Monthly Archives: October 2017

Bakpia Yang Tak Utuh.

Standard

Suatu kali, di tengah malam saya merasa agak lapar. Mau makan buah melon dan mangga potong yang ada di kulkas, tapi rasanya kok perut saya agak dingin ya. Jadi saya mencari alternatif lain.

Nah… ketemu box kertas bakpia pathok. Walaupun disimpan di kulkas juga, mungkin yang ini bisa jadi pilihan yang lebih baik. Karena tak berair.

Saya ambil box bakpia itu. Berharap masih ada 1-2 buah isinya yang tersisa. Tidak dihabiskan oleh anak-anak. Lalu saya buka. Astaga!!!. Betapa terkejutnya saya melihat isinya.

Bakpia tidak utuh dan kelihatan seperti bekas gigitan lalu dimasukan kembali ke dalam box. Tidak bundar seperti seharusnya. Sebagian tak beraturan, sebagian mirip bulan sabitπŸ™„πŸ™„πŸ™„

Aduuuh… siapakah yang melakukan perbuatan ini?. Iseng banget. Mungkinkah anak-anak? Tapi mengapa mereka melakukan hal konyol ini? Sekarang mereka sudah besar-besar, sudah tumbuh remaja. Masak begitu ya?. Kalau dulu waktu masih play group mereka begitu saya mungkin bisa mengerti. Tapi kalau sekarang? Hadeuuuh…

Saya tidak bertanya apa-apa karena kedua anak saya sudah tidur nyenyak. Sayapun lalu ikut tidur.

Esok paginya saya bertanya kepada anak saya mengapa ada bakpia yang terpotong potong bekas tergigit dimasukkan kembali ke dalam boxnya di kulkas? The moon crescent cake?.

Anak saya yang kecil segera mengatakan tidak. Bukan ia pelakunya. Dan ia juga ikut heran, mengapa ada kue bekas gigitan disimpan kembali di kulkas.

Lalu anak saya yang besar keluar dari kamar. “The explanation is….” katanya

Sebelumnya ada semut yang masuk ke dalam box bakpia itu. Untuk memastikan kalau semutnya tidak menginvestasi ke dalam kue, jadinya kuenya kupecah pecah. Aku periksain satu per satu. Tapi karena semutnya nggak ada, kupikir kuenya masih bisa dimakan. Jadi, kumasukkanlah lagi ke dalam box dan kutaruh di kulkas” kata anak saya.

Oalah…πŸ˜€πŸ˜€πŸ˜€. Jadi itu ya penjelasan tentang kue terpotong-potong itu. Ya…masuk akal juga sih. Tapi tanpa penjelasan itu tentu tak seorangpun mau memakan potongan-potongan kue itu karena menyangka itu kue bekas gigitan. Untung saja kue itu tidak saya buang ke tong sampah semalam.

Ya ya!. Memahami keseluruhan permasalahan itu sangat penting gunanya agar kita tidak salah mengambil kesimpulan dan tidak salah mengambil tindakan.

Kayanya sering terjadi juga dalam kehidupan kita sehari-hari ya? Seringkali kita melihat sesuatu, agak aneh menurut pandangan kita. Tanpa bertanya, entah karena enggan, malu atau tidak tahu bagaimana caranya bertanya atau kepada siapa bertanya, kita jadi cenderung menduga-duga sendiri apa yang terjadi.

Walaupun ketika kita tahu keseluruhan ceritanya, ternyata sangat jauh dari apa yang kita pikirkan atau sangkakan sebelumnya.

Kita jadi sering under-estimate orang lain atau over-estimate orang lain. Kadang berburuk sangka pada hal yang sebenarnya baik. Atau kebalikannya, terlalu berbaik sangka pada apa yang terlihat sangat indah padahal sebenarnya banyak motivasi buruk dibaliknya.

Selamat hari Minggu siang, teman-teman semuanya.

Catatan Dari Malioboro: Dika dan Gitar Tuanya.

