Monthly Archives: July 2015

Ceritaku Tentang Buku.

Standard
nimadesriandani-books

nimadesriandani-books

Banyak yang nanya, ngapain aja lo selama liburan? Nggak pernah kasih kabar, nggak update status di grup, nggak juga nulis di blog. He he.. sebenarnya banyak juga sih yang saya lakukan. Liburan dari kantor, ya …berarti menjadi ibu rumah tangga 100% (walaupun sesekali tetap juga nengok-nengok e-mail kantor barangkali ada yang darurat dan harus di-feed back secepatnya). Saya ada di rumah. Banyak kerjaan rumah tentu saja. Mulai dari kerjaan dapur, masakin anak-anak & suami, ngasih makan kucing, bongkar pasang tanaman, hingga berberes-beres. Kalau diceritain satu per satu pasti banyak deh.

Salah satu yang saya lakukan adalah membongkar dan membersihkan rak buku yang ternyata memakan waktu nyaris seharian penuh. Walaupun bukan kutu buku amat, seingat saya, saya  ini memang penyuka buku sejak kecil.  Sejak jaman majalah si Kuncung beredar (ayoo..masih ada yang inget nggak jaman itu?), saya sudah doyan membaca.

Sejak jaman dulu setiap kali  punya sisa uang jajan, selalu saya belikan buku. Sangat jarang uang jajan saya gunakan untuk membeli lipstick atau pakaian.  Buat saya, punya buku lebih penting daripada punya lipstick atau pakaian bagus. Karena buat saya buku adalah sumber ilmu pengetahuan. Dan saya tertarik kepada orang-orang yang memiliki ‘software’ yang baik. Oleh karenanya saya selalu merasa perlu mengupgrade software saya sendiri agar tak ketinggalan amat.

Kesenangan akan buku itu terus berlanjut hingga saya tinggal di Jakarta. Saya hanya membawa sedikit sekali buku-buku saya dari Bali. Tapi di Jakarta saya mulai lagi membeli buku bacaan yang menarik hati saya satu per satu. Tanpa sadar eh…jumlahnya lumayan banyak juga ya.  Cuma sayangnya buku saya juga banyak tercecer di sana -sini. Ada yang minjam terus nggak dikembalikan. Ada juga yang hilang saat pindah lokasi, beres-beres, bersih-bersih dan sebagainya. Atau saya lupa ketinggalan entah di mana.

Walaupun dengan kondisi yang sudah banyak hilang itu, saat ini  setidaknya di rak saya masih tersimpan sekitar dua ribuan buku. Barangkali tidak seberapa banyak dibanding koleksi teman-teman pencinta buku lainnya. Tapi jika diturunkan dari raknya lumayan juga memenuhi lantai rumah saya yang sempit dan lumayan membuat sulit melangkah lewat.

Karena saya menyukai banyak hal, buku yang saya koleksi juga jenisnya beragam. Ada buku tentang masakan sekitar 90 buah, buku tentang pemasaran sekitar 50-an buah, buku tentang bisnis management dan leadership sekitar 70-an buah, buku tentang pengembangan  diri sekitar 40 -an buah.

Lalu ada cukup banyak buku tentang farmasi dan obat-obatan, kedokteran, ensiklopedia, kedokteran hewan, buku-buku tentang binatang mulai dari buku tentang burung-burung, buku tentang ikan hias, tentang kambing, tentang sapi, tentang ayam, bebek, kambing, kupu-kupu, kuda, anjing, ular,binatang liar dan sebagainya berbagai binatang lainnya.

Lalu ada juga buku tentang tanaman hias, berbagai jenis tanaman bunga, herbal dan khasiatnya, buku-buku berbagai agama dan spiritual. Buku-buku tentang kewanitaan, buku menjahit, merenda, menyulam, kerja tangan wanita dan sebagainya. Lalu ada juga buku-buku perbankan, ekonomi, accounting dan buku-buku tentang hukum,  bahkan hingga kebuku-buku komik, sastra, novel dan sebagainya.

Jaman sekarang saat di mana semua informasi bisa didapatkan secara on-line, apakah memiliki buku masih penting?. Agak terasa galau juga memikirkan jawaban pertanyaan ini.

Saya pikir ke depannya mungkin memang akan semakin banyak orang mencari dan mendapatkan informasi lewat internet. Membeli buku bisa on-line. Membaca buku bisa lewat e-book. Ingin tau tentang apapun tinggal search di Google atau lihat di Wikipedia.  Sangat menakjubkan mengetahui bahwa kita bisa mendapatkan ilmu sedemikian banyak dengan gratis jika kita rajin mencari informasi di dunia Digital. Jadi kembali lagi, apakah buku cetak masih perlu ke depannya?

Agak sulit menjawabnya. Saya sendiri secara pribadi merasa bahwa buku cetak tetap masih perlu, walaupun  takbisa dipungkiri saya juga mendapatkan banyak sekali infornasi dari dunia digital. Setidaknya saya merasa masih tetap merasa perlu menyimpannya.  Ada banyak alasan.

Pertama buku-buku cetak jaman dulu belum tentu semuanya sudah di ‘on-line’kan. Maksud saya walaupun sudah banyak informasi yang bisa kita dapat di internet, tetapi ada juga banyak pengetahuan yang hanya bisa kita temukan di buku cetak tertentu dan belum ada di internet.

Kedua, membaca buku cetak itu sensasinya beda lho!. Kita bisa meraba covernya, membuka halaman demi halamannya,  terus membacanya sambil berbaring hingga mata mengantuk dan kita tertidur pulas. Jadilah itu buku sebagai bantal pengganti. Nah..sensasi seperti itu tidak kita dapatkan jika kita baca buku di internet bukan?Masak mau tidur di atas laptop? he he..

Ketiga, buku cetak juga bisa dipajang.  Terutama bagi ibu rumah tangga macam saya yang nggak punya barang-barang antik atau benda mewah buat dipajang di rumah, buku -buku cetak bisa juga dijadikan penghias ruangan. Nggak apa-apa nggak kelihatan kaya. Karena memang nggak kaya juga sih. Tapi oke juga lah kalau kelihatan agak banyak membaca dikit. Nah..kalau e-book gimana dong mau majangnya? Dicetak dulu?

Keempat,  buat kasih kado. Nah.. terkadang buku cetak juga merupakan pilihan yang bagus buat ngasih kado ke keponakan atau ke sahabat tersayang. Saya banyak juga menerima buku pemberian dari sahabat-sahabat saya. Sebaliknya saya pernah juga memberikan hadiah buku bagi beberapa orang-orang yang saya sayangi.

Kelima, jika punya tempat yang baik, ada gunanya juga membuka perpustakaan kecil buat orang-orang yang kurang mampu membeli buku atau mengakses internet. Membuka keran ilmu pengetahuan bagi orang lain tentu perbuatan yang baik bukan? Ilmu akan mengalir kepada lebih banyak orang. Ilmu yang mengalir akan membuat dunia yang gelap gulita menjadi lebih terang benderang. Oh, itu cita-citaku.

