Monthly Archives: July 2014

Pembangunan Yang Selaras Alam & Lingkungan.

Standard

Nirwana Bali GolfNirwana Bali Resort & Golf Club! Saya ingat beberapa tahun yang lalu demo sangat marak dilakukan oleh masyarakat sekitar saat Hotel dan Lapangan Golf ini dibangun pada awalnya – tentunya didasarkan atas kekhawatiran masyarakat akan terganggunya kesucian  dan keseimbangan lingkungan hidup di area  yang terkenal dengan persawahannya itu. Selain juga dekat dengan Pura Tanah Lot.

Saya tidak mengikuti bagaimana jalannya proses demo itu, namun pada akhirnya kelihatannya semuanya baik-baik saja. Barangkali masyarakat sudah bisa menerima dengan baik. Lapangan pekerjaan baru juga terbuka baik bagi penduduk sekitar maupun pendatang dari luar. Saya tidak pernah mendengar protes maupun demo dilakukan lagi. Dan tentu saja saya tidak bermaksud membahas lebih jauh soal itu. Saya hanya seorang pencinta lingkungan terutama burung-burung yang tentunya lebih tertarik untuk mengetahui apakah burung-burung liar masih terjaga keberadaannya ditempat itu. Dan pada kenyataannya memang, areal lapangan Golf itu sangat asri dan hijau, demikian juga banyak sekali jenis burung burung yang berkeliaran bebas tanpa gangguan dari manusia yang berlalu lalang di bawahnya.

Burung Gelatik mencari makan di rerumputan 1Sangat menyenangkan bisa mengobrol dengan petugas keamanan dan kebersihan yang mengelola tempat itu – karena saya jadi banyak mendapatkan informasi bagaimana burung-burung dan kehidupan liar dilindungi di tempat itu. Sebagaimana halnya berlaku di sebagian besar desa-desa di Bali, perburuan dan penembakan burung & satwa liar sangat dilarang di sana. Itu salah satu hal yang menyebabkan mengapa populasi burung liar masih cukup tinggi di tempat-tempat ini.

Dan tentunya seperti yang saya ceriakan sebelumnya, burung Gelatik adalah merupakan burung terpenting yang menadapatkan perlindungan di tempat ini.

Burung ini menjadi sangat istimewa keberadaannya di tempat ini mengingat bahwa pada saat ini burung Gelatik berada pada posisi Vulnerable dalam Conversation Statusnya dialam liar. Walaupun dulunya dipandang sebagai burung yang sangat umum dan banyak jumlahnya, ataubahkan dianggap sebagai hama bagi para petani,namun kini populasinya semakin menurun drastis dan semakin sulit ditemukan liar di alam.

Selain banyaknya burung Gelatik (Padda oryzivora), saya juga melihat berbagai jenis burung lain masih berterbangan di tempat itu. Salah satu yang banyak jumlahnya adalah burung Tekukur (Streptopelia chinensis). Burung yang memiliki warna kelabu kemerahan dengan sayap berbintik-bintik hitam putih dan ciri khas kalung bintik di lehernya sangat mudah kita temukan di sana. Kita bisa menemukannya di atap bangunan, di barang pohon, di rerumputan bahkan di jalanan.

Lalu ada juga jenis burung Madu Kelapa (Anthreptes malacensis) yang sibuk mengambil madu dari bunga-bunga pohon kelapa ataupun bunga waru yang banyak tumbuh di sana. Burung yang kerap disebut dengan Kedis Percit dalam bahasa setempatnya itu bahkan terlihat membangun sarangnya di daun palm yang relatif rendah dari jangkauan manusia.

Burung-burung lain yang juga saya lihat banyak berkeliaran adalah burung Jalak Kerbau (Acridotheres javanicus), burung Bangau (Bubulcus ibis), burung Cerukcuk (Pycnonotus goiavier), burung gereja pohon (Passer montanus) dan sebagainya.

