Category Archives: Book

PENDOA YANG LUPA NAMA TUHANNYA.

Standard
Buku “Pendoa Yang Lupa Nama Tuhannya” karya Nuyang Jaimee

Peluncuran Buku Antologi Puisi tunggal ” Pendoa Yang Lupa Nama Tuhannya” – karya Nuyang Jaime, di PDS HB Jassin, Taman Ismail Marzuki, Jakarta tgl 1 Desember 2023.

Nuyang Jaime dalam peluncuran buku antologi puisinya “,Pendoa Yang Lupa Nama Tuhannya”.

Mungkin ini adalah peluncuran buku yang sangat emosional yang pernah saya hadiri. Diluncurkan oleh seorang perempuan perkasa yang tabah dan pemberani. Walaupun pada faktanya peluncuran buku ini diwarnai dengan banjir airmata dan isak tangis, namun semua yang hadir di acara itu tentunya tahu bahwa itu bukanlah sebuah bentuk kecengengan. Tangisan itu adalah sebuah bentuk keharuan dari sebuah perlawanan yang tak kenal menyerah.

Secara pribadi saya baru mengenal Mbak Nuyang kurang lebih dua tahun. Itupun karena sempat kontak lewat telepon dan bertemu beberapa kali di acara-acara PDS HB Jassin. Namun dengan membaca karya-karyanya, mendengarkan pemaparannya dan juga komentar para narasumber serta kawan-kawan penulis yang lain yang ada di situ, dengan cepat saya merasa lebih mengenal dan memahami Mbak Nuyang dengan lebih baik.

Seperti yang saya pahami, penulis dengan karakter yang kuat akan selalu menghasilkan karya-karya yang berkarakter kuat.

Seperti keterangannya sendiri, puisi-puisi dalam buku ” Pendoa Yang Lupa Nama Tuhannya” , sebagian besar lahir dari pergulatannya bersama rekan-rekan seperjuangannya di komunitas gerakan #save TIM . Ia menegaskan perlawanannya yang ogah dibungkam. Inilah pekik mematikan dari Cikini Raya !

Lalu jika kita simak puisinya yang berjudul ‘Para Penggilas Kemanusiaan’, hati kita jadi terkejut-kejut membacanya. Membacanya sambil menyadari bahwa ternyata ada orang yang perhatian dan berani mengangkat isue -issue ini yang mungkin ada di banyak benak pikiran orang lain yang hanya berani berpikir namun terlalu pengecut untuk mencetuskannya. Siapa berhak membangun kerajaan ? Siapa berhak tentukan kebenaran? Siapa berhak mengkafirkan umat? Siapa berhak mengatur Tuhan ? Pertanyaan-peryanyaan yang dilemparkan bagi kita pembacanya untuk merenung, berpikir dan jujur terhadap hati nurani kita. Sungguh ia seorang yang sangat pemberani.

Di akhir acara, ia juga membawakan puisinya sendiri yang berjudul ” Rempang, Tanah Melayu” – yang diciptakan dari konflik agraria yang sempat mencuat di pulau Rempang dimana warganya melakukan penolakan untuk direlokasi demi pembangunan Rempang Eko-City. Puisi yang sangat menarik.

Sebagai pribadi, Mbak Nuyang luar biasa. Sangat disayangi teman-temannya. Di acara peluncuran bukunya, ia menerima beberapa buket bunga ucapan selamat, dan saya juga menyaksikan beberapa rekan berjibaku ikut mensukseskan acara ini. Tidak kurang dari Mbak Shantined dan Pak Nanang Ribut Supriyatin ikut menjadi MC, Iyus kromatik menyanyikan puisi, Jack Al-Ghozali, Yogi S Karmas, Guntoro Sulung II membacakan puisi dg cara yang unik . Pembahasan tentang Mbak Nuyang dan karyanya ini dilakukan oleh Prof Dr Wahyu Wibowo dan Pak Tatan Daniel drngan dimoderatori oleh Mbak Rita Sri Hastuti.

Satu hal lagi yang patut saya acungi jempol dari Mbak Nuyang Jaimee ini adalah persiapan peluncuran bukunya sendiri yang beliau tangani sendiri. Mengumumkan rencana peluncurannya, menyiapkan pre-order, mempersiapkan eventnya, meng-create awarenesss di kalangan target pembacanya, mengumpulkan endorser dan sebagainya.

Seorang Event Organizer yang mengorganisir eventnya sendiri. Salut dan angkat topi.

Sukses selalu untuk Mbak Nuyang Jaime.

Buku : Sekuntum Puisi Untuk Petani.

Standard
Ni Made Sri Andani & buku antologi Sekuntum Puisi untuk Petani

Saya menerima buku Antologi “Sekuntum Puisi Untuk Petani”, yang memuat karya-karya 52 penyair Nusantara bekerjasama dengan Komunitas Kembang Rampai Bali dengan thema Petani.

Beberapa diantara penulis itu ada yang saya kenal walaupun hanya di dunia maya ataupun dari group sosmed seperti misalnya Gimien Artekjursi , Ngakan Made Kasub Sidan , Made Sugianto , Sarjana Dewa Nyoman, Puce Kristina, dan beberapa yg lainnya . Buku ini diterbitkan oleh Pustaka Ekspresi.

Saya menyukai buku Antologi puisi dengan tema petani ini, karena menurut saya dengan membaca puisi-puisi di buku ini saya jadi mendapat banyak sekali pengalaman mendalam tentang kehidupan dan perjuangan petani melalui kumpulan karya-karya penyair.

