaman dulu saat beliau nandusin (Nandusin = membuat minyak dari kelapa). Terbayang di hidung, wangi nikmat minyak tandusan yang memenuhi dapur nenek. Walaupun saya tak pernah dilibatkan saat membuatnya, tapi rasanya saya masih ingat sekilas langkah-langkahnya.

Bekerjasama dengan si Mbak yang bekerja di rumah, saya mulailah proyek percobaan ini.

Mau coba dengan 3 butir kelapa. Tapi sayang tukang sayur cuma bawa 2 butir kelapa. Oke deh. Saya coba dengan 2 butir saja dulu. Toh belum tentu sukses juga.

Dua butir kelapa ini diparut. Air kelapanya saya masukkan kembali ke parutannya. Lalu saya remas-remas dan saring santannya.

Berikutnya saya panaskan santan dengan api yang kecil. Aduk aduk. Pendidihan santan ini berlangsung hingga 2 jam lebih. Wanginya sudah menebar ke udara. Bintik-bintik minyaknya sudah muncul. Tapi mengapa ya, kok tidak mau mengumpul?

Sampai di titik ini saya nge-blank. Tidak tahu apa yang harus dilakukan. Terbayang nenek saya mengambil kumpulan minyak sesendok demi sesendok dari santan yang didihkan ini, lalu menuangkannya ke sebuah tempat. Tapi ini kok nggak bisa ya?! Bingung saya.

Akhirnya saya matikan kompor. Santan yang dimasak ini saya masukkan ke botol glass. Rupanya bagian cream minyak (celengis/ glendo) mulai terpisah ke atas karena airnya turun ke bawah. Tapi tidak ada tanda-tanda jika minyaknya akan berkumpul dan mudah diambil.

Untunglah, si Mbak yang bekerja di rumah berinisiatif menelpon Ibu Mertuanya yang sering membuat minyak kelapa. Meminta petunjuk. Lho, jadi celengis alias glendo yang sudah terpisah dengan air ini, mesti diambil dan dipanaskan lagi. Barulah keluar minyak.

Oooh…benar!. Barulah keluar minyak.
Akhirnya berhasil membuat minyak. Tapi sangat sedikit ternyata hasilnya. Banyak faktor mungkin penyebabnya. Yang jelas, pengalaman pertama, banyak nggak tahunya ha ha 😀

Saya baca untuk mendapatkan 1 liter minyak, rata-rata dibutuhkan 6 butir kelapa. Harga 1 butir kelapa di warung dekat rumah = Rp 12 000. Jadi untuk membuat 1 liter, modal kelapanya saja sudah 12 000 x 6 = Rp 72 000. Belum modal gas dan tenaga kerjanya.

Sementara harga 1 liter minyak goreng di pasaran antara Rp 13 000 – 28 000.

Wah…pantas saja sangat jarang yang membuat secara tradisional lagi 🤣🤣🤣

Tapi wangi dan rasanya enak sekali ini. Sumpah! Saya masih ingin membuat lagi.

ODAMUN – FILM LAYAR LEBAR.

Standard
Film Odamun. Kisah perjuangan seorang penderita Scleroderma.

ODAMUN – Film Layar Lebar Terbatas.
ODAMUN = Orang Dengan AutoiMUN.

Saya tergerak menulis tentang film Odamun yang disutradarai oleh Harry Ridho ini setelah berkesempatan menontonnya kemarin.

Menurut saya film ini sangat menarik karena berkisah tentang perjuangan seorang penderita Scleroderma -salah satu penyakit Autoimun, mulai saat masa-masa sebelum terkena penyakit ini, masih aktif sebagai model, lalu bagaimana penyakit ini membuatnya menjadi tertekan & putus asa, hingga kemudian ia bangkit dan percaya diri kembali menjalani aktifitasnya sehari-hari dengan normal.

Belum pernah sebelumnya saya tahu ada film lain yang berkisah atau menggunakan kisah penyandang Scleroderma sebagai themanya. Tentu saja ini membuat film ODAMUN menjadi unik. Berbeda.

Menonton film ini juga memberi gambaran tentang penyakit Scleroderma itu sendiri, sebuah penyakit auto-imun dengan gejala kekerasan & kekakuan pada kulit, sehingga tidak jarang mengakibatkan perubahan pada profile wajah penderitanya. Ini penting bagi masyarakat awam untuk mengetahui apa yg harus dilakukan saat mendampingi keluarga jika ada yang mengalami Scleroderma. Perlu banget ditonton.