Standard

Malam itu saya menyelusuri jalanan di Malioboro. Ikut arus orang banyak, lalu mampir di sebuah angkringan. Memesan sebungkus Nasi Sambal Teri beserta lauknya dan segelas es teh. Saya mencari tempat yang nyaman untuk ‘ndeprok’ di pinggir trotoar. Lalu mulai makan.

Sembari makan saya ngobrol dengan teman teman saya. Seorang seniman menawarkan kepada kami jasanya membuat silhouette. Lalu seorang lain juga menawarkan jasa penyewaan motor atau mobil yang barangkali kami butuh.

Kota ini memang tidak ada duanya. Kehidupan berdegup di sini dalam kebersahajaan. Penuh pengunjung tanpa harus menjunjung hedonism. Tetap bergeliat dalam kerendah-hatian. Saya sangat menyukainya.

Seorang anak kecil mendekat. Duduk berjongkok di dekat saya dan langsung bernyanyi tanpa diminta. Jemari mungilnya memetik senar gitar kecil bersnar tiga dengan penuh semangat. Suaranya seperti menguap di udara. Di tingkah suara group pengamen dewasa yang menyanyi di dekat angkringan sebelah dengan lebih keras dan lebih profesional. Saya tertawa melihat semangatnya.

Dika namanya. Ia mengaku kelas 4 SD dan setiap malam mengamen di situ hingga pukul 10 malam. Jika malam akhir pekan atau menjelang libur lainnya ia pulang pukul 12 malam. Tak ada kekhawatiran sedikitpun di wajahnya.

Menurutnya, sebagai pengamen jalanan penghasilannya tidak menentu. Tetapi paling seringnya sekitar Rp 50 000 setiap malamnya. Uangnya ia kumpulkan. Sebagian untuk jajan. Sebagian untuk membayar uang sekolah.

Dika belajar menyanyi dan bermain gitar sendiri tanpa ada yang mengajari, ceritanya sambil wajanya memandang gitar kecil itu tetapi kelihatannya matanya menerawang jauh. Seolah ada yang ia kenang. Saya pikir ia sedang mengingat seseorang atau sebuah kenangan yang cukup berarti dalam hidupnya.

Sayapun bertanya siapa pemilik gitar itu?. “Orang yang sudah meninggal”. Katanya dengan ekspressi datar. Oooh. Tentu seseorang yang berperanan penting dalam hidupnya. Saya mulai berhati-hati dengan pertanyaan saya. Takutnya menyinggung hal-hal yang sensitif bagi perasaannya yang masih muda belia. Akhirnya saya hanya menunggu ia bercerita tentang siapa pemilik gitar tua itu tanpa melontarkan pertanyaan baru.

“Mertuaku” katanya tiba-tiba . Hah???!!!. Saya kaget. Masa mertua sih? Kok kecil-kecil sudah punya mertua?. Lalu ia tertawa berderai. Merasa salah nyebut. “Eh salah!. Salah!. Maksudnya.. Mbahku. Mbahku” katanya. Sayapun ikut tertawa. Anak ini lucu sekali.

Dika bercerita bahwa pemilik gitar itu adalah Mbahnya yang sudah meninggal. Mbahnya sebetulnya ada banyak sih. Ia menyebut beberapa tempay di Yogya dan juga di Wonogiri. Tapi yang punya gitar ini adalah Mbahnya yang dulu tinggal bersamanya. Mbahnya dulu juga pengamen. Ibunya juga pengamen. Dan semua keluarganya mengamen secara turun temurun.

Saya mendengarkan dengan baik. Ia punya seorang bapak dan seorang ayah. Ooh.. saya bisa memahami maksudnya. Maksudnya adalah bahwa kedua orangtuanya bercerai, lalu masing-masing menikah lagi. Bapaknya seorang tukang becak yang juga sesekali mengamen. Dan ia ikut ibunya yang menikah lagi dengan seorang satpam. Mereka tinggal di rumah kontrakan tak jauh dari situ.