Sekuntum Puisi Untuk Petani

Bagi pembaca, buku ini memberikan wawasan unik tentang realitas petani yang mungkin terabaikan, juga meningkatkan empati, dan menginspirasi rasa kebersamaan.

Buku antologi seperti ini menurut saya juga sangat bagus bagi para penyairnya, karena menciptakan puisi dalam konteks ini dapat memperluas cakrawala kreativitas para penulis itu sendiri, merayakan kehidupan sehari-hari, serta memberikan panggung bagi suara mereka untuk didengar secara kolektif.

Dan tentu saja membawa kegembiraan bagi diri saya sendiri, karena 2 buah puisi saya yang berjudul “PETANI KOTA” dan “LADANG SAYUR DI PAGI HARI” dimuat di buku antologi puisi ini.

Terimakasih untuk Komunitas Kembang Rampai Bali 🙏🙏🙏

PENARIKumpulan CerpenKarya I Dewa Nyoman Sarjana (Sarjana Dewa Nyoman ).

Standard

Sehabis olah raga dan sarapan pagi, saya meluangkan waktu untuk membaca sebuah buku Kumpulan Cerpen berjudul “Penari” karya sahabat saya, Dewa Nyoman Sarjana.

Buku ini berisi 13 buah cerita pendek yang menarik, dimana beberapa diantaranya sempat saya baca naskahnya sebelum saya membacanya dari buku ini.

Judul buku “PENARI” rupanya diambil dari cerita ke tiga di buku ini mengisahkan tentang seorang penari muda yang “melik” – yang artinya secara turun temurun memang ditunjuk menjadi pengayah di sebuah pura.

Pengayah =orang yang menyumbangkan tenaganya untuk meladeni masyarakat / umat ataupun kesuksesan upacara di pura. Misalnya dengan menjadi pemangku/pemimpin persembahyangan, atau membersihkan halaman pura, menjadi penari, tukang gamelan dan sebagainya.

Konflik bathin muncul, ketika sang penari ini diduga mengalami kerauhan (trance) sehingga ia menari begitu bersemangat hingga tak sadarkan diri jika ia mengalami trance, sementara pacarnya yang melihat kejadian ini mulai ragu. Apa yang akan terjadi ke depannya jika ia melanjutkan hubungannya dengan penari yang “melik” seperti ini? Merekapun sepakat menghadap Jro Mangku Dalem untuk mencari tahu dan meminta arahan.

Pemangku Pura pun memberi arahan bahwa mereka tetap saja boleh melanjutkan hubungan, namun diminta agar tetap menjaga kesucian hingga saat menikah resmi tiba.

Cerita pertama yang berjudul “PURA SUBAK” sangat menarik menurut saya. Mengambil thema tentang maraknya pembangunan perumahan yang mengorbankan areal persawahan dan yang pada akhirnya melenyapkan Subak. Sangat pilu bagaimana menyimak calo tanah yang pada akhirnya memenangkan pertarungan antara pelestari Subak versus pengusaha perumahan.

Cerita lain yang menarik hati saya adalah “SAYONG DI KINTAMANI” -karena mengambil latar kejadian bukit longsor di jalan menuju desa Songan, Kintamani. Walau cerita ini sedih, tentang seorang perempuan yang kena musibah ditinggal mati ibu dan anaknya akibat longsor ini, hingga tinggallah ia sendirian, tetapi karena latar lokasinya menyebut desa Songan, dimana desa Songan adalah kampung halaman saya, tentu saja cerpen ini jadi sangat menarik buat saya.

Tentunya masih ada banyak lagi cerita-cerita pendek lainnya yang menarik di buku ini.

Secara umum DN Sarjana banyak mengambil thema lokal dalam karya-karyanya dan tentunya banyak juga memasukkan istilah-istilah bahasa lokal yang tentunya sangat menarik bagi pembaca yang ingin memahami Bali dengan lebih jauh dari sekedar melancong di kawasan wisata saja. Unsur konflik bathin tentang adat dan situasi dalam masyarakat, tercermin misalnya dalam cerpen : Kakek Takut Mati, Setelah Pawai Ogoh-Ogoh, Pura Subak, Penari, Takdir.

Sukses selalu untuk sahabat Dewa Nyoman Sarjana.

MENGAPA BULAN.

Standard

Puisi karya Ni Made Sri Andani.

Mengapa bulan diletakkan di sana
Di langit malam yang kadang terang
Kadang gelap tertutup mendung dan awan
Menggantung ia bagai bola indah
Menebar cahaya nan rupawan

Mengapa matahari diletakkan di situ
Di langit siang yang berwarna biru
Terkadang merah dan jingga menyatu
Mencipta pelangi mejaku hibingu
Bergerak ia ke barat dari arah timur

Agar senantiasa kita ingat
Mendongak dan menatap langit
Menyapa bintang-bintang dan planet
Menyalami galaxy dan debu antar bintang
Menabik materi dan lubang hitam

Agar senantiasa kita sadar
Ada bermilyard-milyard kehidupan
Di kedalaman semesta
Nan jauh tak berbatas
Kita tak sendirian di jagat raya ini

Bintaro, 10 November 2022.

Puisi ini dimuat di buku “LARUNG SASTRA” Jilid 2, Antologi Puisi terbitan Teras Budaya Jakarta.

Puisi “MENGAPA BULAN” saya tuliskan, terinspirasi dari sebuah renungan malam dan melihat ‘James Webb Space Images’ yang indah dan intriguing.