Kelelawar tidur di siang hari

Dan bahkan, jika kita mendongakkan kepala kita, maka sangat mudah kita juga menemukan kelelawar yang sedang beristirahat di balik daun daun pohon kelapa.

Nah, jadi sebagai seorang pengamat burung,saya menaruh respek saya pada upaya yang telah dilakukan oleh pihak Nirwana Bali Resort & Golf untuk menyelaraskan pembangunan yang dilakukannya dengan kehidupan alam dan keasrian lingkungan sekitarnya.

 

Burung Gelatik Yang Semakin Jarang Terlihat Di Alam.

Standard
Burung Gelatik mencari makan di rerumputan hijau.

Burung Gelatik mencari makan di rerumputan hijau.

Salah satu burung pemakan padi yang menarik perhatian saya adalah burung Gelatik. Bersama-sama dengan burung Pipit, burung Peking ataupun burung Bondol selalu dianggap hama pengganggu oleh Pak Tani. Namun sayangnya karena warna bulunya adalah terindah diantara para burung pemakan padi, maka burung Gelatik adalah yang paling banyak ditangkap sebagai hewan peliharaan manusia. Akhirnya dengan sangat sedih saya membaca informasi dari Wikipedia bahwa burung Gelatik, pada saat  ini sudah dikategorikan sebagai burung  dengan Conservation Status Vulnerable – yakni keberadaannya di alam liar mulai terancam. Sayang sekali! Padahal semasa saya kecil, sangat mudah menemukan gerombolan burung ini berbondong-bondong ke sawah. Bahkan seorang paman saya memiliki sebuah “kungkungan” (rumah burung buatan) yang diletakkan di pohon frangipani di halaman belakang selalu penuh dengan burung gelatik dan burung pipit.

Ketika mengetahui keinginan saya untuk melihat kawanan burung Gelatik di alam bebas, adik saya berkata bahwa iapun tak yakin bisa menemukan gerombolan burung ini dengan mudah di alam, mengingat areal persawahan sudah sangat jauh berkurang dan berganti dengan pemukiman penduduk. Ia lalu mencoba mengingat-ingat dimana kami masih bisa menemukan burung Gelatik bebas terbang di alam.

Keesokan harinya ia mengajak saya bermain ke Nirwana Bali Resort & Golf Club – sebuah lapangan golf yang terletak di desa Beraban, dekat Pura Tanah Lot, Tabanan. Menurutnya ia pernah melihat gerombolan burung gelatik hidup bebas di sana. Benar saja, tempat itu ternyata masih sangat berpihak bagi kehidupan burung-burung liar,termasuk diantaranya burung Gelatik. Rupanya pihak hotel/lapangan golf sangat menaruh konsern akan lingkungan sekitarnya dan memberikan perlindungan kepada burung-burung liar ini dengan sangat baik. Populasi burung Gelatik di sini cukup banyak. Saking banyaknya, burung ini pun mendekat ke bangunan golf club dan tidak begitu takut lagi dengan kehadiran manusia. Ketika melihatnya banyak berkeliaran di sana, saya serasa melihat burung gereja – karena jumlahnya serupa dengan jumlah burung Gereja yang umum  berkeliaran di halaman.

seekor burung Gelatik berteduh di dahan pohon Frangipani

seekor burung Gelatik berteduh di dahan pohon Frangipani

 

Saat saya ke sana, saya melihat sangat banyak burung Gelatik yang hidup di sana. Berloncatan terbang di pohon-pohon frangipani di dekat guest house dan juga di taman-taman bunganya. Ada yang sibuk mencari makan di rerumputan.

Burung-burung Gelatik sedang mandi di kolam, di tengah teriknya matahari.

Burung-burung Gelatik sedang mandi di kolam, di tengah teriknya matahari.