Kamipun bercakap cakap lebih jauh. Tentang sekolahnya, mata pelajarannya, hobby dan cita-citanya menjadi pemain sepakbola. Saya senang melihat cahaya matanya yang berpendar-pendar ketika ia menceritakan permainan sepakbola dengan teman-teman sepermainannya. Dan menurutnya ia adalah yang paling jago mencetak goal. Ceritanya dengan bangga. Saya jadi ikut membayangkan kebahagiaan hatinya itu. Menjadi yang terbaik di kelasnya adalah impian setiap orang.

Saya memandang ke mata kanak-kanaknya yang bening. Ia tersenyum. Lalu menari-nari kecil ketika musik dari angkringan sebelah terdengar lagi. “Kamu bisa menari ya, Dika?” Tanya saya. Ia menggeleng. “Tidak bisa!. Joget baru bisa” katanya penuh senyum. Lalu ia menggerak-gerakkan tangannya kembali mengikuti irama musik.

Lalu ia bilang ” Saya mau menyanyi lagi” katanya. Kembali memetik gitarnya dan menyanyi kencang kencang. Tanpa beban. Tanpa peduli suaranya bagus atau tidak. Ia melakukannya saja. Saya tersenyum dibuatnya. Seusai menyanyi, ia berkata bahwa kali ini ia ingin membeli layangan dari kelebihan hasil ngamennya. Ia ingin bermain. Seperti anak kecil lainnya.

Ia pun pamit sambil menggendong gitar tuanya itu.

Saya menyukai anak itu. Semangatnya yang tinggi. Ketenangannya dalam mengatasi beratnya beban kehidupan. Ia jalani kehidupan apa adanya. Tetap berusaha tanpa menyerah. Ia reguk kebahagiaan di mana ia bisa dapatkan tanpa harus menjadi larut dalam kesulitan. Seolah -olah ia berkata “Seberat apapun itu beban, jika kita tak memandangnya sebagai beban, tentu tak akan pernah terasa berat”.

Bagai Membeli Apel Dalam Busa.

Standard

Teman teman pembaca tentu tidak asing lagi dengan pepatah, “Bagaikan membeli kucing dalam karung”. Dari luar terdengar suara kucingnya mengeong dengan sangat merdu, sehingga melambungkan impian sang pembeli akan seekor kucing cantik yang bersih, terawat dan menggemaskan. Ketika sudah dibeli dan dibayar, karung dibuka, eh….ternyata yang keluar kucing kotor buruk rupa yang budukan pula kulitnya. Kecewalah pembeli ya?

Itu pula yang terjadi pada saya kemarin sore saat membeli apel di pasar. Saya lihat hamparan buah apel yang merah ranum tampak segar-segar menyembul dari busa styrofoam pembungkusnya. Saya tertarik untuk membeli sekilo. Biasanya jika membeli, saya membuka pembungkus itu satu per satu dan memeriksa isi buahnya dengan teliti. Takut ada yang busuk.

Kemarin pun saya melakukan hal yang sama. Membuka pembungkus buah itu satu persatu.

Nah…sampai di rumah saya baru tahu, ternyata saya telah memilih satu buah apel busuk di antaranya. Lho, kok bisa?

Rupanya saat memeriksa buah apel itu, saya hanya melihat sepintas dan jika kelihatannya oke, langsung saya masukkan ke dalam plastik. Saya kurang teliti dan tidak memutar-mutar buahnya untuk memastikan tidak ada bagian yang cacat ataupun busuk. Dan bagian busuk itu rupanya tersembunyi di bawah, sedangkan saya hanya melihat permukaannya saja dan merasa diri sudah cukup mengamati. Padahal sebetulnya pengamatan saya sama sekali jauh belum cukup. “Saya terburu-buru karena anak saya menunggu” itu jawaban pembenaran saya atas keteledoran saya ini.