Film digarap dengan baik oleh Harry Ridho. Scenario & alur ceritanya mengalir dengan cukup baik dengan gambar-gambar yang diambil juga berkwalitas baik. Lighting jyg cukup mendukung, hanya saja sound kelihatannya perlu dirapikan sedikit lagi di beberapa bagian, sehingga musik tidak terasa bertarung dengan suara percakapan.

Film dibintangi oleh antara lain Chindy Imutz Dewi Ayu Mustikasari Bene Java , Denis, dkk.

ALAM SEKITAR : JAMUR SIKEP.

Standard

EDIBLE WILD MUSHROOM

Kalau nyapu halaman, paling senang sambil melihat-lihat rerumputan, barangkali ada jamur Bulan yang muncul. Apalagi di mudim penghujan seperti ini.

Ooi… tapi kali ini yang muncul bukan Jamur Bulan. Tapi Jamur Sikep alias Jamur Prajapati yang juga bisa dimakan. Mirip Jamur Bulan, tai kecil kecil dan bergerombol. Payungnya berwarna lebih gelap.

Kata Jagat Bumi Banten sahabat saya, saat saya memastikan bahwa Jamur ini bisa dimakan, konon jika kita menemukan jamur ini, kita harus menari- nari 💃💃💃 Biasanya jamur jamur ini akan bermunculan.

Coba saya praktekan. Heee…bener aja. Masih ada yang muncul lagi setelah saya menari 🤣🤣🤣.

Mungkin hanya sebuah kebetulan. Menari adalah ungkapan rasa gembira menemukan jamur- jamur yang bisa dimakan ini. Rasa syukur bahwa alam pun memberikan kita sumber makanan dengan gratis.

SEGENGGAM DAUN KELOR.

Standard

Di sebuah Group Chat di WA, teman-teman saya sedang asyik mengobrol tentang Sate Kambing, dan tukang Sate Kambing yang sangat terkenal enak dekat kantor kami yang lama. Tentu banyak teman yang kangen dan memberikan emoticon ngiler . Tapi ada beberapa orang juga yang bilang nggak tertarik, karena emang nggak doyan daging kambing.

Saya termasuk salah satunya yang tidak ngiler. Selain memang tidak suka, kebetulan tekanan darah saya sedang terdeteksi terlalu tinggi. Tentunya Sate Kambing bukanlah pilihan yang tepat dalam keadaan seperti ini.

Teman-teman kaget mengetahui tekanan darah saya yang memang sedang tinggi-tingginya. Lalu pembicaraanpun beralih ke seputar  Hypertensi. Seorang teman memberi informasi bahwa daun Kelor membantu menurunkan tekanan darah.

Udah makan daun kelor, rebus 300 g, kasih bawang, makan pake sambel, 2 hari pagi siang sore, udah pasti turun.”

Oh ya?  Memang sering denger sih jika Daun Kelor ini bermanfaat. Bahkan kalau di Bali, tanaman ini dipercaya sebagai penolak niat jahat.  Tapi saya baru denger soal manfaat Daun Kelor ini untuk hypertensi. Wah…saya pengen banget nyobain, karena kebetulan saya juga suka rasa daun Kelor.  Tapi nyarinya di mana ya ?

Tidak ada dijual di tukang sayur. Dan saya juga tak punya pohonnya di halaman. Terus terang  ini adalah tanaman yang belum sukses saya tanam. Sudah pernah mencoba 3 x menanam  namun gagal terus. Bahkan pernah dikasih batangnya dari Bali oleh seorang adik sepupu, tetapi tetap saja tidak sukses tumbuh.

Seorang teman menyarankan membeli online saja. Seorang teman yang lain mengatakan jika ibunya pernah menanam pohon Kelor tapi sudah dicabutin Bapaknya. Ooh…sayang sekali. Tapi tak berapa lama teman saya itu japri, mengabarkan jika pohon Kelor di rumahnya masih ada. Dan ia ingin mengirimkan daunnya ke rumah serta minta alamat saya.

Esok paginya, daun -daun Kelor muda itu sampai di rumah saya. Cepet banget. Gratis pula. 

