Seorang teman bercerita kepada saya bahwa sebenarnya ia sudah lelah dengan keadaan di kantornya. Lima tahun bekerja keras & selalu berusaha melakukan yang terbaik. Ia tidak merasakan sedikitpun ada kemajuan. Tidak ada apresiasi dari atasannya. Boro-boro promosi atau kenaikan pangkat. Semakin hari ia bahkan merasa nasibnya semakin tak jelas.
“Saya sudah cape, Bu!. Makanya saya sekarang tidak mau memberikan lebih kepada perusahaan. Bekerja sesuai dengan gaji saya sajalah. Toh sama saja hasilnya.”. Katanya dengan wajah suram. Saya merasa prihatin.
Pernyataan yang sangat jujur. Apa adanya. Dan tak pernah terpikirkan oleh saya sebelumnya. Terus terang saya kaget. Dalam hati saya tidak setuju. Tapi saya belum menemukan sepotongpun kata-kata yang tepat yang akan saya sampaikan kepadanya. Maka sayapun terdiam juga.
“Hmmm. Begitu ya?. Maksudnya kalau kerja sesuai dengan gaji itu gimana? Sesuai dengan job des gitu?” Tanya saya akhirnya setelah beberapa saat. Mungkin mengaitkannya dengan Job Des agak sedikit mengada-ada.
“Ya… maksud saya, hanya menyelesaikan pekerjaan standard sehari-hari saja. Datang tidak lebih pagi, pulang teng go. Kalau diminta tambahan kerja oleh atasan, ya saya menolak. Apalagi kalau harus sampai lembur. Mendingan saya langsung pulang saja”.
“Ooh..” kata saya sedikit lebih mengerti. Ia lalu bercerita bahwa sikapnya baru-baru ini saja berubah. Menurutnya, sebelumnya ia sangat semangat dan rajin. Namun karena kenaikan gaji terakhirnya tidak memuaskan, maka ia memutuskan untuk merubah sikap. Cuek dan tidak perduli lagi.
“ Bagaimana rasanya sekarang? Apakah sekarang merasa lebih baik dengan sikap seperti itu?” saya bertanya. Ia bilang sebenarnya ia merasa tak nyaman dengan apa yang dilakukannya karena menurutnya itu bukan dirinya. Lalu mengapa ia lakukan juga? Sampai titik ini, saya tidak mengerti apa untungnya jika kita melakukan perubahan sikap dari “semangat dan proaktif” menjadi ‘ hanya bekerja sebatas gaji’ seperti yang dilakukan oleh teman saya itu.
Apakah dengan menunjukkan kinerja yang biasa-biasa saja, akan membuat kita menjadi lebih dihargai?. Lebih diperhatikan dan atau bahkan dipromosikan? Rasanya kok tidak juga ya?. Jika demikian halnya, bukankah kita justru sedang men’down grade’ diri kita sendiri dengan menurunkan standard kwalitas diri? Karyawan yang berkwalitas rendah tentu akan dibayar rendah juga.
Masih untung jika kebetulan atasan kita itu adalah orang yang sudah lama mengenal kita. Walaupun ia melihat kita saat kwalitas diri kita rendah, namun ia juga tahu saat kwalitas diri kita sedang pada puncak-puncaknya. Jadi penilaiannya mungkin masih terbawa oleh kinerja kita sebelumnya. Namun bagaimana jika atasan kita itu orang yang baru kita kenal?
Orang baru melihat kita seperti ia melihat sebuah potret. Hanya saat itu saja. Hanya moment saat kita dijepret kamera. Ia tidak tahu apa yang kita lakukan sebelum cahaya kamera menyentuh wajah kita. Jika kita tersenyum saat dipotret, orang lain akan mengatakan bahwa kita adalah orang yang murah senyum, baik dan ramah. Ia tidak tahu bahwa sebelumnya kita sempat marah-marah kepada tukang potretnya karena terlambat datang ke session pemotretan.
Demikian juga jika kita sedang manyun saat dijepret kamera. Maka orang lain hanya melihat kita sebagai seseorang yang kurang bahagia, sedih, atau bahkan mungkin disangkanya kita pemarah dan tukang ngadat. Ia tidak tahu bahwa sebenarnya sehari-hari kita adalah orang yang sangat menyenangkan dan periang. Logis bukan? Karena itulah moment yang ia lihat saat itu.
Masalahnya adalah, semua judgement dilakukan oleh atasan yang baru kita kenal hanya berdasarkan snapshot itu saja. Jika yang dilihat oleh atasan kita adalah saat kita menunjukkan kwalitas yang buruk, tentu buruklah penialaiannya terhadap diri kita. Sebaliknya jika kwalitas kita baik, tentu baik pula penilaiannya. Kita semua tentu tidak ada yang mau jika dinilai lebih buruk dari apa yang seharusnya bisa kita dapatkan bukan? Semua orang ingin diberikan nilai pada saat ia menunjukkan performance terbaiknya. Jadi mengapa kita harus mendown grade diri kita sendiri?