Sound familiar? Ya…itu sering terjadi dalam kehidupan kita sehari-hari. Misalnya bagi ibu rumah tangga dalam merekrut pembantu rumah tangga, bagi calon pekerja dalam melamar masuk ke sebuah perusahaan, bagi perusahaan dalam merekrut karyawannya, bagi calon suami dalam mencari calon istrinya, dan lain sebagainya.

Terutama jika itu menyangkut pemilihan akan hal yang sangat penting artinya dalam perjalanan hidup kita, kita benar-benar harus super teliti dalam melakukan seleksi. Kita mesti luangkan waktu yang cukup untuk itu. Mesti letakkan fokus perhatian kita untuk memeriksa secara menyeluruh segala sesuatu yang seharusnya bisa kita periksa. Periksa lebih jauh lagi jika ada indikasi yang kurang baik.

Begitulah teman-teman, pelajaran kehidupan yang bisa saya petik buat diti saya sendiri dari kasus apel busuk ini.

Selamat menjalani kehidupan dan menetapkan pilihan yang tepat dalam setiap persimpangan jalan 😊

Garden Update: Cincau Perdu.

Standard

Sudah lama nggak sempat ngupdate kebun halaman saya. Kemarau panjang dan serangan penyakit karat serta kutu putih membuat kebun menjadi merana. Jadi saya memilih untuk mengistirahatkannya sebentar untuk membantu memutus penularan penyakit-penyakit itu.

Namun demikian, masih ada beberapa tanaman dapur hidup yang tetap produktif. Misalnya pohon Cincau Hijau. Tetap berdaun lebat. Ever green.

Ada 3 jenis yang saya tanam dan ke tiganya lumayan lebat daunnya. Jadi harus dimanfaatkanlah ya. Kalau tidak toh akan tetap menguning dan layu juga pada akhirnya.

Nah ini adalah salah satunya. Daun Cincau Perdu (Premna oblongifolia). Daun Cincau yang saya baru tahu sejak saya tinggal di Jakarta, karena jenis cincau ini tidak dibudidayakan di Bali.

Daunnya lebar-lebar dan sesuai namanya tanaman ini batangnya tidak merambat, tapi tegak seperti layaknya Perdu. Saya menanamnya dari stek batang yang diberikan oleh salah seorang sahabat.

Cerita Pembantu & Budhe Tukang Jamu.

Standard

Hari Sabtu pagi. Saya bangun agak kesiangan karena semalam baru kembali dari luar kota. Tapi karena niat saya mau berlari pagi, jadi nggak apa-apalah saya tetap keluar walaupun kesiangan πŸ˜€πŸ˜€πŸ˜€.

Berlari hanya di sekitar perumahan saja. Lumayan sudah mengeluarkan keringat. Dan yang lebih penting adalah bertegur sapa dan bertukar senyum dengan tukang sayur yang mangkal, pak satpam, ibu-ibu pembersih taman, tukang bubur, mbak-mbak yang sedang berbelanja dan juga para tetangga yang sedang berjalan-jalan pagi.

Usai berlari, saya mampir di tukang sayur untuk membeli pepaya dan selada air. Lalu ada si Budhe Tukang Jamu. “Olah raga pagi, Bu? “Sapanya dengan sumringah seperti biasanya. Saya tersenyum mengiyakan dan bercakap-cakap sebentar dengannya. Selalu menyenangkan jika ngobrol dengan Budhe. Sayapun memesan sebotol jamu sirih kunyit asem. Sambil menyiapkan jamunya, si Budhe bertanya kepada saya.

Bu, itu mbaknya yang kerja di ibu keluar ya Bu?”. Saya berpikir sejenak. Karena yang sekarang baru saja mulai bekerja. “Yang dari Purworejo”. Katanya. Oooh…

Ya Budhe. Cuma sempat kerja beberapa hari saja, terus pulang dan tak kembali” kata saya.