Saya yakin masih banyak lagi kegunaan buku cetak yang lain. Barangkali ada teman yang mau menambahkan?

 

 

Kerukunan Di Hari Raya.

Standard
Hantaran Hari Raya

Hantaran Hari Raya

Tetangga saya yang sudah sepuh selalu mengirimkan kue setiap kali hari raya Idul Fitri tiba. Dan biasanya saya juga mengirimkan sesuatu untuk beliau dan keluarganya juga. Melihat kiriman kue-kue itu saya jadi terkenang akan masa kecil saya di Bali dulu.

Keluarga kami tinggal di area dekat dengan kantor-kantor pemerintahan dan perumahan dinas Kabupaten di Bangli, seperti misalnya rumah dinas Bupati, Sekda, DanDim, Jaksa, Kapolres, Kepala Pertanian, Puskesmas, Dokabu dan sebagainya.  Juga berdekatan dengan asrama polisi.

Sebagai rumah penduduk yang terdekat dengan kompleks itu, rumah keluarga saya selalu menjadi titik stop ibu-ibu tetangga yang membutuhkan bantuan atau mencari informasi tentang ini dan itu. Perlu daun sirih, daun pandan, daun suji, daun kelapa, daun pisang, batang bambu, minta bunga dan sebagainya. Karena kebetulan semuanya ada di halaman, biasanya para tetangga ya dipersilakan ambil saja sendiri -sendiri.

Seperti kebanyakan rumah-rumah di Bali, pintu gerbang halaman rumah kami memang  tidak pernah punya pintu penutup. Tentu saja semua orang bisa masuk ke halaman rumah kami karena memang gerbangnya selalu terbuka dan tak berpintu. Demikian juga para tetangga sering datang dan duduk ngadem di halaman.

Banyak dari para tetangga kami itu  yang berpindah-pindah tugas. Paling menetap selama 2 -5 tahun, lalu ganti lagi. Akibatnya, tetangga kami memiliki latar belakang suku dan agama yang beragam. Ada yang Jawa, Batak, Menado, Makasar, Ambon dan lain sebagainya. Selain banyak yang memang asli Bali juga tentunya.  Pokoknya orang Indonesia dari Sabang sampai Merauke lah. Demikian juga hari rayanya berbeda-beda.  Tapi buat kami, hari raya agama apapun selalu tetap menyenangkan.

Jika menjelang hari raya Galungan & Kuningan, ibu saya selalu membuat kue-kue dan masakan yang lebih banyak agar bisa kami bagikan kepada tetangga-tetangga kami yang beragama lain. Biasanya mereka akan datang berkunjung ke rumah, mengucapkan selamat hari raya dan mengobrol sejenak dengan Bapak dan Ibu saya.

Juga setiap kali hari raya Idul Fitri datang. Keluarga kami pasti menerima pembagian kue-kue dan hasil masakan hari raya Lebaran. Ibu dan bapak saya -kadang anak-anak juga ikut – bersilaturahmi ke rumah tetangga yang merayakan Lebaran. Semuanya berbahagia.

Demikian juga dengan tetangga kami yang merayakan Natal. Sama juga, keluarga kami juga mendapatkan kiriman kue-kue dan masakan hari raya Natal. Kami juga berkunjung  dan semuanya bersuka cita.

Tidak terlalu penting siapa yang merayakan hari besar keagamaan, sama saja, kami selalu bahagia dan senang. Sedemikian damai dan rukunnya kehidupan bertetangga orang tua kami di jaman itu. Dan kami anak-anaknya tentu saja ketularan rukun.

Walaupun kami anak-anak lahir dari orangtua dengan keyakinan yang berbeda-beda, tetapi kami tidak pernah punya masalah. Malahan saling berbagi & bertukar cerita dan pemahaman sesuai dengan apa yang diajarkan orang tua kami masing-masing.  Dan semuanya kok ya terdengar indah dan bagus. Kerapkali kami juga ikut menyerap apa yang diceritakan bagus oleh teman kami.

Saya sangat senang mendengarkan pelajaran agama dan kebaikan-kebaikan yang diceritakan teman-teman saya yang agamanya berbeda. Sehingga rasanya inti kebaikan setiap agama tiada asing lagi bagi saya. Saya mendengarkan kisah-kisah tentang Yesus Kristus dari sahabat karib saya di TK. Juga mendengarkan cerita tentang hari Kiamat versi muslim, tentang Malaikat Jibril,  tentang kebaikan Sholat dan sebagainya dari sahabat saya yang lain lagi saat di SD. Sementara teman-teman saya itu juga kelihatan senang, saat saya bercerita tentang  Dharma, tentang Tri Kaya  Parisudha, Tat Twam Asi, dan berbagai prinsip lain dan kisah-kisah dalam agama Hindu dan Buddha sesuai dengan yang diajarkan kepada saya baik oleh guru maupun orang tua saya. Tentu saja semuanya diceritakan dengan pikiran dan cara bertutur kami yang masih kecil  dan masih sangat bening. Diceritakannya juga  sambil memanjat pohon jambu. Atau duduk-duduk di tepi lapangan habis bersepeda. Atau di pematang sawah sambil melihat capung. Atau saat berteduh menunggu hujan reda. Tidak ada keinginan dan pikiran untuk mengatakan bahwa keyakinan saya lebih bagus dari keyakinan kamu. Tidak juga ada keinginan untuk mempengaruhi.  Hanya senang bercerita dan senang mendengarkan saja. Sudah. Itu saja. Sehingga yang ada dalam keseluruhan hati dan pikiran kita adalah sesuatu yang sangat bersih dan sangat indah.

Sekarang, terus terang saya sering sedih dan kaget setiap kali membaca berita dan status di media sosial orang-orang yang saling menyudutkan agama dan keyakinan orang lain. Saling membenci dan saling menghujat. Saling mengkritik dan saling menyindir. Bahkan untuk saling mengucapkan Selamat Hari Raya pun merasa berat. Kemana ya perginya kerukunan yang dulu? Kemana perginya budaya silaturahmi lintas agama dan keyakinan yang dulu selalu ada?

Hantaran kue-kue kering itu masih menggeletak terdiam di atas meja makan. Saya memandangnya dan merasa terharu.  Senang sekali rasanya. Bukan saja karena menerima kiriman kue Lebaran. Tetapi lebih dari itu, setidaknya saya masih melihat ada seorang Oma yang melanjutkan budaya mengantarkan kue-kue dan makanan kepada tetangganya yang berbeda keyakinan saat hari raya seperti ini.

Hmm…jangan-jangan masih banyak juga keluarga lain yang tetap menggalang kerukunan lintas keyakinan seperti  yang dilakukan Oma tetangga ini. Ah!. Dan  barangkali hanya kebetulan saya saja yang tidak melihatnya. Semoga!.

Saya membuka tutupnya satu per satu dan memanggil anak-anak saya untuk ikut mencicipinya.  Kebahagiaan hari raya, semoga selalu menjadi kebahagiaan semua orang.

