Monthly Archives: October 2021

SARWAÇĀSTRA.

Standard

Saya mendapatkan buku tua yang sangat menarik perhatian saya ini, berjudul “SARWAÇĀSTRA” Djilid I yang disusun oleh Ki Hadiwidjana R.D.S , seorang guru SMA di Jogja pada tahun 1956 (cetakan ke lima). Berarti sudah 65 tahun ya usianya tahun ini. Saya yakin, selain buku ini sudah kuno, juga keberadaannya pasti sudah sangat langka.

Sebenarnya adalah kitab pelajaran dan latihan Bahasa Jawa Kuno (Kawi) untuk SMA kelas 1. Berarti sebenarnya ada jilid II dan jilid III untuk kelas 2 dan kelas 3 yg tidak saya miliki. Saya coba search online barangkali ada yang menjual. Ternyata memang tak ada.

Yang sangat menarik , selain berisi tentang hukum singkat Bahasa Kawi, buku ini berisi petunjuk tentang huruf, sandhi, kata pengganti nama, kata penunjuk, kata tanya, kata ganti orang,sebutan, huruf sengau, contoh contoh kalimat, kata sambung, kata keterangan waktu, keterangan sebab akibat, kakawin dan beberapa contoh cerita dalam Bahasa Kawi untuk latihan.

Cerita-cerita di buku ini sangat menarik. Kebanyakan cerita yang pernah diceritakan Bapak semasa saya kecil, yang mengandung banyak pesan-pesan moral dan pesan kehidupan.

Contohnya adalah cerita “Cakrangga Mwang Durbuddhi”, kisah tentang kura-kura dan angsa yang berniat mengungsi dari telaga tempatnya berdiam selama ini, tetapi akhirnya mati akibat ia tak mampu mengendalikan emosinya.

Lalu ada juga cerita “Patapan” yang berkisah tentang Maharaja Duswanta. Kemudian ada kutipan serat “Pararaton” yang menceritakan riwayat Ken Arok.

Berikutnya ada sedikit cerita-cerita Tantri seperti Wre Mwang Manar (Kera dan Burung Manyar), Pejah Dening Sambeganira (Tewas Akibat Belas Kasihan) Tan Wruh Ing Nitiyoga ( Tak Tahu Akan Sikap Yang Layak), Gagak Mwang Sarpa, Pejah Dening Yuyu (Burung Gagak dan Ular Mati karena Kepiting), Pinakaguna Sang Prajna (Kebajikan Bagi Orang Pandai), Anemu Dukha (Mendapat Kecelakaan), Manuk Baka Mati Denikang Yuyu (Burung Bangau Mati Oleh Ketam).

Lalu ada kutipan cerita “Mandaragiri” dan “Nusa Jawa Ring Açitakala”, dari lontar “Tantu Panggelaran”. Dan yang terakhir adalah cerita Hidimbi yang dikutip dari Adi Parwa.

Wow. Buku ini sungguh keren sekali. Saya sangat senang membacanya dan sedikit sedikit menambah pengetahuan saya tentang Bahasa Jawa Kuno (Kawi). Bangga dan terharu.

Tetapi di sisi lain, hati saya juga terasa teriris. Sungguh sangat disayangkan Bahasa kuno milik bangsa kita ini akhirnya pelan-pelan tergeser oleh bahasa asing. Sedangkan Bahasa Kawi itu sendiri akhirnya menjadi Bahasa Asing di negerinya sendiri 😭😭😭

Mari cintai bahasa leluhur kita
Mari cintai literatur kuno kita.

Terimakasih kepada yang telah berkenan memberikan buku ini untuk saya baca.

Kisahku Dengan Suplir

Standard

Maiden Hair Fern.

Suplir (Adiantum sp), adalah salah satu pakis yang erat sekali hubungannya dengan masa lalu saya. Karena ini adalah salah satu tanaman hias favorit Bapak saya , yang semasa kecil menghiasi halaman dan ditanam berderet yg jika dihitung panjangnya mungkin lebih dari 20 meter.

Bisa dibilang halaman rumah masa kecil saya itu berpagar suplir. Hanya saja, jenis yang ditanam di halaman itu adalah dari jenis suplir yang tingginya sepinggang orang dewasa.

Mengingat di masa kecil saya diberi tugas membersihkan dan mengurus halaman sementara kakak-kakak saya yang lain mendapat bagian tugas lain. Ada yang mengurus kebersihan dalam rumah, ada yg ngurus dapur, dsb..

Maka saya termasuk yang sangat akrab dengan kehidupan suplir. Bagaimana membuat suplir agar bisa bertahan hidup, mencegah jangan layu atau bagaimana caranya memisahkan anakannya, dsb itu spt kerjaan saya sehari-hari di masa kecil.