Alasannya apa Bu waktu minta ijin pulang?” Saya lalu menceritakan jika alasannya waktu itu adalah ingin pulang selama 2 hari karena ingin mengurus administrasi anaknya sebentar karena mendapat sejenis beasiswa. Ya jadi saya ijinkan, karena buat saya pendidikan anak itu sangat penting. Tapi di hari yang ia janjikan akan datang ia tak muncul. Demikian juga hari hari berikutnya hingga saya mendapat konfirmasi bahwa ia positive keluar.

Saya sendiri tidak menyesali kepergiannya, karena saya mendapatkan informasi berikutnya bahwa ia sebenarnya ogah-ogahan bekerja dan bahkan memiliki sejarah kejujuran yang buruk saat bekerja dengan majikan-majikan sebelumnya. Jadi beruntunglah saya tidak perlu bergalau hati seandainyapun ia ketahuan melakukan hal yang aneh-aneh. Tapi bagian ini tidak saya ceritakan kepada si Budhe Tukang Jamu.

Saat saya terdiam sambil mengingat-ingat wajah si Mbak yang cuma sempat bekerja beberapa hari saja di rumah saya itu, si Budhe tiba-tiba curhat.

Itu lho Buuuu! Mbaknya itu membawa kabur baju saya dan nggak bayar” katanya dengan muka sangat murung. Hah ???!!!.

Saya seperti tersengat listrik. Kaget!. Lha? Kok bisa?? Dia kan hanya beberapa hari saja kerja di tempat saya? Kok sudah sempat-sempatnya melakukan kejahatan?. Saya tidak mengerti. Selain itu, ia juga orang baru di perumahan ini. Karena sebelumnya ia bekerja di perumahan lain di BSD.

Lah..Budhe kok bisa percaya ngasih baju ke orang baru gitu? “ tanya saya heran. Si Budhe yang baik ini selain menjadi Tukang Jamu juga berjualan baju dengan cara nencicil-cicilkan kepada para pembantu rumah tangga di perumahan itu. Pernah saya ceritakan di tulisan ini (Tukang Jamu Dalam Ekosistem Perumahan) sebelumnya.

Lha…gimana to Bu?. Wong dia bilangnya besok pasti akan dibayar karena waktu itu dia nggak bawa uang. Ya saya percaya saja“. Katanya memelas. Saya kok tidak tega melihatnya.

Terus saya tanya tanya ke orang-orang. Dikasih tahuin itu pembantunya Ibu Dani. Terus karena nggak dateng-dateng, saya samperin ke rumah ibu. Saya ketok-ketok, nggak ada yang bukain pintu.”. Ceritanya. Waduuuh ..nama saya jadi kebawa-bawa deh ya.

Terus saya tanya Mbak Imah ( Tukang Sayur) katanya sudah lama nggak pernah muncul belanja sayur. Mungkin sudah pulang ke Jawa. Atau brenti kerja, Bu?”. Saya semakin tidak tega mendengarnya. Ya…memang dia sudah lama pamit pulang. Cuma beberapa hari saja di rumah saya. Walaupun cuma beberapa hari saja, ternyata sudah mampu menciptakan penderitaan bagi orang lain.

Saya bertanya berapa banyak ia berhutang. Budhe menyebutkan sejumlah angka. Ooh..rupanya tidak terlalu besar. Saya pikir saya masih bisa menalangin dengan ikhlas. Kasihan juga si Budhe jika ia harus nenanggung kerugian akibat ulah pembantu yang bekerja di tempat saya.

Akhirnya saya tepuk bahunya si Budhe. “Sudahlah Budhe. Nanti saya ganti. Biar Budhe nggak rugi” kata saya lalu membayar sekalian dengan harga jamu kunyit asem. Si Budhe mengucapkan terimakasih dan terharu. “Kok bisa ya ada orang kayak gitu. Nggak kayak yang lainnya di perumahan ini. Biasanya jujur. Apa dia juga ada minjem uang sama Ibu? ” tanya si Budhe. “Ya Budhe. Tapi nggak seberapa. Buat ongkos pulang dan keperluan di sana saja”. Kata saya. Dan saya sudah mengikhlaskannya saat itu. Jadi saya tak punya beban ataupun rasa sesal sedikitpun. Sekarang saya baru tahu ternyata ia merugikan si Budhe Tukang Jamu.