 

Cara Memakan Bubur Yang Panas…

Standard
Bubur Ayam

Bubur Ayam

Masih seputaran tentang kota Sukabumi yang ngetop dengan bubur ayamnya. Kali ini saya sarapan bubur ayam lagi di tukang bubur yang sama. Agak lama juga memesannya, karena kelihatannya jumlah pelayan tidak sepadan dengan jumlah pengunjung. Selain itu, setelah lama sekali menunggu, sang pelayan mengatakan kalau bubur ayam yang special sudah habis. Adanya yang biasa saja – maksudnya jumlah dan jenis toppingya pasti terbatas. Ya oke deh…

Pesananpun akhirnya tiba. Saya segera mencicipi bubur saya. Anak saya mengeluh “Buburnya panas banget Ma“. Saya lihat anak saya bengong memandangi mangkok buburnya. O ya..namanya bubur, tentunya dihidangkan selagi panas. Saya lalu mengajari anak saya bagaimana cara memakan bubur yang panas.

Mulailah sendok sedikit dari bagian permukaan yang paling pinggir dulu. Yang paling dekat dengan mangkok. “Coba cicip dikit. Jika masih terasa panas, tiup aja dulu” kata saya memberi tahu anak saya. Ia mencoba sedikit. Saya menunggu expresi wajahnya. Ternyata sekarang ia mampu menahan rasa panas bubur itu di lidahnya.  Bagus!. “Nah, sekarang sendok lagi disebelahnya. Sisir terus dari pinggir mangkok aja dulu. Baru makin lama makin ke tengah. Jangan sekali-sekali mulai menyendok dari bagian tengah! Dan jangan sekali-sekali menyendok terlalu dalam!“. Sekarang anak saya mulai bisa memakan bubur panasnya sendiri tanpa harus saya tuntun lagi.

Bubur selalu dihidangkan terbaik saat dalam keadaan panas. Karena suhu mangkok lebih dingin dari suhu bubur, tentu saja bagian bubur yang bersentuhan dengan mangkok akan turun suhunya menyesuaikan dengan suhu mangkok. Selain itu, suhu udara juga lebih dingin dari suhu bubur. Hal serupa terjadi pada bubur yang berada di bagian permukaan yang bersentuhan dengan udara. Suhunya akan turun.  Akibat persentuhan dengan udara dan mangkok, maka bagian bubur yang terdingin adalah yang di permukaan dekat mangkok. Itulah sebabnya mengapa cara terbaik memakan bubur panas adalah dengan menyisir permukaan di tepi mangkok seperti lingkaran terlebih dahulu, baru makin lama makin ke tengah dan makin ke dalam.

Hei! Ini sebenarnya sama caranya dengan jika kita sedang menghadapi konflik. Atau pertengkaran. Entah itu dalam hubungan sosial, pekerjaan ataupun rumah tangga. Setiap permasalahan tentu memiliki titik panas dan sensitive. Menyinggung langsung pada bagian yang panas dan sensitive itu bisa jadi akan memicu ledakan pertengkaran  dahsyat yang tidak kita kehendaki. Walaupun apa yang kita usulkan atau katakan benar, tetap saja konflik takbisa dihindarkan. Apalagi jika kita yang diposisi salah. Makin parah lagi.

Yang terbaik memang berdiam diri sejak, sambil menunggu yang panas menjadi turun suhunya terlebih dahulu. Kita bisa mulai dengan membicarakan hal-hal yang tidak panas dan biasa biasa saja dulu.  Alihkan pembicaraan pada hal-hal yang tidak ada kaitannya dengan yang sedang dipermasalahkan. Perlu sabar dan pelan-pelan.  Hingga partner yang kita ajak berkonflik merasa tenang dan tidak temperamental lagi. Selain itu, kita juga perlu memberi waktu untuk mengkaji diri kita sendiri dan kebenaran serta kebaikan sikap dan usulan kita. Jika ternyata kita menemukan bahwa diri kita dan usulan kita kurang baik atau bahkan salah, ya.. sudah jelas kitalah yang harus membatalkan usalan kita dan kalau perlu meminta maaf.

Anggaplah jika usulan kita memang baik dan benar, maka kita tetap perlu bersabar untuk tidak menceburkan diri ke masalah itu dulu. Setelah yakin sudah tidak panas lagi suasananya barulah kita bisa menjelaskan apa yang kita maksudkan dengan baik. Tentunya dengan alasan yang baik, jelas dan fair mengapa kita berpikir dan mengusulkan seperti itu.  Saya rasa, jika memang apa yang kita usulkan itu adalah baik dan benar, didengarkan oleh partner atau kawan kita yang hati dan kepalanya sedang tenang dan dingin, tentu pendapat dan usulan kita akan mudah diterima dengan baik.

Menghadapi timbunan pekerjaan yang memusingkan juga serupa. Jika mulai terasa mumet dan melelahkan, ada baiknya ambil jeda sebentar untuk melihat dan memetakan mana bagian pekerjaan yang relatif lebih berat dan sulit dan mana bagian yang relatif lebih ringan dan mudah menyelesaikannya. Lalu mulailah menyelesaikan pekerjaan dari yang mudah terlebih dahulu, baru kemudian ke bagian yang kurang mudah dan sulit. Tapi jangan lupa lihat juga mana yang urgent dan mana yang kira-kira jika ditunda tidak akan memberikan musibah kepada kita atau kepada perusahaan tempat kita bekerja. Tentu jika ada yang urgent, ya harus diselesaikan terlebih dahulu.

Pekerjaan rumah tangga juga begitu ya? Kalau nggak ada si Embak… kita bisa mulai dengan yang mudah-mudah dulu. Menyapu lantai, mencuci piring, mencuci baju, menanak nasi dulu. Nah..urusan memasak lauk, menyeterika, mengepel, atau membongkar lemari dan sebagainya yang relatif lebih sulit, kerjakan belakangan saja. Yah..serupa dengan cara kita memakan bubur ayam yang panas itulah kurang lebihnya.

Bikin hidup lebih mudah dengan menyelesaikan perkara-perkara yang mudah-mudah saja terlebih dahulu, sebelum menyelesaikan perkara yang lebih sulit. Sehingga ketika saatnya kita harus menyelesaikan perkara yang sulit, setidaknya perkara-perkara lain yang lebih mudah tidak perlu ikut merecoki dan membebani pikiran kita juga.

Mari membuat hidup kita menjadi lebih mudah dan ringan.

 

Sapu Nenek Sihir.

Standard
????????????

Sapu Lidi

Jika sedang berada di kota Sukabumi, saya paling senang makan bubur untuk sarapan pagi. Karena menurut saya bubur ayam di Sukabumi itu sangat enak. Nah suatu pagi saya melihat seorang kakek penjual sapu lidi di depan tukang bubur langganan saya itu. Seketika saya teringat akan sapu lidi pembersih kasur saya yang sudah rusak dimainkan anak-anak. Kelihatannya  perlu membeli penggantinya. Saya memberi isyarat kepada kakek tua itu bahwa nanti  saya akan membeli setelah makan bubur. Maksudnya agar beliau jangan cepat-cepat pergi. Biasanya tukang jualan seperti ini hanya nongkrong sebentar lalu pergi, karena torotoar ini bukan tempat jualan permanen.