Dibacakan oleh sahabat Moktavianus Masheka , dalam acara ngobrolin buku ” Resep Rahasia Cinta” bulan Maret yang lalu di PDS HB Jasin, Taman Ismail Marzuki, Jakarta.

BUKU: LARUNG SASTRA JILID 2.

Standard

LARUNG SASTRA.
Antologi Puisi jilid 2.
Dapur Sastra Jakarta 2022-2023.

Saya senang, ada 3 buah puisi saya dimuat di buku yang merupakan antologi bersama dengan penulis-penulis lainnya di sini, seperti Nanang Ribut Supriyatin , Ndari Soedibyo , Ngakan Made Kasub Sidan , Nuyang Jaimee, Moktavianus Masheka, Rd Nanoe Anka, Rekyan Setiati, Remmy Novaris DM, Rini Intama , Sugeng Joko Utomo , Sunu Wasono, Wig S M , Yahya Andi Saputra , Zairinah Simbolon , dll. Banyak banget. Padahal ini jilid 2 lho 😀

Cover buku yang berwarna biru terang ini terlihat sangat cantik, dengan tulisan kata “LARUNG” yang merah menyala dan kata “Sastra” berwarna kuning cerah, membuat judul ” Larung Sastra” terlihat sangat outstanding. Jelas, simple dengan branding yang sangat kuat. Siapapun yang mendesign sampul ini sangat patut saya acungi jempol banyak-banyak 👍👍👍👍👍.

Sebelum mulai membaca isinya, tentu saya tertarik dengan Kata Pengantar yang ditulis oleh Romo Marthin terlebih dahulu. Menyimak kalimat demi kalimat yang beliau tuliskan. Mulai dari soal kemudahan berekspresi jaman sekarang vs di masa lalu, dimana sekarang penerbitan karya-karya menjadi sangat mudah, sementara jaman dulu penerbitan dan percetakan hanya dikuasai pihak tertentu, lalu merambah soal makna “LARUNG” yang dikaitkan dengan thema atau judul dari Antologi ini, dan juga tentang bagaimana pandemi telah memporak-porandakan banyak sektor, termasuk industri penerbitan. Namun, di akhir 2022 dan memasuki 2023, Dapur Sastra Jakarta , yang tentunya tak lepas dari peranan Pak Remmy Novaris, kembali bangkit dan berkiprah bukan hanya sebagai penerbit namun juga sebagai pengayom sastra, pembimbing dan pendorong para penulis untuk mempublikasikan karya-karyanya.

Saya sendiri juga sangat tertarik dengan judul “Larung Sastra” dimana saya menginterpretasikannya sendiri sebagai sebuah kebebasan berekspresi dan melepaskannya ke ruang publik yang maha luas. Barangkali interpretasi saya ini dipengaruhi oleh latar belakang saya yang tumbuh dewasa di Bali, di mana kata “larung” paling umum dipakai untuk upacara kegiatan melepas sesuatu ke lautan luas (misalnya banten, abu pembakaran, dsb) dan membiarkannya hanyut ataupun terdampar di manapun alam menghendakinya.

Jadi ketika kata “Larung” disandingkan dengan kata”Sastra” memberi saya impresi tentang kebebasan menuangkan dan menghanyutkan segala ekspresi sastra ke ruang publik yang maha luas. Ekpresi yang bebas tanpa batasan thema yang diarahkan .

Ya. Kali ini, Antologi DSj tanpa thema yang dibatasi ataupun diarahkan. Saya lihat, puisi-puisi yang dimuat di buku ini rupanya memang sangat beragam themanya, tentang cinta, tentang ibu, tentang Gang becek, tentang seniman, dan sebagainya. Benar-benar bebas di alam lepas.

Ada 3 puisi saya yang dimuat di buku ini, yakni 1. MENGAPA BULAN. 2. KESEPIAN. Dan 3 PRIVACY. Dan tentu saja, ketiganya tidak terikat pada kesatuan thema. Hanya melarung isi pikiran ke alam lepas.

Salam sastra !

MENGUAK ISI “RAHASIA CINTA” NI MADE SRI ANDANI: Sunu Wasono

Standard

Tulisan : Sunu Wasono

Di era ini segala sesuatu dapat diabadikan oleh atau lewat teknologi komunikasi yang canggih. Dengan telepon seluler isi kehidupan seakan-akan dapat diliput. Dengan benda budaya itu, semua yang terjadi di jagat raya ini dapat direkam, diolah, atau dikemas sedemikian rupa dan dihidangkan kembali dalam bentuk atau wujud yang bermacam-macam: foto (gambar), suara (nyanyian, pembacaan), film, drama, puisi, cerita, catatan, dll. Di tangan orang yang peka dan kreatif, fenomena tertentu (gaya hidup, tren, rasa cinta dan cemburu), peristiwa alam, kejadian sehari-hari, bahkan juga kejahatan, dapat dijadikan bahan pemikiran, renungan, dan sumber inspirasi untuk berkarya. Buku ini adalah salah satu contoh atau wujud dari kreativitas orang semacam itu. Lima puluh kisah yang terhimpun dalam buku ini—seperti kata penulisnya—adalah “kumpulan tulisan tentang kejadian sehari-hari yang menarik, menginspirasi, atau memberi pelajaran maupun renungan dalam menjalani kehidupan.”