Sambil berjalan pulang saya jadi berpikir-pikir. Urusan pembantu rumah tangga memang masalah yang sangat pelik buat ibu-ibu. Kita memasukkan orang asing yang tak kita kenal ke dalam rumah kita.

Jika kita percaya begitu saja, kita tak pernah tahu sebelumnya apakah orang ini jujur dan akan terus jujur selama di rumah kita. Jika tidak, tentu kita yang akan kena musibah.

Tapi jika kita tak percaya dan cenderung curiga tentu akan menghasilkan hubungan kerja yang kurang harmonis juga dengan pembantu. Karena pada kenyataannya, menurut pengalaman saya kebanyakan dari mereka sebenarnya jujur-jujur dan baik-baik. Tentu tidak adil juga jika mereka dicurigai setiap saat.

Interview, sreening dan reference di saat awal menurut saya tetap penting. Walaupun kadang-kadang si pemberi referensi juga tidak mengenal cukup baik.

Teman-teman adakah yang punya pengalaman serupa?

Panahan: Antara Logika & Rasa.

Standard

Kembali lagi ke lapangan Panahan bersama 2 anak saya. Memberi kesempatan tubuh untuk terpapar penuh oleh sinar matahari. Kali ini tanpa Pak Heydar yang bisa saya temui untuk berkisah lagi tentang Leadership. Rupanya beliau sedang sibuk memberikan pelatihan di tempat lain.

Setelah 2 minggu sebelumnya saya hanya menjadi penonton, pemantau dan pendengar, sekarang saya memutuskan untuk maju selangkah. Mencoba!. Jadi status saya naik ya dari pasif menjadi aktifπŸ˜€πŸ˜€πŸ˜€.

Saya menemui Pak Azmi dan ditemani Mas Ido. Jadi bagaimana caranya untuk memulai?.

Pertama, kata Mas Ido saya harus memakai pelindung lengan bawah. Maksudnya agar nggak kejepret tali busur. Bisa merah. Saya menurut.

Lalu Mas Ido memberikan saya busur ukuran 18. Katanya yang ukurannya kecil dan enteng. Untuk wanita. Jadi tidak sama dengan yang diberikan ke anak-anak saya yaitu ukuran 22 dan 20 yg jauh lebih besar dan berat. Baiklah. Saya akan coba.

Berikutnya saya diberitahu bagaimana caranya memegang busur dengan tangan kiri dan posisi genggamannya. “Genggaman harus kuat tapi tak perlu kaku atau terlalu erat”. Mas Ido menunjukkan busur yang terpegang dengan baik, sudah pasti tidak akan jatuh, tetapi tidak erat, jadi busur masih bisa bergoyang sesuai situasi. Lalu menempatkan anak panah dan menarik tali busur.

Gunakan 3 jari (telunjuk, jari tengah, jari manis) yang diposisikan sedemikian rupa di tengah di dekat pangkal anak panah dengan jari tertekuk di ruas pertama. Lengan kanan ditarik ke belakang melalui bawah dagu dan ujung siku tarik ke atas. Tangan saya rasanya gemetar… dan busur bergoyang hebat. Tahan kurang lebih selama 3 detik daaan…. lepasss!!!!.

Whua… anak panahnya nyungsep di bawah kotak sasaran. Gagal!.😣😣😣

Ternyata keras juga ya. Cukup terasa berat bagi saya untuk menarik tali busur itu kuat-kuat sehingga busurnya bergoyang. Mas Ido melihat kondisi itu, lalu mencarikan saya busur yang lebih kecil. Bentangan busur saya terlalu lemah rupanya. “Nggak apa-apa. Ibu baru pertama kali. Mungkin juga karena jarang olah raga ya?. Nanti kalau sering latihan juga akan kuat” katanya menghibur.