Seusai makan bubur, saya menepati janji saya. Melihat-lihat dan memilih sapu yang ingin saya beli. Ada sapu untuk membersihkan tempat tidur. Jumlah batang lidinya paling sedikit diantara semua jenis sapu. Lidinya sendiri berwarna lebih terang. Diameter sapu itu sekitar 3.5 cm. Harganya 10 ribu rupiah.

Lalu ada sapu lidi biasa. Maksudnya sapu lidi untuk lantai dan halaman. Diameternya sekitar 5 cm. Eh..harganya sama lho….10 ribu rupiah juga. Apa nggak salah ya kakek ini? Padahal jumlah lidinya 2x lipat lebih banyak dibanding sapu yang kecil. Pasti salah satu ada yang salah. Mungkin yang kecil kemahalan. Atau yang besar kemurahan. Saat saya konfirmasi apakah kakek ini tidak salah memberikan harga, beliau bilang tidak. “Memang begitu harganya dari sananya Neng” katanya. Beliau juga tidak mengerti mengapa bisa begitu. Hm..barangkali karena warnanya yang agak berbeda. Sapu lidi yang kecil warna lidinya agak lebih terang sedikit (biasanya diambil dari lidi janur alias daun kelapa yang masih muda – Busung – Bahasa Bali) ketimbang warna lidi dari sapu yang besar yang warnanya lebih coklat (biasanya diambil dari lidi daun kelapa yang lebih tua – Selepaan -Bahasa Bali). Saya mencoba mencari pembenaran sendiri atas harga yang kelihatannya janggal itu.

Terus ada lagi sapu lidi yang bertangkai. Saya tahu ini pasti untuk membantu agar pinggang kita tidak sakit karena membungkuk. Harganya menjadi 20 ribu rupiah. Oke, masuk akal jika yang ini harganya lebih mahal.

Saya memilih-milih dan memutuskan untk membeli 2 buah sapu kasur dan 1 buah sapu halaman yang bertangkai. Dan menambahkan satu buah lagi sapu biasa. Jadi semuanya ada 4 buah yang saya beli, Melihat wajah Kakek itu saya tidak tega menawarnya. Lagi pula saya pikir harga sapu ini sangatlah masuk akal . Sementara kwalitasnya sendiri  menurut saya jauh lebih baik dibanding sapu lidi kasur yang saya beli di Jakarta. Sebagai pembanding,  saya coba hitung jumlah lidi sapu kecil jualan si kakek ini ada 169 buah.  Sedangkan yang saya beli di Jakarta paling banter isinya tidak lebih dari 75 batang lidi saja.  Saya lupa harganya berapa yang saya beli di Jakarta ini.

Yang membuat saya tertawa adalah sapu itu ternyata memiliki merk. Dan merknya adalah “SAPU NENEK SIHIR“.  Dilengkapi dengan alamat dan nomor telpon  si Abah pembuatnya di Kampung Gentong Desa Selajambe, Kecamatan Cisaat, Sukabumi.  Ha ha.. terutama yang bertangkai panjang itu memang mirip sapunya Nenek Sihir dalam dongeng sih. Jadi cocoklah barangkali bermerk Nenek Sihir. Dikorek-korek sedikit dengan sapu ini, sim salabim! Abrakadabra! Halaman langsung bersih!. Kreatif juga si pembuatnya. Walaupun bagi sebagian orang denger nama Nenek Sihir barangkali takut juga.  Eh.. tapi tiba-tiba saya jadi penasaran juga, sebenarnya sapu nenek sihir dalam dongeng itu sapu ijuk atau sapi lidi sih?

O ya… terlepas dari kaitan sapu lidi dengan Nenek Sihir, ada cerita menarik yang saya ingat tentang Sapu Lidi. Diceritakan oleh guru saya waktu SD. Seorang Bapak memanggil anak-anaknya yang sering sekali bertengkar dan tidak pernah akur satu sama lain. Sang Bapak mengambil lidi lalu menyerahkan ke anak-anaknya masing-masing sebatang lidi. Ia lalu berkata, siapa yang bisa mematahkan batang lidi itu?. Anak-anaknya tentu saja heran akan pertanyaan bapaknya itu. Semua anak bisa mematahkan batang lidi itu dengan mudah.  Sang Bapak lalu mengambil sebuah sapulidi. Sekarang beliau bertanya lagi kepada anak-anaknya. Siapa yang bisa mematahkan  sapu lidi ini? Anak-anaknya secara bergiliran mencoba  mematahkan sapu lidi itu dengan sekuat tenaga, tetapi tidak ada yang berhasil. Sapu lidi itu hanya melengkung, tapi tidak pernah patah. Cerita itu diakhiri dengan pesan Sang Bapak agar anak-anaknya selalu hidup rukun dan saling mendukung agar bisa berhasil. Sebagaimana yang dicontohkan oleh Sapulidi, jika sendirian kita akan mudah patah. Namun jika rukun dan selalu bersama-sama maka kita akan menjadi kuat.

Saya pikir ingin juga saya menceritakan kembali cerita ini kepada anak-anak saya. Agar mereka mengerti arti kerukunan dalam keluarga. Demikian juga arti kerukunan di dalam kelas, dalam bermasyarakat dan kerukunan dalam berbangsa. Tiada gunanya membesar-besarkan perbedaan yang membuat kita justru terpecah belah dan akhirnya lebih mudah dikuasai orang lain, bukan?.

Nah..lumayan juga sapulidi nenek sihir ini mengingatkan saya kembali.

Fokus Dan Tidak Fokus.

Standard

Focus & Tidak focusAcapkali kita mendengar entah teman, kenalan ataupun keluarga berkata bahwa kita perlu fokus agar sukses. Karena fokus memegang peranan penting dalam sebuah kesuksesan. Jadi, Fokus! Fokus!. Dan fokus!

Kenapa libur-libur begini saya kok tiba-tiba ngomongin soal Fokus? Nah ini gara-garanya justru karena libur. Saya jadi banyak bermain-main dengan anak-anak saya. Termasuk salah satunya bermain Bayang-Bayang Jemari Tangan dengan anak saya yang kecil. Ia senang membuat bayangan Kelinci, bayangan Srigala, bayangan Buaya, bayangan Gajah dan sebagainya dengan mengatur jari-jari tangannya, lalu membiarkan cahaya lampu jatuh menimpa jemarinya itu, sehingga membentuk bayangan-bayangan  yang unik dan lucu.

Agar bisa bermain dengan baik, kami mematikan lampu listrik, lalu menyalakan lampu senter. Kebetulan lampu senter itu bisa digerak-gerakkan dan diatur fokus cahayanya.  Saat bermain Bayangan, ia mulai dari cahaya yang tidak fokus. Memencar dan lebar dengan diameter cahaya yang lebih besar tapi redup. Lalu setelah bosan, ia menggerakkannya menjadi cahaya yang lebih terfokus, terpusat di tengah, lebih kecil diameternya namun sangat terang di tengah.