Harus buru-buru ditegaskan bahwa sekalipun pada judulnya tertera kata “cerita”, tulisan yang terhimpun dalam buku ini bukan fiksi. Penulisnya tidak berkehendak menyajikan “karangan” dalam arti ‘buah khayal (semata-mata) yang diwujudkan dalam bentuk tulisan’. Semua yang tersaji dalam buku ini dipetik dari pengalaman nyata penulisnya. Jadi, yang tersaji dalam buku ini adalah kisah yang diangkat dari hasil pengamatan dan pengalaman nyata yang direkam penulisnya. Tentu saja tidak semua yang dijumpai di jalan diangkat menjadi tulisan. Hanya kejadian yang berkesan yang diangkat ke dalam tulisan.

Penulis buku ini adalah sosok yang tidak membiarkan pengalaman yang berkesan berlalu begitu saja. Sebagai seorang yang peka terhadap keadaan, ia menyempatkan diri untuk mencatatnya, lalu “mengolahnya” dan menyampaikannya untuk pembaca. Dalam mengolah, ia tidak berlagak menjadi orang yang serbatahu dan bijaksana, lalu dengan kebijaksanaan yang dimiliki pengalaman dan pengetahuannya dituangkan untuk pembaca. Ia membeberkan saja apa yang diketahui dan dialami, lalu memolesnya dengan komentar sebagai bagian dari sikapnya terhadap sesuatu yang dialami. Kalaupun dalam komentar itu ada nada yang terkesan menasihati atau menggurui, cara penyampaiannya tetap terkontrol, tidak menimbulkan kesan bahwa dirinya adalah sosok yang paling tahu mengenai berbagai hal. Dalam “Cinta dan Cemburu”, misalnya, ia membahas perbedaan cinta dan cemburu. Pada tulisan itu ditemukan tips bagaimana menyikapi cinta dan cemburu. Dari cara penyampaiannya jelas terlihat bahwa penulis tidak sedang memberi petuah terhadap orang yang tidak tahu apa-apa tentang cinta dan cemburu. Ia hanya berusaha membuka ruang dan kesadaran pembaca tentang hubungan dan perbedaan antara cinta dan cemburu. Untuk itu, ia menghadirkan semacam “opini” yang nadanya terbuka bagi kemungkinan munculnya pendapat lain. Ia tidak mendesakkan pandangan/pendapatnya sendiri kepada pembaca.

Satu hal yang perlu dicatat, komentar yang muncul dari berbagai “persoalan” yang digulirkan atau cacatan terhadap kisah yang dialami tidak membunuh pesan dari kejadian yang diabadikannya. Penulis berlaku sebagai perekam dan tidak mengambil alih apa yang direkamnya menjadi sekadar alat atau kendaraan untuk memamerkan pengetahuannya. Adakalanya dalam mengusung fenomena tertentu, misalnya tentang perayaan hari valentine, Made Sri Andani hanya bertindak sebagai pelapor dan peramu pernyataan/cerita dari sejumlah orang (teman/handai taulannya). Setelah menyampaikan sejumlah cerita/pengalaman sejumlah orang, ia menutupnya dengan satu pernyataan pengalaman tentang dirinya yang berbeda dengan cerita orang lain. Namun, dalam pernyataan itu tak ada kecaman, nyinyiran, atau kata-kata lain dari dirinya yang bernada sinis. Di sini terlihat bahwa penulis menampilkan diri sebagai sosok yang rendah hati, bijak, dan toleran terhadap orang lain yang berbeda dengan dirinya terkait dengan gaya hidup tertentu—dalam hal ini kebiasaan merayakan Hari Valentine.

Dalam cerita lain, kesan di atas juga terlihat. Terkait dengan cerita yang diangkat dari kejadian/pengalaman nyata tertentu, pembaca diberi ruang dan kesempatan untuk menangkap sendiri kisah yang disajikan penulis. Kalaupun ada komentar penulis, fungsinya tidak menggurui pembaca. Penulis juga tidak menjadi juru bicara tokoh-tokoh atau orang-orang yang disebut dalam kisahnya. Penulis “hanya” seorang pencatat, perekam, dan penyimpul dari suatu kejadian atau fenomena yang disaksikan atau dialami. Posisi dan peran seperti itu dapat dilihat, antara lain, pada kutipan berikut.

“Hal menarik yang saya pelajari dari kejadian ini adalah, bahwa ketidaksukaan terhadap sesuatu sebenarnya bisa ditoleransi dan dikurangi. Terutama jika kita berusaha mencari dan menemukan sisi baik dari hal yang kita tidak sukai itu. Misalnya kita tidak menyukai seseorang. Jika kita hanya melihat hal-hal buruk dari orang tersebut, maka kita pun tidak akan pernah menyukainya. Setiap hari ada saja yang kita lihat salah atau tidak menyenangkan dalam dirinya. Namun jika kita berusaha untuk melihat hal–hal baik dalam dirinya, mungkin berikutnya kita bisa menemukan lebih banyak lagi hal-hal baik lain yang menyebabkan kita berpikir bahwa teman kita itu sebenarnya nggak jelek-jelek banget. Dan lama-lama, mungkin kita bisa melihat bahwa ia pun sebenarnya sama dengan teman yang lainnya atau bahkan dengan diri kita sendiri yang tak luput memiliki sisi baik dan buruk.”

Kutipan di atas dipetik dari “La Kitty” yang berkisah tentang seekor kucing liar. Dengan kepiawaiannya menata cerita, penulis dapat menyampaikan renungan yang bijak tentang perasaan suka dan tak suka kepada orang lain. Melaui cerita tentang kucing liar, pembaca diajak masuk ke persoalan hubungan antarteman yang kadang-kadang diwarnai oleh ketegangan akibat rasa suka tak suka. “La Kitty” hanya kisah tentang kucing, tetapi melalui kisah itu persoalan lain bisa masuk ke dalam topik pembicaraan. Masuknya terasa wajar, tidak dipaksakan.