Pernah suatu kali saat saya masih kuliah di Denpasar, saya jalan-jalan di tukang tanaman di daerah Renon, seorang sahabat saya ngasih ide dagang “De, di rumahmu kan ada banyak sekali tanaman suplir. Mengapa nggak tawarkan saja ke tukang tanaman hias ini?”. Naluri dagang sayapun bangkit.

Sayapun menyampaikan ide ini kepada keluarga saya. Walaupun awalnya ibu saya tidak setuju dan menganggap ide dagang tanaman hias itu tidak begitu menguntungkan dan mungkin kegedean ongkos ketimbang untungnya jika dibawa ke Denpasar (juga karena di keluarga saya belum ada pengalaman jualan tanaman), akhirnya beliau oke untuk saya coba buktikan.

Bapak saya mendukung ide saya dan mulai membantu memisah-misahkan rumpun suplir ke dalam poly bag. Woiii dapat 1 mobil bak terbuka. Banyaklah.

Kamipun (saya lupa, itu rasanya yang pergi saya dg kakak saya dan mungkin 1 orang adik saya) mulai menawar-nawarkan tanaman suplir itu ke tukang tanaman dengan membawa mobil bak terbuka milik bapak saya. Ternyata menawarkan barang dagangan tanaman itu tidak semudah yang saya pikirkan.

Pertama karena kebanyakan tukang tanaman yang di Renon saat itu bukanlah pemilik bisnis itu sendiri. Mereka hanya penjaga toko dan perawat tanaman saja. Jadi mereka tidak punya wewenang untuk mengambil keputusan membeli barang yang saya tawarkan. Semua itu urusan boss.

Faktor kedua, adalah karena sebagian dari mereka juga sudah punya koleksi supplir dan sudah punya pemasok langganan. Jadi mereka tidak mau mengambil juga.

Kalaupun ada yang mau, mereka inginnya bukan beli putus. Tapi konsinyasi alias titip jual. Hanya jika ada yg laku saja mereka akan bayar ke kita secara berkala.

Akhirnya setelah capek menawarkan ke sana ke mari dan tak ada yg mau beli putus, akhirnya saya menyerah pada dagang yang terakhir yang saya kunjungi untuk menitip jual saja tanaman-tanaman supplir ini. Daripada layu atau dibawa balik pulang ke Bangli .

Seminggunya kemudian (harusnya sebulan sih tapi ini saking semangatnya😆), dengan naik motor kami coba check ke tukang tanaman itu, barangkali sudah ada tanaman suplir kami yang laku. Ternyata yg laku cuma satu. Kecewa. Selain itu pembayarannya juga nanti setalah genap sebulan. Baiklah.

Minggu berikutnya kami tengok lagi. Rasanya yang laku waktu itu ada 3. Tapi 3 dari sekian banyaknya pohon yang kami pasok hingga penuh 1 mobil bak terbuka tentu artinya dikit banget ya. Kurang laku itu artinya.

Minggu berikutnya kami tidak tengok. Karena malu sama tukang tanamannya. Nengok mulu 😀.

Akhirnya karena kesibukan di kampus, setelah lewat sebulan, barulah saya datang lagi menengok. Astaga!!!. Alangkah terkejutnya saya. Ternyata toko itu sudah kosong. Tidak ada tanaman hias lagi di situ. Pemilik dan penjaganya serta seluruh tanaman hiasnya sudah tidak ada sama sekali. Hanya lahan kosong. Mereka raib.
O o🙄🙄🙄.

Setelah tanya-tanya ke tetangganya, saya diberi informasi bahwa toko tanaman hias itu memang sudah tutup karena contractnya sudah habis. Dan mereka tidak bisa perpanjang lagi karena memang tokonya kurang laku. Pemilik dan penjaganya sudah pulang kampung minggu lalu karena mereka di sini pendatang. Dan tidak ada yang tahu alamatnya ataupun nomer telpon yang bisa dihubungi. Lho, kok nggak ngomong-ngomong ke kami?

Pahittttt 😫😫😫.

Ibu saya hanya tertawa tahu kejadian itu dan Bapak saya ikhlas telah kehilangan sebagian tanaman suplir yang sangat dicintainya itu.

Ha ha..itulah pengalaman pertama saya mencoba berdagang. Jangan ditiru !!!.

Sekarang saya jadi kangen kembali dengan tanaman suplir. Bukan saja karena tanaman membawa kembali ingatan saya pada orang tua dan masa kecil saya, tetapi memang daun suplir ini sungguh cantik sih.

Tetap cinta supplir 😍🤩😍