Gara-gara cahaya lampu senter itulah saya jadi teringat dan memikirkan arti kata “Fokus”.  Jika melihat lampu senter itu, saya akan setuju jika ada seseorang yang mengatakan bahwa fokus  adalah  titik di mana cahaya  terpusat. Karena cahaya terpusat alias mengumpul di sana, maka titik fokus itu terlihat sangat terang melebihi lingkungan sekitarnya yang gelap gulita. Saking terangnya, ibaratnya jika ada seekor semutpun yang melintas di titik fokus cahaya itu hingga antenanyapun tentu kelihatan. Tidak ada yang luput dari pandangan mata kita.

Sebaliknya jika kita tidak memfokuskan cahaya senter itu, maka cahayanya akan menyebar di area yang lebih luas. Cahaya itu terbagi-bagi ke segala penjuru arah, sebagai akibatnya maka akan terlihat lebih redup. Tidak seterang seperti saat cahaya kita fokuskan di satu titik tertentu. Kembali lagi seandainya ada semut yang melintas, barangkali sepintas lalu kita juga tetap akan melihatnya, namun tentunya tidak bisa detail melihat kaki atau antenanya seperti saat kita melihatnya di bawah fokus cahaya.

Sebenarnya sama dengan pikiran dan perhatian kita terhadap sesagla sesuatu.  Jika pikiran dan perhatian kita fokus, dengan sendirinya kita akan memahami segala sesuatu itu dengan detail dan dengan cara yang sangat terang dan jernih.  Kwalitas pemahaman yang terbaik hanya akan bisa kita dapatkan jika kita memang benar-benar fokus akan sesuatu. Sebagai akibatnya, pasti ada yang harus dikorbankan. Kita tidak bisa memecah pikiran dan perhatian kita ke berbagai persoalan yang lain jika kita benar-benar ingin fokus. Tidak bisa multi tasking.

Sebaliknya jika kita ingin memahami berbagai hal yang berbeda pada saat yang bersamaan, maka bisa jadi kita hanya akan mampu memahami permukaannya saja atau garis besarnya saja, tanpa mampu memahami dengan detail kedalaman persoalannya. Kwantitas pemahaman akan mungkin kita kuasai jika kita membiarkan diri kita tidak fokus. Yang pasti, tanpa fokus bukan kwalitas yang bisa kita dapatkan. Tapimulti-tasking sangat mungkin dilakukan.

Apakah fokus selalu lebih baik dibanding tidak fokus?“. Hampir saja saya menjawab “Ya” atas pertanyaan anak saya itu. Tapi kemudian saya menyadari. Sebenarnya tidak begitu juga.  Fokus dan Tidak Fokus sama baiknya. Sama bergunanya. Tergantung dari kebutuhannya dan bagaimana kita menggunakannya untuk keperluan kita.

Sama dengan cahaya lampu senter itu. Ada saat-saat tertentu dimana kita membutuhkan cahaya yang fokus, misalnya saat kita mencari benda-benda kecil di area yang sempit dan terbatas, misalnya mencari jarum yang jatuh. Sudah pasti fokus cahaya lebih dibutuhkan.

Tapi bagaimana jika kita ingin bermain Bayang-Bayang Jemari Tangan? Kita tidak membutuhkan cahaya yang terfokus. Yang kita butuhkan adalah cahaya yang menyebar di area yang lebih luas. Redup sedikit tidak masalah, toh bayangan tetap terlihat juga.

Jadi, tidak selamanya fokus itu lebih baik dari tidak fokus. Atau sebaliknya tidak fokus lebih baik dari fokus. Tergantung apa yang kita butuhkan.

Fokuskanlah pikiran dan perhatian kita  untuk mengejar hasil yang berkwalitas unggul. Pencarkan pikiran dan perhatian kepada beberapa hal sekaligus pada saat yang bersamaan jika kita sedang ingin melakukan scanning  dan mendapatkan gambaran besar sebuah permasalahan dengan cepat.

Saya yakin, otak manusia bekerja dengan sangat fleksibel untuk menghadapi segala permasalahan.

 

Sarang, Adalah Rumah Bagi Burung-Burung.

Standard

Seekor Burung Pipit Di Sarangnya 4Di halaman rumah, ada sebatang pohon bunga Asoka putih (Ixora sp.). Bunganya yang mirip jarum cukup banyak mekar hari ini. Mengundang berbagai jenis kupu-kupu untuk mampir. Dari sela-sela daunnya yang rimbun, saya mendengar suara cericit burung pipit. Saya mendekat. Dua ekor burung pipit (Lonchura leucogastroides) tampak bertengger di dahannya yang agak tinggi. Di dekatnya sebuah sarang tampak tersangkut. Pintu sarang berada tepat di arah saya berdiri. Sehingga saya bisa melihat ke arah pintunya,walaupun posisinya agak tinggi. Kelihatan kosong. Barangkali sarang itu milik ke dua ekor burung pipit itu. Sesaat kemudian kedua ekor burung pipit itupun terbang.

Sekitar pukul dua siang saya menengok sarang burung itu lagi. Tampak seekor induk burung pipit sekarang sedang berada di dalamnya. Kepalanya kelihatan menyembul keluar. Kepalanya hitam, demikian juga paruh atasnya. Paruh bawahnya berwarna kelabu pucat nyaris putih. Dadanya putih. Saya pikir barangkali ia sedang mengerami telornya. Tapi tak lama kemudian saya melihat seekor anak burung pipit mendekati sarang. Ooh… rupanya burung itu tidak sedang mengeram. Anaknya sudah lahir dan bahkan sudah bisa terbang. Walau demikian, ia tetap pulang menemui induknya di sarangnya.

Seekor Burung Pipit Di Sarangnya 1Saya memperhatikan anak-anak burung pipit itu yang terbang jarak pendek. Kadang menclok di dahan bunga Kenanga, kadang di kawat listrik, kadang di dahan pohon Srikaya. Lalu kembali ke dahan pohon Asoka dan masuk ke sarangnya. Demikian saya mengamatinya di pagi hari, siang hari dan sore hari setiap hari selama saya liburan.

Anak saya ingin memasang jaring dan menangkap burung-burung itu.”Untuk apa?” tanya saya. Ia ingin memilikinya dan memasukkannya ke kandang. Sayapun melarang dan memberinya pengertian bahwa burung-burung itu lebih suka hidup di alam bebas. dDn kita tidak punya hak untuk merampas kebebasannya.

Betapapun enaknya makanan yang kita sediakan, betapapun mudahnya ia mendapatkan makanan, gratis dan tinggal suap saja,  burung-burung tetap lebih suka hidup di alam bebas mencari makanannya sendiri,walaupun harus bekerja keras.   Kandang yang kita sediakan mungkin lebih besar dari sarangnya, tetapi burung-burung lebih suka tidur dan bersitirahat di sarangnya sendiri. Walaupun lebih sederhana, walaupun lebih sempit.