Kalau ditelisik keseluruhan tulisan yang terhimpun dalam buku ini, niscaya ditemukan banyak hal yang menarik, mulai dari cerita “biasa” yang sekadar cerita—tentu saja tetap ada isi/pesannya—cerita yang mengandung opini, hingga cerita yang berupa renungan atas suatu hal, fenomena, atau kejadian tetentu. Cerita tentang laptop, “Laptopku Belahan Jiwaku,” misalnya, bagi saya, tidak sekadar menghibur, tetapi juga menyodorkan sesuatu yang bisa menjadi bahan pemikiran. Kisah tentang laptop itu—mungkin bisa jiuga disebut anekdot—ditutup dengan paragraf begini: “Perubahan adalah sebuah keniscayaan. Walaupun kita terlalu malas untuk mengikuti perubahan, rupanya selalu ada mekanisme alam yang mendorong kita terpaksa melakukan pembaharuan.” Bagi saya, pernyataan itu merupakan kesimpulan sekaligus tesis yang terbuka untuk digali lebih jauh.

Cerita lain yang diangkat dari pengalaman konkret, seperti kebiasaan memijit anak (“Memijat Anak Mengasah Naluri Ibu”) atau tentang patung blonyo (“Blonyo yang Ksespian”) tampak sebagai cerita biasa, tetapi bisa manautkan pikiran kita ke persoalan hakiki mengenai hubungan batin antara ibu dan anak serta persoalan minteri kehidupan manusia, khususnya yang terkait dengan jodoh, yang dilapisi perlambang-perlambang.

Satu cerita lagi, “Tumbuh di Tempat yang Salah” dapat ditampilkan sebagai contoh yang menunjukkan betapa cerita yang dihimpun dalam buku ini bergizi. Cerita tersebut “hanya” berkisah tentang biji labu yang ditanam di sebuah pot untuk jenis tanaman adenimum. Semula pencerita menananamnya hanya untuk mengetes apakah biji labu itu masih bisa tumbuh atau tidak. Ternyata bisa. Muncul masalah ketika biji itu menjelma tanaman yang subur. Masalahnya ia tumbuh di pot yang kalau sudah mulai merambat akan mengganggu adenium yang menjadi kesayangan suami. Lewat cerita itu Ni Made Sri Andani mencoba masuk ke persoalan lain: memilih pekerjaan dan memilih pasangan. Ia menciptakan analogi untuk menjelaskan pentingnya orang berpikir masak-masak sebelum bertindak. Melalui kisah biji labu, Ni Made dapat menjelaskan dengan baik dan masuk akal tentang memilih pekerjaan dan memilih pasangan.

Terlepas dari kesalahan-kesalahan kecil, khususnya terkait dengan salah tik (liar ditik lair) dan ejaan, jaman (seharusnya zaman), sexsual (seharusnya seksual), emotional (seharusnya emosional), kurang tanda koma setelah muncul penghubung antarkalimat di awal kalimat atau sebelum petikan (dialog), tak perlu ada titik setelah tanda tanya, atau ada kalimat yang harus diluruskan: “Padahal selama ini, halaman belakang rumah kami cukup rajin dikunjungi tikus liar, karena berada di tepi sungai”—yang rajin halaman belakang atau tikusnya—dll., misalnya, membaca Resep Rahasia Cinta rasanya seperti makan buah durian yang manis, pulen, wangi, dan lezat. Sekali makan enggan berhenti. Ketika harus berhenti karena sudah kenyang, sisanya tetap disimpan untuk dimakan dan dihabiskan dalam kesempatan kemudian.

Semua cerita yang tertoreh di buku ini—sesepele apa pun yang disajikan—rasanya penting untuk disimak. Apa yang dalam hidup keseharian seakaan tidak layak untuk diperhatikan di tangan penulis buku ini, Ni Made Sri Andani, menjadi perlu disimak, dihayati, direnungkan, dan diambil hikmahnya.

Tanpa bermaksud melayangkan pujian berlebihan terhadap penulis buku ini, apa yang tersaji dalam buku ini memang inspiratif. Isinya menggugah kesadaran akan pentingnya memperhatikan hal-hal “kecil”, “sepele”, yang dalam kehidupan keseharian (ter)lewat begitu saja. Isi yang inspiratif itu ditopang oleh cara penyajiannya yang renyah, memikat, dan mengalir. Dalam ungkapan bahasa yang formal, cara penyajian keseluruhan cerita dalam buku ini komunikatif, kreatif, dan efektif.

Pondok Rajeg, 18 Maret 2023.

MONOLOG “SEEKOR AYAM JAGO BERNAMA LUCKY”

Standard

Monolog oleh Dema Soetego feat Rias.

Salah satu kejutan indah yang ditampilkan oleh teman-teman sesama penulis penggemar sastra di PDS HB Jassin kemarin saat acara ngobrolin buku 50 Cerita Inspiratif “Resep Rahasia Cinta” adalah sebuah Monolog  yang dibawakan oleh sahabat Dema Soetego dan didukung oleh Rias.