Dalam hemat saya, jika kita memang merasa tidak happy dengan keadaan, ada dua pendekatan yang bisa kita lakukan:
Pertama adalah berusaha berdamai dengan keadaan. Tunjukkan terus bahwa kita memang memiliki kwalitas yang terbaik. Jangan pernah membiarkan orang lain melihat kinerja kita yang buruk. Buat mereka selalu melihat bahwa standard kwalitas diri kita sangat tinggi. Jika usaha kita tidak dilihat saat ini, maka pada suatu saat kelak kita pasti akan mendapatkan kesempatan itu. Perlihatkan kepada orang lain bahwa kita adalah orang yang memang benar-benar mampu. Benar-benar bisa diandalkan. Tunjukkan agar orang lain tahu. Kalau hanya kita sendiri yang merasa mampu, namun tak ada orang lain yang tahu atau mengakui kemampuan kita, tentu kemungkinan kita untuk diappresiasi akan menjadi kecil. Jadi tunjukkanlah kemampuan kita dulu. Kebanyakan atasan akan berusaha membantu anggota teamnya yang memang menunjukkan kwalitas bagus. Bila tak bisa ia lakukan saat ini, minimal ia akan terus berusaha memperjuangkannya di kemudian hari.
Jika oleh karena suatu hal, kita tak bisa mengikuti pendekatan pertama, maka pilihannya adalah kita mencari tempat lain yang memberikan kita kebermungkinan yang lebih baik. Memang belum tentu kita sukses. Tapi minimal chancenya sekarang menjadi 50%. Fifty-Fifty. 50% selalu lebih baik dibanding 0%, alias tidak ada peluang sama sekali. Ini lebih baik sebelum kita merugikan diri kita lebih jauh. Ada pepatah yang mengatakan bahwa “Orang bijaksana tahu kapan dan dimana ia harus berhenti”.
Jika kita tetap bertahan di sana, namun menunjukkan performance yang biasa-biasa saja maka tak akan pernah terjadi hal-hal yang menguntungkan diri kita. Orang mungkin akan menilai kita rendah dan itu akan membuat kita semakin merasa terpuruk. Berhentilah saat semua orang masih melihat betapa tingginya kinerja kita. Dan tetaplah menunjukkan kinerja tinggi hingga ‘titik darah penghabisan’. Orang lain akan melihat ‘permata’ di dalam diri kita. “ Sayang banget ya, kalau ia sampai keluar. Padahal ia bagus…” Kemungkinan besar itu yang akan menjadi gumaman setiap orang. Apabila kita adalah sebuah merk, setidaknya Brand Equity kita masih sangat tinggi. Image diri kita baik. Kesehatan kinerja kita baik. Atasan kita sekalipun tidak akan segan merekomendasikan kinerja kita jika suatu saat kita membutuhkan rekomendasi.
Berharap kantor akan meminta kita mengundurkan diri dan memberi kita pesangon yang besar? Ya, kalau itu terjadi. Kalaupun terjadi, tetap saja itu akan membuat sebagian orang berpikir bahwa kita memang tidak berkwalitas. Ya itu sama saja dengan merusak diri sendiri. Orang lain akan melihat keburukan dalam diri kita. Konon rumors tentang keburukan seseorang menjalar melebihi kecepatan cahaya ( c = 299 792 458 m/detik). Berita buruk tentang rendahnya kinerja diri kita akan segera tersiar kemana-mana. Peluang untuk majupun akan semakin sulit.
Bagaimana jika atasan tetap mendiamkan kita dan sebagai konsekwesinya kita diberi nilai buruk? Yang akhirnya mengakibatkan kenaikan upah kita selalu lebih rendah dibanding karyawan lain? Tentu tak ada seorangpun yang menginginkan hal ini terjadi pada dirinya.
Jadi menurut hemat saya, apapun alasannya, bagaimanapun kondisinya, jika dengan cara sengaja kita membuat kinerja kita rendah ( misalnya dengan cara bekerja ‘biasa-biasa saja sesuai dengan gaji’), tak pernah ada untungnya buat diri kita.Tunjukkan bahwa kita ini memang orang yang sesungguhnya brilliant. Terang dan bercahaya!.
Seusai obrolan itu, wajah teman saya terlihat lebih nyaman. Saya berharap ia selalu menunjukkan standard kwalitas dirinya yang tinggi. Karena selama inipun kwalitasnya memang selalu tinggi. Sayapun merenungkan diri saya sendiri atas pemikiran dan kalimat-kalimat yang telah saya sampaikan kepada teman saya itu. Semoga sayapun selalu bisa menunjukkan kinerja terbaik saya setiap saat.