Dua ekor anak burung pipit 1Sarang, adalah rumah bagi burung-burung. Adalah tempat untuk berlindung dari hujan, dari terik matahari, dari tiupan angin kencang. Juga tempat berlindung dari dari gangguan pemangsa dan dari orang iseng yang berbuat jahat. Rumah adalah tempat yang paling aman di dunia.

Serupa dengan kita, rumah adalah tempat untuk pulang. Titik di mana kita jadikan pangkalan untuk kembali setelah bepergian ke tempat yang dekat maupun jauh. Tempat di mana kita tidak pernah tersesat, karena kita hapal semua sudut dan bahkan kolong-kolongnya.

Rumah adalah tempat untuk beristirahat dari kelelahan, setelah seharian mencari makan dan mengais rejeki di luar rumah. Rumah memberi suntikan energi yang memulihkan semangat untuk berjuang kembali esok hari.

Sebagaimana sarang yang merupakan tempat bagi burung-burung untuk menetaskan telur dan membesarkan anak-anaknya, rumah bagi kita adalah tempat di mana kita dibesarkan dengan penuh kehangatan dan cinta. Rumah adalah tempat untuk berkumpul dengan keluarga, berbagi suka dan duka.

Sekecil apapun rumah kita, dan sesederhana apapun, rumah yang hangat diselimuti penuh dengan perhatian dan cinta para penghuninya, akan selalu menjadi tempat yang paling nyaman di dunia.

Burung Pipit di sarangnya10Saya mengajak anak saya melihat lebih dekat ke sarang burung itu melalui lensa tele. Tampak 3 ekor burung, seekor induk dan dua ekor anaknya sedang duduk berdesak-desakan di sana. Mereka kelihatan bahagia dan nyaman.  Walaupun sempit, tetapi burung-burung itu tetap lebih suka tinggal berdesak-desakan begitu di sana. Padahal anak-anaknya sebenarnya sudah besar dan bisa terbang, tapi tetap saja mereka lebih suka tinggal bersama di sarang itu. Itu membuktikan bahwa sarang itu bukan saja nyaman dan aman,namun juga hangat karena dipenuhi kasih sayang keluarga burung itu. Kehangatan itulah yang tidak akan pernah bisa kita gantikan sekalipun dengan kandang mewah berharga puluhan juta rupiah. Jadi, biarkanlah burung-burung itu tetap berada di sarangnya sendiri.

Saya mengambil beberapa foto. Anak saya sekarang sibuk mengamat-amati foto-foto burung pipit yang sedang berada di sarangnya itu. Tampak ia senang dan mulai bisa memahami apa yang saya katakan kepadanya. Ia pun mengurungkan niatnya untuk mengambil burung-burung itu dari sarangnya. Semoga ia mengerti apa arti rumah bagi setiap mahluk hidup, termasuk artinya bagi dirinya sendiri.

Kupu-Kupu Mati Meninggalkan Sayap…

Standard

Kupu-Kupu mati1Hei, ini sesungguhnya masih cerita yang kemarin. Pagi ini saya buka pintu rumah dan menemukan sayap Kupu-Kupu itu masih berada di tempat yang sama di atas tanaman Taiwan Beauty (Cuphea hyssopifolia) yang dijadikan penutup tanah di halaman. Hanya posisi sayapnya saja yang sekarang terbalik.Barangkali karena di tiup angin. Setelah kena embun semalam, ternyata sayap Kupu-Kupu ini tidak bertambah rusak sedikitpun. Masih sama seperti kemarin. Kupu-kupu ini mati. Tetapi ia meninggalkan sayapnya yang indah. Dan tetap indah walaupun badan dan kepalanya sudah tidak ada.

Saya jadi teringat pepatah orang Indonesia di jaman dulu. Gajah mati meninggalkan gading, Harimau mati meninggalkan belang. Dan kalau boleh saya tambahkan lagi dengan Kupu-Kupu mati meninggalkan sayap. Pepatah bijaksana ini mengajarkan kepada kita bahwa pada intinya, kita semua akan mati meninggalkan apa yang paling diingat tentang diri kita. Dalam kasus gajah, tentu yang paling diingat adalah gadingnya. Karena gading seperti itu tidak dimiliki oleh mahluk lain. Jika gading si gajah A itu buntung, tentu gading buntung itulah yang diingat. Jika gading gajah B itu mulus, tentu gading mulus itulah yang diingat. Sama halnya bagi Harimau dengan belang di kulitnya dan Kupu-kupu dengan corak sayapnya. Demikianlah manusia, akan dingat karena amal perbuatannya selama hidup di dunia. Buka karena hartanya, bukan karena gelarnya.

Karena pada hakikatnya, harta tidaklah pernah abadi. Dalam sekejap bisa hilang. Namun perbuatan kita kepada orang lain dan lingkungan di sekitar akan selalu hidup dalam kenangan setiap orang. Jika perbuatan kita baik,orang akan mengingat diri kita sebagai orang yang baik. Demikian juga jika perbuatan kita buruk, orang akan mengenang kita sebagai pribadi yang kurang baik. Karena amal perbuatan kita ibaratnya sama dengan gading bagi sang gajah, dan ibarat belang bagi sang harimau, serta ibarat sayap bagi sang kupu-kupu.

Nah..apakah saya sudah memiliki amal perbuatan yang cukup baik yang bisa saya tinggalkan bagi saudara-saudara,para sahabat,teman-teman dan lingkungan sekitar saya? Saya merasa kaget dan terperanjat sendiri dengan pertanyaan yang keluar dari hati saya itu.   Karena kita tidak pernah tahu apa yang akan terjadi esok hari, ada baiknya saya berusaha memperbaikinya selagi sempat.

Sayap kupu-kupu itu bergerak-gerak ditiup angin. Di mata saya, sayap kupu-kupu itu sekarang tak ubahnya laksana penyampai pesan dan isyarat tersembunyi yang diberikan oleh alam semesta kepada diri saya. Guna mengingatkan kembali akan amal perbuatan yang kelak saya tinggalkan, ketika waktunya tiba.

Selamat pagi, teman-teman.

Attacus Atlas Si Kupu – Kupu Barong.

Standard
Kupu-Kupu Barong

Kupu-Kupu Barong

Liburan. Saya menghabiskan waktu di Sukabumi. Tidak pergi ke mana-mana, selain  hanya melihat-lihat di halaman rumah. Di bagian halaman yang berkerikil, saya melihat ada benda coklat bergerak-gerak diterbangkan angin. Sepasang sayap Kupu-Kupu  Barong yang sudah mati. Wow! Lumayan besar juga. Walaupun tidak sebesar yang pernah saya lihat di masa kecil dulu di Bali. Tapi tetap besar. Bentangan sayapnya melebihi telapak tangan saya. Tapi badan dan kepalanya kemana ya? Tampaknya sudah dimangsa semut atau binatang lain. Sehingga yang tinggal hanya sayapnya saja. Itupun di bagian ujung kirinya juga sudah sobek. Mengenaskan sekali.