Sayapun memetik daunnya satu per satu, melepas dari tangkainya agar tidak keras saat dimakan. Sambil membersihkan daun Kelor ini saya terkenang akan teman-teman saya di Group Chat itu. Para sahabat yang sangat akrab, bagaikan saudara sendiri.

Para sahabat yang saya ajak dalam suka dan duka saat kami masih bekerja bersama dalam naungan perusahaan yang sama. Para sahabat saat menikmati masa muda, dan juga yang juga akan menua bersama saya. Para sahabat yang sangat peduli akan kesehatan saya, perhatian dan sangat sayang.

Sahabat yang selalu menjapri,
Daaannn…. semoga segera sembuh dan sehat kembali ya…
Jangan stress Dan. Paling gampang memicu tekanan darah. Coba meditasi. Sambil tiduran aja, atur napas. Insya Allah membantu. Aku bantu doa ya. Peluuukkk”.

Tanpa terasa air mata saya meleleh. Terharu dan bahagia berada diantara para sahabat yang peduli dan penyayang.

Daun Kelor mungkin bisa bisa saya dapatkan dengan cara lain. Mungkin bisa memesan dari tukang sayur, atau membeli online.Tetapi persahabatan dan kasih sayang adalah sesuatu yang sangat berharga, tidak bisa diperjualbelikan, dan tidak bisa didapatkan dengan mudah kecuali dengan ketulusan hati.

Saya menghapus air mata saya perlahan. Segenggam Daun Kelor ini sudah siap untuk dimasak Sayur Bening. Semoga menyembuhkan.

Kupu-Kupu di Pusara Ibu.

Standard

Kumpulan Cerpen Fanny J Poyk.

Sebenarnya saya telah menerima buku ini langsung dari penulisnya Mbk Fanny Jonathans sejak pertengahan Juli lalu. Akan tetapi baru sekarang selesai membacanya. Belum pula saya mengucapkan terimakasih.

Mengenal penulisnya yang adalah salah satu penulis senior yang sangat aktif menulis sejak remaja di berbagai media nasional Indonesia baik koran maupun majalah, sudah dipastikan tulisan-tulisan di buku ini memiliki kwalitas yang sangat bagus. Beliau adalah salah satu penulis senior favorit saya.

Benar saja. Buku yang cukup tebal ini memuat 32 cerpen yang semuanya sangat menarik, baik dari sisi pemikiran, ide-ide, sudut pandang maupun cara penulisannya.
Terus terang saya banyak tercengang setiap kali pindah dari satu cerpen ke cerpen berikutnya.

Yang dituliskannya adalah kejadian kejadian yang pada dasarnya mungkin sangat umum atau bisa terjadi pada siapa saja, namun dalam perkembangannya, di tangan Mb Fanny kejadian biasa ini kemudian berubah menjadi sebuah kisah dramatis dan luar biasa yang kadang endingnya tak terduga oleh saya. Mmm…menarik sekali.

Cerpen pertama yang sekaligus menjadi judul dari buku ini, “Kupu-Kupu Di Pusara Ibu”, sungguh membuat saya merenung dan menitikkan air mata diam-diam saat usai membacanya.

Berkisah tentang perjuangan seorang ibu yang mengambil alih tugas dan tanggungjawab sepenuhnya untuk menjalankan bahtera rumah tangga sendirian sejak suaminya meninggal, membesarkan, memberi makan, menyekolahkan 3 orang anak-anaknya hingga mereka dewasa dan memiliki kehidupannya sendiri.

Namun hingga ajalnya tiba, anak-anaknya tidak ada yang paham dan bersimpati dengan kesusahan ibunya, saat ibunya kelelahan menyiapkan kue-kue buat dagangan, saat rentenir menagih utang, atau saat ia mulai mengeluh karena radang sendi dan diabetes mulai menggerogoti tubuh rentanya hingga akhirnya ia tiada.

Dan bahkan setelah itu, kuburnyapun tidak ada yg menengok. Anak-anaknya hanya bagai melempar batu ke dalam tanah, menguruknya dan melupakan kisah tentang ibunya. Lama setelah sang ibu tiada, barulah penyesalan itu datang.