Awalnya saya tak paham saat Rias muncul ke panggung dengan diiringi lagu dolanan jawa “aku nduwe pithik” dan membawa mainan ayam jago. Tak paham bahwa mereka akan membawakan monolog dari salah satu tulisan saya di buku Resep Rahasia Cinta itu  yang berjudul ” Seekor Ayam Jago Bernama Lucky”.

Saya mulai sadar, ketika terdengar rekaman suara sahabat Dema Soetego mengudara . Ooh.. beliau sedang membacakan salah satu tulisan saya tentang persahabatan antara Winda dengan Lucky, ayam jagonya.

Lalu saya melihat Mbak Dema mulai memasuki panggung  mengikuti alur kejadian yang saya tuliskan di kisah itu. Wow luarbiasa!!!

Di sini saya melihat bahwa  Mbak Dema menangkap dan melakoni kembali ide-ide dan pikiran di tulisan Ayam Jago itu serta membroadcast intisarinya ke hadapan publik dalam bentuk monolog dengan sangat baik.

Mbak Dema meng-hi-light dengan sangat kuat message yang ingin saya sampaikan bahwa Persahabatan adalah hal terindah yang bisa dijalin manusia dengan mahluk hidup lain di sekitarnya, tanpa harus dibatasi oleh perbedaan suku, agama, bangsa, bahkan dengan hewan peliharaan kita.

Menurut saya, penampilan ini sangat luarbiasa. Bukan saja penghayatan dan komimentnya terhadap content, juga penampilan panggung dan keseriusannya dalam penggarapan serta kepenyertaan Rias  serta mainan ayam jagonya.  Semuanya membuat saya ‘surprise’ dan terharu.

Selain itu, monolog  ini juga  membuka mata saya  bahwa ternyata karya-karya tulis itu bisa diadaptasi dan dikembangkan kembali dalam berbagai bentuk media dan seni pertunjukan seperti ke dalam film /pelayar putihan / ekranasi  oleh sutradara Rudi Rukman , pembacaan prosa/puisi di panggung yang dilakukan oleh Mbak Fanny Jonathans , Mbak Rini Intama , Pak Imam Ma’arif , Bang Moktavianus Masheka , drama, video youtube seperti yang baru-baru ini dilakukan oleh sahabat Herlina Syarifudin  dan sejarang ini dalam ventuk monolog dari sahabat Mbak Dema Soetego.

Sungguh bentuk-bentuk adaptasi yang kaya. Terimakasih Mbak Dema. 

Ngobrol Buku “Resep Rahasia Cinta”.

Standard

Dari acara Ngobrolin Buku “Resep Rahasia Cinta” di Gedung Kompas, Jl Jayagiri 3 Renon- Denpasar, Bali.

Dihadiri beberapa teman penulis, sahabat, mahasiswa dan pelajar, acara ini dimotori oleh Bali Mangsi Foundation yang dikomandani oleh sahabat Gde Hariwangsa , pengantar acara Budi dan moderator Maria Ekaristi.

Acara ini diawali dengan sambutan Cok Yudistira dari Kompas,  dilanjutkan dengan pemutaran film “Resep Rahasia Cinta” yang dikembangkan dari salah satu cerita di buku ini,  disutradarai oleh Rudi Rukman

Pembahasan tentang isi buku tidak terlalu banyak. Audience lebih tertarik untuk mendiskusikan proses penerjemahan tulisan ke bentuk media lain seperti media audio visual, soal target audience, soal, proses editing, dll.

Sutradara Rudi Rukman bercerita tentang bagaimana ia mulai menggunakan cerita-cerita yang ada di buku “100 Cerita Inspiratif” dan ” 50 Cerita Inspiratif- Resep Rahasia Cinta” dan mengembangkannya ke dalam bentuk film. Step pertama tentu dengan cara mengadaptasi tulisan asli ke dalam bentuk Naskah Film yang ia pecah menjadi scene demi scene sesuai dengan durasi yang diinginkan. Saat ini ia bekerjasama dengan pihak Genflix dan sebuah Station TV Swasta untuk penayangannya.

Ia juga menceritakan strategynya agar bisa terus produktif dengan cara memproduksi low budget film dengan memanfaatkan sponsor-sponsor atau pihak usaha yang bisa diajak bekerjasama.

Pembicara Tamu, Agung Bawantara, penulis, pembuat film dan penggagas Denpasar Film Festifal,  memberikan pencerahan kepada audience, bahwa dari bentuk tulisan ini sebenarnya banyak peluang penterjemahan ke dalam bentuk media lain seperti Film seperti yang dilakukan oleh Sutradara Rudi Rukman,  bisa juga dalam bentuk cut video pendek, atau reels  yang bisa ditayangkan di Facebook, atau Tik Tok, dan jika kita hanya mengambil audionya saja, bisa dijadikan materi untuk radio,  atau juga bentuk pembacaan yang juga bisa ditayangkan di Youtube.

Dengan berkembangnya teknologi, sebagai penulis, sebetulnya kita bisa memanfaatkan berbagai bentuk media untuk menyalurkan ide-ide dan kreatifitas kita. Peluang bagi setiap penulis untuk mendiversifikasi karya-karyanya ke dalam multi media.

Potensi Untuk Bali.
Agung juga melihat potensi Bali sebagai sentra produksi perfilman, tentunya dengan perbaikan sarana prasarana agar memadai.

Mendengar ini, Rudi Rukman menambahkan bahwa ia juga melihat peluang usaha penyedia talent di Bali, mengingat pengalamannya sendiri yang sering kesulitan dalam mendapatkan talent yang sesuai ketika shooting di Bali.