Saya memanggil anak saya yang kecil agar ia bisa ikut melihat ada ngengat raksasa yang bernama latin Attacus Atlas diterbangkan angin kehalaman rumah. Walaupun cuma sayapnya saja. Anak saya ikut mengamati-amati sayap itu. Warnanya coklat dengan design yang khas Kupu-Kupu Barong.  Segitiga putih berbatas hitam di keempat sayapnya. Sayap depannya melengkung kebelakang. Lalu ada corak mirip tali di tepi sayapnya.  “Namanya apa tadi? Kupu-Kupu Barong ya Ma?” Anak saya kelihatan tertarik. Saya mengambil kesempatan ini untuk bercerita tentang Kupu-Kupu Barong  yang mulai jarang terlihat itu kepadanya.

Kupu-kupu Barong alias Rama-rama (Attacus Atlas), sebenarnya bukanlah Kupu-Kupu (butterfly). Tapi ngengat. Ngengat raksasa (moth).  Lalu apa bedanya? Tampilannya serupa? Ya..memang serupa. Tapi sebenarnya berbeda.

Sayang sekali binatang ini tidak ada badan dan kepalanya. Jika ada, kita akan bisa melihat jika antenna binatang ini pendek, lebih lebar dan berbulu.. Itulah antena moth alias ngengat. Beda dengan antena Kupu-Kupu yang biasanya lebih panjang, tipis dan kadang melengkung ujungnya. Demikian juga tubuh ngengat biasanya lebih berbulu dibanding Kupu-Kupu.

Selain itu yang membedakan adalah, Ngengat biasanya lebih aktif pada malam hari .Sedangkan Kupu-Kupu lebih aktif pada siang hari. Dan  ada satu lagi kebiasaan Ngengat jika sedang hinggap, biasanya membentangkan sayapnya. Sedangkan kupu-kupu biasanya mengatupkan sayapnya. Walaupun tidak semua kupu-kupu begitu sih. Ada juga beberapa jenis yang suka membentangkan sayapnya berlama-lama. Tapi setidaknya, memberi indikasi awal, apakah yang sedang kita lihat itu Kupu-Kupu atau Ngengat.

Ulat Kupu-Kupu Barong ini tentu saja ukurannya juga cukup besar. Kalau di Bali disebut dengan nama Bijal. Warnanya hijau. kadang kadang ada warna putih di punggungnya.  Jaman dulu sering saya lihat hidup di tanaman anggur, tanaman Srikaya,ataupun tanaman jeruk.

Kupu-kupu Barong ini belakangan mulai jarang terlihat. Saya tidak tahu pasti penyebabnya.Tapi dugaan saya adalah karena penggunaan pestisida yang meningkat jauh dibanding tahun tahun sebelumnya. Terakhir saya melihat Kupu-Kupu Barong yang sedang terbang limbung di daerah perkebunan bunga dan tanaman hias di Batu, dekat Malang beberapa bulan yang lalu.

Semoga Kupu-Kupu  Barong ini tidak punah.

 

Gaya Kita Berbahasa.

Standard

pink-lotusSaya dan suami serta anak-anak sedang dalam perjalanan pulang sehabis membeli beberapa keperluan rumah.  Di jalan suami saya bercerita bahwa ada seorang temannya yang tinggal di luar kota akan ke Jakarta malam ini. Mereka rupanya sedang terlibat pembicaraan lewat sms. Suami saya menawarkan temannya itu agar menginap di rumah kami saja. Karena sedang menyetir, suami saya meminta tolong saya membalaskan smsnya. Ia yang menentukan isinya. Saya hanya mengetikkan kalimatnya. Sebelum dikirim, saya bacakan dulu kalimatnya, guna memastikan apakah redaksionalnya sudah /belum sesuai dengan apa yang dimaksudkan oleh suami saya. Kalau suami saya setuju, maka segera saya kirim. Jika  belum cocok, segera saya perbaiki dan bacakan ulang kembali.

Saat membacakan itu, anak saya yang kecil yang sedari tadi diam ikut menyimak pembicaraan kami tiba-tiba nyeletuk ” Ma, kayanya teman Papa pasti tahu kalau yang membalas sms itu bukan Papa deh. Karena gayanya lain kalau Mama yang menulis” kata anak saya. Oohh!?. “Mengapa begitu?” Tidak terpikirkan oleh saya sebelumnya. ” Kalau Mama yang menulis pasti gayanya panjang-panjang” katanya. O ya? Memang begitu ya? Saya takjub karena ternyata anak saya mengamati  gaya menulis saya. Ia juga bisa membedakannya dengan gaya menulis papanya yang menurutnya sangat beda. Pendek-pendek, singkat, padat dan jelas. “Apa? Siapa? Di mana? Ke mana? Kapan?“.

Loh? Memang tulisan Mama sering tidak jelas ya?” tanya saya khawatir. “Bukan tidak jelas, Ma. Malah sangat jelas. Terlalu jelas. Selain ada apa, siapa, kapan dan di mana, pasti selalu pakai tambahan penjelasan dan pendapat. Kenapa begini? Mengapa begitu? Karena begini… Yang ini aja, soalnya begini,  masalahnya begitu. Bagaimana? Oo.. begini aja ya caranya, biar nantinya begini hasilnya…” anak saya nyerocos terus dan membahas dengan panjang lebar kebiasaan saya menulis. Ha ha..saya tertawa.

Juga kalau marahin. Sama juga. Papa pasti marahinnya singkat, padat dan jelas. Kalau Mama biasanya tidak marah. Tapi ngasih tauin, tidak boleh begini begitu, dengan penjelasan kenapa dan mengapa lalu bagaimana, nye nye nye nye…” kata anak saya memberi indikasi kalau saya cerewet.  Dan ujung-ujungnya kembali ke pointnya dia tadi, bahwa teman papanya itu pasti bisa merasakan bahwa yang membalaskan sms itu tadi pasti orang lain dan bukan papanya sendiri. Karena menurutnya gaya bahasa kami sangat obvious memang berbeda.

Ketika saya tanyakan gaya bahasa mana yang lebih ia sukai, anak saya mengatakan tidak menyukai dua-duanya. Ia menyukai gaya bahasanya sendiri yang pas. Tahu kapan perlu singkat , kapan perlu panjang. Menurutnya pesan papanya terlalu singkat, sehingga membuat orang harus bertanya lagi  jika butuh penjelasan tambahan. Sedangkan saya, ia merasa kepanjangan “Kadang-kadang kan sudah tau reasonnya. Nggak perlu dijelasin lagi lah“. Saya hanya tertawa dan tidak berkomentar lagi.  Barangkali memang ada benarnya penilaian anak saya itu.