Rasa penuh dada saya membaca cerita ini. Air mata sayapun menetes. Saya yakin cerita real seperti ini banyak terjadi di sekitar kita. Namun tidak ada yang menuliskannya dengan semenyentuh ini.

Cerita-cerita yang lain di buku ini juga tak kalah menariknya. Banyak menceritakan kisah-kisah perempuan dan deritanya dalam memperjuangkan dirinya ataupun keluarganya.

Misalnya cerpen “Mince Perempuan dari Bakunase”, berkisah tentang Mince yang akhirnya memutuskan keluar dari rumah setelah sekian kali kekerasan dalam rumah tangga menimpanya. Ia perempuan kuat, yang bekerja keras membesarkan anak-anaknya. Namun sayangnya beban dan derita seakan tak kunjung reda, datang silih berganti bahkan hingga ia menjadi nenek pun, beban itu tetap harus ia panggul.

Juga dalam cerpen “Luka Erika”. Kepedihan wanita yang terenggut keperawanannya sementara ekspektasi orang tuanya agar ia menjunjung tinggi kegadisannya tergambarkan dengan sangat jelas di sini.

Juga pada cerpen “Duniaku”, juga pada cerpen “Aku, Um dan Gincu Berwarna Pucat”, dan banyak cerpen-cerpen lainnya lagi hingga ke cerpennyg ke 31 yg berjudul “Aku Tidak Mau Menjadi Ibu” derita dan kepedihan wanita dibuka dan diceritakan oleh Mbak Fanny dengan sangat gamblang yang membuka mata hati kita… bahwa betapa perempuan itu sangat rentan menjadi korban keadaan dan ketidakadilan. Sebagai perempuan, saya jadi ikut merasa geram.

Selain banyak berkisah tentang derita perempuan, cerpen-cerpen di buku ini juga menceritakan kesulitan-kesulitan dan permasalahan hidup yang dialami oleh pelakunya, yang membuat pembaca menjadi lebih terbuka dan terasah kepekaan hatinya saat membaca kisah kisah ini.

Yang menarik dari buku ini, adalah latar belakang NTT dalam beberapa cerpen ini yang membuat saya ikut membaca merekam adat istiadat, suasana dan kata-kata dalam bahasa Timor. Menarik sekali.

Eh…ada juga yang berlatar belakang Bali. Tentu saja, mengingat penulis yang merupakan putri dari Sastrawan besar Indonesia alm Gerson Poyk ini memang berasal dari pulau Rote, NTT dan cukup lama tinggal di Bali.

By the way, jika kita perhatikan, tulisan- tulisan di buku ini juga memang bukan sembarang tulisan lho. Tetapi kumpulan tulisan Mb Fanny yang telah melalui seleksi, saringan dan pilihan media-media nasional.

Contohnya cerpen “Kupu- kupu di Pusara Ibu” ini pernah dimuat di surat kabar Kompas. Cerpen “Aku Tidak Gila” pernah dimuat di Jurnal Nasional. Demikian juga cerpen-cerpen yang lain. Nyaris semuanya pernah dimuat di media nasional seperti, Kompas, Jawa Pos, Pikiran Rakyat, Bali Post, Jurnal Nasional, Sinar Harapan, Suara Karya, Singgalang, Tabloid Alinea, Padang Ekspress, Majalah Horizon, Majalah Sabana.

Pantes saja kwalitasnya bagus- bagus. Saya benar-benar angkat topi untuk Mb Fanny. Sangat menginspirasi. Terimakasih sudah mengijinkan saya ikut membaca.

Selamat dan sukses untuk Mbak Fanny. Semoga semakin sehat dan teruslah berkarya.

SARWAÇĀSTRA.

Standard

Saya mendapatkan buku tua yang sangat menarik perhatian saya ini, berjudul “SARWAÇĀSTRA” Djilid I yang disusun oleh Ki Hadiwidjana R.D.S , seorang guru SMA di Jogja pada tahun 1956 (cetakan ke lima). Berarti sudah 65 tahun ya usianya tahun ini. Saya yakin, selain buku ini sudah kuno, juga keberadaannya pasti sudah sangat langka.

Sebenarnya adalah kitab pelajaran dan latihan Bahasa Jawa Kuno (Kawi) untuk SMA kelas 1. Berarti sebenarnya ada jilid II dan jilid III untuk kelas 2 dan kelas 3 yg tidak saya miliki. Saya coba search online barangkali ada yang menjual. Ternyata memang tak ada.