Pro – Kontra
Diskusi semakin menarik, ketika penulis Gm Sukawidana menyampaikan pendapatnya bahwa ia lebih menyukai Resep Rahasia Cinta ini tetap dalam bentuk tulisan, sehingga memungkinkannya sebagai pembaca untuk tetap “berimajinasi liar” tanpa frame.  Ketika tulisan ini diterjemahkan ke dalam bentuk film, ia merasa telah terlalu banyak menyimpang, sehingga kehilangan keasliannya.

Rudi Rukman, sang sutradara menanggapi, bahwa ia membutuhkan beberapa pengembangan untuk menyesuaikan kebutuhan penonton filmnya.

Saya sendiri mengakui bahwa tidaklah mudah menterjemahkan sebuah tulisan ke dalam bentuk platform media lain, misalnya  Film.  Hal ini terjadi, karena ketika seorang penulis menuliskan pikirannya ke dalam bentuk tulisan, pembaca akan menangkap alam pikir dan gagasan penulis dan menginterpretasikannya sendiri sesuai dengan latar belakang dan pengalamannya sendiri. Semua audio visual yang melintas di pikiran pembaca adalah hasil karangannya sendiri. Oleh karenanya, interpretasi pembaca bisa berbeda-beda.

Sedangkan sutradara, mengolah interpretasinya sendiri dari membaca tulisan itu, lalu mengarangkan audio visualnya untuk disuguhkan ke penonton. Tentu saja tidak ada jaminan 100% apa yang ditangkap oleh pembaca dari buku akan sama persis dengan yang ditangkap ketika pembaca menjadi penonton film.

Untuk itu Agung Bawantara menengahi dengan mengatakan pendapatnya, bahwa memang tidak ada media yang sempurna. Semua dengan kelebihan dan kekurangannya. Itulah pula sebabnya, mengapa semua platform media itu tetap eksis dan tetap ada penggemarnya.

Sayang sekali diskusi ini harus berakhir, karena sudah terlalu siang, meninggalkan beberapa audience yang masih ingin bertanya tetapi tak kebagian waktu.

Saya mengucapkan terimakasih sebanyak-banyaknya  kepada Bali Mangsi Foundation dan Maria  Ekaristi yang sudah mengorbankan waktu dan tenaga untuk merancang dan merangkai acara Ngobrol Buku ini,  dan Pak Cok Yudistira yang sudah memberikan ijin penggunaan Gedung Kompas untuk acara ini.

Buku Resep Rahasia Cinta.

Standard
Buku Resep Rahasia Cinta. Ni Made Sri Andani.

Buku 50 CERITA INSPIRATIF dengan judul RESEP RAHASIA CINTA, adalah buku kumpulan tulisan tentang kejadian sehari-hari yang menarik, menginspirasi, atau memberi pelajaran maupun renungan dalam menjalani kehidupan.

Dengan sengaja saya memilih 50 dari sekitar 1150 tulisan tentang kejadian sehari-hari yang saya catat di blog https://nimadesriandani.wordpress.com/ antara tahun 2010 – 2022. Sebagian besar tulisan yang dipilih adalah yang bercerita tentang Cinta dan Kasih Sayang dan selebihnya adalah tentang hal-hal lain yang menginspirasi, baik dan berguna untuk pengembangan diri dan mental kita.

Mengapa tentang Cinta dan Kasih Sayang? Karena cinta dan kasih sayang adalah perasaan mendasar yang ada di hati mahluk hidup, yang memberi rasa suka, senang dan bahagia, walaupun terkadang melibatkan kesedihan dan pengorbanan di sisi lain. Sangat menarik mengamati sekitar kita, bagaimana rasa cinta itu ditunjukkan lewat perhatian dan kepedulian terhadap yang dicintainya dan memetik hal-hal positive dan intisari pelajarannya.

Di buku ini, kita akan menemukan berbagai kisah cinta dan kasih sayang. Mulai dari kisah kasih sayang dan perhatian anak pada ibunya yang sudah tua, kasih sayang ibu pada anak lewat sentuhan dan pijatan, kasih sayang dan perhatian pada saudara kandung, kasih sayang dan perhatian pada diri sendiri, bagaimana menghilangkan rasa cemburu, ekspresi cinta saat hari Valentine yang berbeda bagi setiap orang, kasih sayang pada sesama manusia dan sebagainya.

Kisah tidak terbatas pada kasih sayang sesama manusia, tetapi juga kasih sayang manusia pada hewan peliharaan dan pada mahluk hidup lain. Juga kisah cinta dan kasih sayang diantara binatang itu sendiri yang menginspirasi. Di buku ini misalnya kita bisa menemukan kisah menarik, bahkan seekor kucingpun rela berkorban demi memperjuangkan cintanya.

Selain cerita-cerita tentang Cinta dan Kasih Sayang, saya juga memasukkan tulisan-tulisan lain yang menginspirasi.

Misalnya saat menonton payung parasails di pantai Sanur, yang memberi saya inspirasi bahwa jika ingin pikiran kita berkembang dan maju, maka kita harus terbuka. Misalnya untuk menerima gagasan-gagasan baru ataupun ide-ide orang lain. Jangan kungkung pikiran dalam ego yang sempit dan picik. Saya tuliskan dalam kisah yang berjudul “Payung Yang Terkembang”.