Saya lalu mencoba busur yang lebih kecil dan yang lebih enteng. Busur untuk anak-anak πŸ˜€. Waduuh… antara rasa senang dan sedih rasanya. Senang karena akan memulai dengan yang “mungkin” terlebih dahulu, sehingga saya bisa berpikir lebih positive karena saya melihat ada harapan di sana. Tapi sedihnya ketika menyadari dan mengakui bahwa betapa lemahnya tubuh saya saat ini. Salah satunya karena jarang berolah raga. Kesalahan saya sendiri juga.

Masak setua ini bisanya hanya menggunakan busur ukuran anak kecil sih 😒😒😒.

Tapi baiklah, demi kesuksesan ke depannya mari kita lupakan bagian yang menyedihkannya itu. Kita hanya ingat bagian yang memberi harapannya saja ya πŸ˜€πŸ˜€πŸ˜€

Singkat cerita, berlatih lah saya hari itu. Belum sekalipun saya sukses bisa membidik titik kuning tepat di bagian tengah sasaran. Biro boro lingkaran kuning, anak panah saya bahkan kerap kali melayang di atas papan sasaran atau nyungsep sekalian di bawahnya.

Masalah yang lain adalah, Mas Ido mengatakan teknik saya membidik belum benar. Posisi tubuh saya dan tarikan tangan kanan saya belum benar. Objectivenya bukan hanya sekedar berhasil membidik yang kuning. Tapi bagaiman membidik yang kuning dengan cara yang tepat dan benar.

Semakin saya mencoba membidik yang kuning, kok malah semakin meleset ya. Padahal saya sudah letakkan pandangan saya baik-baik pada ujung mata panah dan saya arahkan ke titik kuning itu.

Turunkan lagi Bu, turunkan lagi”. Waduuh!. ???????. Kok diturunkan terus ya? Padahal jelas jelas terlihat ujung panah itu mengarah jauh di bawah titik kuning. Tapi sudahlah… tanpa nendebat sayapun menurunkan bidikan saya dan…lepasss!!. Hasilnya? Jauh di atas titik kuning dan miring pula πŸ˜€πŸ˜€πŸ˜€.

Kenapa bisa begitu ya? Saya menggaruk garuk kepala saya yang tak gatal. Penjelasannya adalah karena letak mata kita lebih tinggi dari titik sasaran. Jafi logikanya, tangan harus kita turunkan. O ya? Tapi kan saya sudah menurunkan posisi tangan agar ujung anak panah mengarah ke bawah titik kuning itu? Rasanya kok nggak masuk akal ya. Saya coba berkali kali lagi dan hasilnya gagal maning, gagal maning.

Akhirnya saya kira-kirain saja. Dan ajaibnya, kalau nggak pakai teori dan hanya memakai feeling kok malah semakin dekat dengan titik sasaran. Walaupun tidak tepat di titik kuning, tetapi paling tidak, beberapa kali akhirnya saya berhasil menancapkan anak panah di lingkaran merah. Sudah mendekati sasaran. Lumayan. Better daripada yang tadi.

Anak-anak saya yang keduanya telah berhasil membidik lingkaran kuning sebanyak 4-5 x mendekati saya dan memberi dukungan. “Mama! Ayo lepas! jangan ragu-ragu!“.

Jadi panahan ini rupanya membutuhkan kombinasi logika dan feeling. Barangkali logika yang dibungkus oleh rasa sebagai persepsi tubuh atas apa yang tertangkap oleh panca indera kita. Rasa yang menyangkut genggaman tangan kita pada busur panah, bentangan tali busur, tentang jarak sasaran, arah ujung anak panah, kekuatan tangan kita dan lain sebagainya. Dibutuhkan rasa yang lebih menyatu dengan busur dan anak panah itu sendiri. Seorang pemanah tidaklah boleh menjadi “stranger” bagi busur dan anak panahnya sendiri.

Sampai di titik ini saya belum berhadil. Saya masih ingin terus berlatih.