Yang sangat menarik , selain berisi tentang hukum singkat Bahasa Kawi, buku ini berisi petunjuk tentang huruf, sandhi, kata pengganti nama, kata penunjuk, kata tanya, kata ganti orang,sebutan, huruf sengau, contoh contoh kalimat, kata sambung, kata keterangan waktu, keterangan sebab akibat, kakawin dan beberapa contoh cerita dalam Bahasa Kawi untuk latihan.

Cerita-cerita di buku ini sangat menarik. Kebanyakan cerita yang pernah diceritakan Bapak semasa saya kecil, yang mengandung banyak pesan-pesan moral dan pesan kehidupan.

Contohnya adalah cerita “Cakrangga Mwang Durbuddhi”, kisah tentang kura-kura dan angsa yang berniat mengungsi dari telaga tempatnya berdiam selama ini, tetapi akhirnya mati akibat ia tak mampu mengendalikan emosinya.

Lalu ada juga cerita “Patapan” yang berkisah tentang Maharaja Duswanta. Kemudian ada kutipan serat “Pararaton” yang menceritakan riwayat Ken Arok.

Berikutnya ada sedikit cerita-cerita Tantri seperti Wre Mwang Manar (Kera dan Burung Manyar), Pejah Dening Sambeganira (Tewas Akibat Belas Kasihan) Tan Wruh Ing Nitiyoga ( Tak Tahu Akan Sikap Yang Layak), Gagak Mwang Sarpa, Pejah Dening Yuyu (Burung Gagak dan Ular Mati karena Kepiting), Pinakaguna Sang Prajna (Kebajikan Bagi Orang Pandai), Anemu Dukha (Mendapat Kecelakaan), Manuk Baka Mati Denikang Yuyu (Burung Bangau Mati Oleh Ketam).

Lalu ada kutipan cerita “Mandaragiri” dan “Nusa Jawa Ring Açitakala”, dari lontar “Tantu Panggelaran”. Dan yang terakhir adalah cerita Hidimbi yang dikutip dari Adi Parwa.

Wow. Buku ini sungguh keren sekali. Saya sangat senang membacanya dan sedikit sedikit menambah pengetahuan saya tentang Bahasa Jawa Kuno (Kawi). Bangga dan terharu.

Tetapi di sisi lain, hati saya juga terasa teriris. Sungguh sangat disayangkan Bahasa kuno milik bangsa kita ini akhirnya pelan-pelan tergeser oleh bahasa asing. Sedangkan Bahasa Kawi itu sendiri akhirnya menjadi Bahasa Asing di negerinya sendiri 😭😭😭

Mari cintai bahasa leluhur kita
Mari cintai literatur kuno kita.

Terimakasih kepada yang telah berkenan memberikan buku ini untuk saya baca.

Kisahku Dengan Suplir

Standard

Maiden Hair Fern.

Suplir (Adiantum sp), adalah salah satu pakis yang erat sekali hubungannya dengan masa lalu saya. Karena ini adalah salah satu tanaman hias favorit Bapak saya , yang semasa kecil menghiasi halaman dan ditanam berderet yg jika dihitung panjangnya mungkin lebih dari 20 meter.

Bisa dibilang halaman rumah masa kecil saya itu berpagar suplir. Hanya saja, jenis yang ditanam di halaman itu adalah dari jenis suplir yang tingginya sepinggang orang dewasa.

Mengingat di masa kecil saya diberi tugas membersihkan dan mengurus halaman sementara kakak-kakak saya yang lain mendapat bagian tugas lain. Ada yang mengurus kebersihan dalam rumah, ada yg ngurus dapur, dsb..

Maka saya termasuk yang sangat akrab dengan kehidupan suplir. Bagaimana membuat suplir agar bisa bertahan hidup, mencegah jangan layu atau bagaimana caranya memisahkan anakannya, dsb itu spt kerjaan saya sehari-hari di masa kecil.

Pernah suatu kali saat saya masih kuliah di Denpasar, saya jalan-jalan di tukang tanaman di daerah Renon, seorang sahabat saya ngasih ide dagang “De, di rumahmu kan ada banyak sekali tanaman suplir. Mengapa nggak tawarkan saja ke tukang tanaman hias ini?”. Naluri dagang sayapun bangkit.