Anak saya yang besar membela saya dengan mengatakan betapa pentingnya melibatkan 5W+ 1 H (What, Who/Whom, Why, Where,  When + How) dalam setiap penjelasan. Semuanya menjadi jauh lebih jelas dan mudah dimengerti. Lalu seperti biasa kedua anak saya pun larut dalam perdebatan panjang mempertahankan pendapatnya masing-masing dan dengan gaya bahasanya masing-masing.

Seringkali kita tidak menyadari jika gaya bahasa kita ternyata unik dan berbeda dengan orang lain. Terbentuk oleh kebiasaan sehari-hari. Bermula dari cara kita bertanya atau menjawab sebuah pertanyaan orang lain, lalu berikutnya kita kembali menjawab dengan gaya yang sama,  yang akhirnya lama-lama menjadi sebuah kebiasaan yang bisa diingat oleh orang lain yang berinteraksi dengan kita sehari-hari. Demikian juga dengan saya. Barangkali karena waktu kecil saya bercita-cita menjadi seorang guru, saya memiliki kesenangan menjelaskan segala sesuatu dengan detail kepada orang lain. Terutama kepada anak-anak saya. Karena saya ingin anak-anak saya memahami akar setiap permasalahan yang ada, dan mendapatkan gambaran yang menyeluruh dan utuh dari sebuah kejadian dan bukan hanya sepotong-sepotong atau hanya sebatas di permukaannya saja. Dengan demikian,harapan saya kelak ia akan bisa mengambil keputusan yang tepat dan adil sesuai dengan konteks-nya dan bersikap lebih bijaksana dalam menanggapi setiap permasalahan yang ada.

Tetapi hari ini saya mendapatkan masukan yang sangat menarik dari anak saya tentang gaya bahasa itu yang ternyata bisa juga jadi membosankan karena kepanjangan dan sering diulang-ulang. Hmmm…menarik juga!. Barangkali saya perlu memikirkan ulang bagaimana sebaiknya saya menanggapi masukan dari anak saya dan melihat kemungkinan cara memperbaiki diri saya.

Bagaimanapun gaya bahasa kita, mau itu pendek, panjang, halus, kasar, sinis, sopan, jelas, tidak jelas, terstruktur, amburadul, ketus, ragu, dan sebagainya, akan ditangkap orang lain dan disimpan dalam memorinya.

Jadi sebaiknya memang kita perlu membentuk kebiasaan berbahasa yang baik untuk diri kita sendiri dan nyaman bagi orang lain.

 

Bunga Teratai Yang Kerdil.

Standard
Teratai kurang sehat

Teratai kurang sehat

Tak punya cukup waktu, belakangan ini saya tidak sempat mengurus tanaman kesayangan saya. Akibatnya banyak masalah terjadi seputar tanaman-tanaman itu. Mulai dari yang kurus kering kurang pupuk, yang layu kurang disiram, hingga serangan ulat-ulat dan belalang yang menggerogoti daun-daunnya. Saya masih tetap belum mampu menyediakan waktu yang cukup untuk mengurusinya.

Demikian juga yang terjadi pada tanaman Tunjung Biru (Teratai Biru) saya. Beberapa waktu sebelumnya tanaman ini kelihatan sangat kurus. Saya pikir populasinya berlebihan dalam satu pot yang sama. Ada banyak anakan teratai selain tanaman induknya. jadi mereka berebut zat hara. Saya berharap punya waktu lebih untuk memecahnya menjadi beberapa pot. Namun belum kesampaian juga niat saya.

Suatu pagi saya melihat tanaman ini mulai sedikit membesar. Namun tak berapa lama tiba-tiba seluruh tanaman ini kelihatan benar-benar menderita. Lumut tumbuh sangat berlebihan di lumpurnya. Dan ada bintik-bintik kecil- entah cendawan, entah binatang kecil tampak mengerumuni daun dan batangnya yang menyebabkan tumbuhan jadi teramat jelek dan sebagian bahkan kelihatan busuk. Saya sangat sedih dengan keadaannya. Tapi lagi-lagi saya kekurangan waktu untuk merawatnya. Kalau ada Undang-Undang tentang Perawatan Tanaman, barangkali saya sudah kena pasal berlapis, yakni Menelantarkan Tanaman dan Membiarkan Tanaman Diserang Hama Penyakit.

Pagi ini saya  temukan tanaman Teratai Biru saya berangsur-angsur pulih kembali. Daunnya menyehat dan membesar normal kembali. Hanya ada satu masalah. Yakni bunganya tumbuh kecil-kecil. Kerdil. Ah!.

Teratai kecil

Teratai kecil

Sekarang saya tahu penyebabnya. Rupanya karena melihat tanaman saya kurus kering terlantar, suami saya berinisiatif menaburkan pupuk urea ke dalam air di potnya. Sayang sekali  karena takarannya terlalu banyak, pemupukan itu bukan hanya membuat tanaman teratai tumbuh subur, namun lumut dan micro bio -life yang lainnya macam bakteri dan fungus juga ikut tumbuh subur. Saking suburnya, akhirnya ia menyerang tanaman teratai itu sendiri sehingga nyaris membusuk. Whoalaa…

Sangat menarik melihat kejadian ini. Sesuatu yang berlebihan terkadang membuat menderita juga.

Segala sesuatu di dunia ini ada takarannya. Obat ada takarannya. Bumbu ada takarannya. Pupuk juga ada takarannya. Semua harus disesuaikan dengan keadaan tanaman dan hal-hal lain di sekitarnya.  Berlebihan membuatnya malah terancam bahaya jamur dan bakteri pembusuk yang ikut subur. Demikian juga harta dan kekuasaan serta hawa nafsu. Masing-masing ada takarannya untuk kita miliki. Jika tidak memilikinya sama sekali, tentu akan membuat kita kesulitan dalam menjalani hidup. Namun tidak harus membuat kita memujanya juga.

Tidak memiliki keinginan sama sekali untuk mencari harta,  akan membuat kita tak mampu menghidupi diri sendiri dan keluarga yang kita sayangi. Sebaliknya jika keinginan kita terlalu berlebihan dalam mencari harta, jebakan dan  godaan untuk melakukan korupsi dan keinginan menguasai benda yang bukan milik kita juga bertebaran di mana-mana.   Jika tidak berhati-hati, bisa saja kita terjerumus ke dalamnya.  Berkelebihan juga  menumbuhkan rasa bangga,  keinginan untuk pamer dan merasa lebih dari orang lain, yang  jika tidak hati-hati  bisa jadi mendorong kita menjadi pribadi yang  sombong dan  congkak.

Sebentar lagi liburan akan datang. Saya akan mengambil cuti beberapa hari agar bisa tinggal di rumah bersama anak-anak. Dan berharap bisa meluangkan waktu untuk merawat tanaman Tunjung Biru ini kembali.

tunjung-biru-andani2

Nah ini adalah gambar bunga Teratai Biru milik saya jika ia sedang dalam keadaan sehat. Biasanya ia selalu tampil cantik dan segar setiap hari. Dirawat dengan baik dan dipupuk dengan takaran yang tepat. Tidak kurang dan tidak berlebih.