Juga ada inspirasi tentang dunia tanpa sekat tinggi, tanpa batasan kesukuan, agama maupun status sosial. Dimana kita bisa memandang langit yang tunggal dan maha luas, memahami bahwa dunia tidaklah sesempit yang kita kira, namun selebar semesta tanpa batas. Renungan ini saya dapatkan ketika saya berkunjung ke rumah seseorang, dan saya tuliskan dalam kisah “Adalah Langit Yang Maha Luas”.

Masih banyak lagi kisah-kisah menarik lainnya. Semua yang saya tuliskan itu berdasarkan kejadian-kejadian nyata yang saya amati di sekeliling saya. Tentunya sangat menarik dan menginspirasi bagi saya sendiri, sehingga saya tuliskan, agar bisa saya ingat kembali dan ambil pelajarannya.

Semoga sahabat pembaca menemukan kisah-kisah yang saya tuliskan di buku ini juga menarik dan menginspirasi serta bermanfaat.

BACAAN SAAT LIBUR : LAKI LAKI LAKU.Antologi Puisi.

Standard

Sebenarnya buku ini sudah saya terima dari Bang Eki Thadan Metaforma  beberapa bulan yang lalu. Baru sempat saya baca.

Judulnya sendiri emang dah unik. LAKI LAKI LAKU. Yang kayak gimana ini ?  Penasaran dong ya?

Rupanya Antologi Bersama 11 Penyair Laki-Laki Indonesia, Wanto Tirta, Tampil Chandra Noor Gultom S.Sos., M.Hum, Sudarmono, Soekoso DM, Sam Mukhtar Chan, Rd Nanoe Anka, Prawiro Sudirjo  Octavianus Masheka, Dian Rusdi, D’Eros Sudarjono dan Aris Nohara.

Hanya khusus laki-laki karena menurut Editornya, Bang Eki  Eki Thadan, puisi-puisi di buku ini mestinya berkisah tentang potensi lelaki yang tidak diketahui kaum hawa.

Sebagai pembaca hawa yang awam, coba saya simak dan petik beberapa ya. Tentu saja semua yang saya tuliskan ini adalah interpretasi saya semata sebagai seorang pembaca.

Ha! Ternyata bermacam-macam gaya kaum adam ini berpuisi. Topiknya pun beda-beda, mulai dari pencarian, hasrat, cinta dan kerinduan, takdir sebagai laki-laki,  berondong, pencarian jati diri, dan sebagainya.

Saya tertarik pada judul “Mamba Hitam” karya Aris Nohara. Black Mamba  adalah sejenis ular berbisa yang sangat mematikan. Dan puisi ini dimulai dengan kalimat ” kata-kata melingkar di tubuh kawanmu/mendekapnya hingga sesak/dan begitu tak berdaya…”. Entahlah… dari judul dan pembukaannya saya merasakan kengerian dan duka yang dalam. Seseorang telah menderita atau binasa akibat   kata-kata beracun orang lain yang diibaratkan sebagai ular mamba. Ngeriii.

Lalu ada puisi yang puitis romantis karya Octavianus Masheka berjudul Orkes Hujan Rindu.  Saya pikir ini puisi yang disukai banyak perempuan. Bikin hati wanita klepek-klepek. Wanita mana  sih yang tak bahagia mendengar kalimat “…. aku berdansa sendiri dalam melody rindu/membayangkanmu dalam pelukanku” oleh kekasihnya ?

Ha! Ini ada yang protes. “Sebuah Tanya” karya Prawiro Sudirjo. “Laki-laki itu ‘letoy’, lemah dan kaku kok laku? Iya  Memang susah untuk memahami mengapa kok laku . Karya-karya Prawiro Sudirjo di buku ini bisa dibilang menohok.

Rd. Nanoe Anka datang dengan puisi-puisi cinta. Ada yang berjudul “Akulah Lanang Ing Jagad. Kelihatannya mantap ini. Kalimat-kalimatnya sangat convincing bagi kaum wanita untuk mengakui ya betul… kamulah arjuna impianku.

Wanto Tirta menuliskan 3 puisi yang saya pikir themanya menyentuh masalah spiritual, sosial dan kemanusiaan. Entahlah apa benar atau salah. Saya menangkap upaya pencarian makna diri yang cukup kuat di sini.

Penyair Sudarmono, menuliskan puisi-puisi yang berkaitan dengan pencarian cinta lelaki.

Eros dalam puisinya Seringkih Kristal berkata tentang takdir sebagai laki-laki yang harus terus dijalani. Ooh begitu ya? Saya baru terpikir jika laki-lakipun bisa menganggap bahwa jadi laki-laku itu adalah takdir. Bukan wanita saja yang berpikir begitu.

Ada pesan yang disampaikan oleh Soekoso DM untuk wangsa Hawa se Arcapada, agar tidak mendengarkan bisikan lelaki liar.

Sam Mukhtar berkisah tentang perjalanannya menuju senja . Ya…ketiga puisinya bercerita tentang lelaki di kala senja, yang membuat saya ikut-ikutan teringat bahwa  senjapun sebentar lagi menghampiri diri saya juga.

Lalu Chandra Noor Gultom benar-benar khusuk dengan laki-laki laku itu seperti apa. Dijelaskan dalam puisinya Bukan Kuda Liar  Sutera Pilihan dan juga Ksatria Tak Kan Gagap.

Dian Rusdi menuliskan lelaki sebagai sosok ayah dalam puisinya Senja dan Lelaki Matahari Itu Ayah.

Sekali lagi, ini adalah interpretasi saya sebagai seorang pembaca. Selebihnya, arti dan makna dari tiap -tiap puisi ini tentu hanya penyairnyalah yang tahu.