Sayapun menyampaikan ide ini kepada keluarga saya. Walaupun awalnya ibu saya tidak setuju dan menganggap ide dagang tanaman hias itu tidak begitu menguntungkan dan mungkin kegedean ongkos ketimbang untungnya jika dibawa ke Denpasar (juga karena di keluarga saya belum ada pengalaman jualan tanaman), akhirnya beliau oke untuk saya coba buktikan.

Bapak saya mendukung ide saya dan mulai membantu memisah-misahkan rumpun suplir ke dalam poly bag. Woiii dapat 1 mobil bak terbuka. Banyaklah.

Kamipun (saya lupa, itu rasanya yang pergi saya dg kakak saya dan mungkin 1 orang adik saya) mulai menawar-nawarkan tanaman suplir itu ke tukang tanaman dengan membawa mobil bak terbuka milik bapak saya. Ternyata menawarkan barang dagangan tanaman itu tidak semudah yang saya pikirkan.

Pertama karena kebanyakan tukang tanaman yang di Renon saat itu bukanlah pemilik bisnis itu sendiri. Mereka hanya penjaga toko dan perawat tanaman saja. Jadi mereka tidak punya wewenang untuk mengambil keputusan membeli barang yang saya tawarkan. Semua itu urusan boss.

Faktor kedua, adalah karena sebagian dari mereka juga sudah punya koleksi supplir dan sudah punya pemasok langganan. Jadi mereka tidak mau mengambil juga.

Kalaupun ada yang mau, mereka inginnya bukan beli putus. Tapi konsinyasi alias titip jual. Hanya jika ada yg laku saja mereka akan bayar ke kita secara berkala.

Akhirnya setelah capek menawarkan ke sana ke mari dan tak ada yg mau beli putus, akhirnya saya menyerah pada dagang yang terakhir yang saya kunjungi untuk menitip jual saja tanaman-tanaman supplir ini. Daripada layu atau dibawa balik pulang ke Bangli .

Seminggunya kemudian (harusnya sebulan sih tapi ini saking semangatnya😆), dengan naik motor kami coba check ke tukang tanaman itu, barangkali sudah ada tanaman suplir kami yang laku. Ternyata yg laku cuma satu. Kecewa. Selain itu pembayarannya juga nanti setalah genap sebulan. Baiklah.

Minggu berikutnya kami tengok lagi. Rasanya yang laku waktu itu ada 3. Tapi 3 dari sekian banyaknya pohon yang kami pasok hingga penuh 1 mobil bak terbuka tentu artinya dikit banget ya. Kurang laku itu artinya.

Minggu berikutnya kami tidak tengok. Karena malu sama tukang tanamannya. Nengok mulu 😀.

Akhirnya karena kesibukan di kampus, setelah lewat sebulan, barulah saya datang lagi menengok. Astaga!!!. Alangkah terkejutnya saya. Ternyata toko itu sudah kosong. Tidak ada tanaman hias lagi di situ. Pemilik dan penjaganya serta seluruh tanaman hiasnya sudah tidak ada sama sekali. Hanya lahan kosong. Mereka raib.
O o🙄🙄🙄.

Setelah tanya-tanya ke tetangganya, saya diberi informasi bahwa toko tanaman hias itu memang sudah tutup karena contractnya sudah habis. Dan mereka tidak bisa perpanjang lagi karena memang tokonya kurang laku. Pemilik dan penjaganya sudah pulang kampung minggu lalu karena mereka di sini pendatang. Dan tidak ada yang tahu alamatnya ataupun nomer telpon yang bisa dihubungi. Lho, kok nggak ngomong-ngomong ke kami?

Pahittttt 😫😫😫.

Ibu saya hanya tertawa tahu kejadian itu dan Bapak saya ikhlas telah kehilangan sebagian tanaman suplir yang sangat dicintainya itu.

Ha ha..itulah pengalaman pertama saya mencoba berdagang. Jangan ditiru !!!.

Sekarang saya jadi kangen kembali dengan tanaman suplir. Bukan saja karena tanaman membawa kembali ingatan saya pada orang tua dan masa kecil saya, tetapi memang daun suplir ini sungguh cantik sih.

Tetap cinta supplir 😍🤩😍