Sebagian ada juga yang sedang mandi  menyegarkan dirinya di kolam. Selain burung gelatik dewasa,banyak sekali saya melihat anak-anak burung Gelatik juga berceloteh riang di dahan-dahan pohon di bawah terik matahari.  Sibuk bercericit dan disuapi makan oleh indkunya. Mudah membedakannya dengan suara burung Gereja,karena Gelatik, sesuai dengan namanya cenderung mengeluarkan bunyi” tik, tik, tik…tik, tik, tik…”.

Seekor induk burung Gelatik sibuk mengasuh anak-anaknya.

Seekor induk burung Gelatik sibuk mengasuh anak-anaknya.

Burung Gelatik alias Java Sparrow (Padda oryzivora), adalah salah sat jenis burung pemakan biji-bijian dari keluarga Lonchura (sekeluarga dengan burung Peking). Berukuran kecil, kurang lebih sebesar burung gereja.

Memiliki warna punggung abu-abu kebiruan, kepala hitam, dengan pipi yang berwarna putih. dadanya berwarna putih,ekornya hitam. Paruhnya berwarna pink.  Dmikian juga kakinya.

Anak-anak burung Gelatik

Anak-anak burung Gelatik

Burung Gelatik muda memiliki warna yang lebih pucat dibanding yang dewasa. Warna punggungnya coklat pucat, bukan kelabu biru seperti dewasanya.  Warna hitam di kepalanya juga belum pekat. Demikian juga warna pinku paruh dan lingkaran di matanya, belum muncul pada burung Gelatik muda.

Burung ini adalah pemakan biji-bijian. Paling senang memakan padi, tetapi juga memakan biji-biji rerumputan. Di sekitar lapangan golf itu masih terlihat sedikit areal persawahan yang cukup untuk menunjang kehidupan burung-burung Gelatik ini. Selain itu, taman-taman dan tentunya lapangan golf merupakan sumber biji rerumputan yang melimpah.

Saya merasa sedikit lebih lega melihatnya.  Walaupun sebuah pertanyaan masih tetap mengganggu pikiran saya. Sampai kapan burung-burung ini akan mampu bertahan? Apakah dalam kurun waktu lima tahun mendatang statusnya bisa kembali membaik? Atau justru malah semakin terancam punah keberadaannya di alam?

Perlu kita ketahui bersama, walaupun sering diperdagangkan ke luar pulau atau bahkan ke luar negeri, burung gelatik ini adalah burung asli pulau Jawa, Bali dan barangkali Madura. Jadi sudah menjadi kewajiban kita yang tinggal di wilayah ini untuk ikut berpartisipasi menyelamatkan burung Gelatik ini dari kepunahan di masa depan, misalnya dengan tidak ikut memelihara burung ini dalam kandang dan mengajak orang-orang di sekitar kita untuk melepaskannya kembali ke alam. kalau bukan kita, siapa lagi?

Yuk, kita selamatkan burung Gelatik!.

 

 

 

Jangan Malas Berlari!

Standard

???????????????????????????????Piala Dunia 2014 telah berakhir beberapa saat yang lalu.  Jika kita perhatikan, topik yang paling sering dibicarakan berkaitan dengan Piala Dunia 2014 adalah soal kekalahan Brazil melawan Jerman di babak semi final. Hampir semua orang membicarakannya.  Banyak media yang membahasnya. Walaupun sebenarnya saya bukan penggemar sepakbola, namun tetap saja sesekali ikut mendengarkan tanpa sengaja percakapan-percakapan teman-teman saya tentang kekalahan Brazil itu.

Demikian juga hari Jumat yang lalu. Kembali saya mendengarkan soal kekalahan team Brazil itu lagi. Dibahas disebuah acara malam yang dilakukan Frontier Consulting Group dan Majalah Marketing di Hotel Mulia, Senayan. Kebetulan saya hadir di sana  untuk mewakili team saya menerima penghargaan Top Brand Award bagi kesuksesan salah sebuah brand dari perusahaan tempat saya bekerja. Tentu saja saya mendengarkan dan menyimak dengan baik.

Nah, lalu kenapa saya sampai niat banget menuliskannya kembali? Karena menurut saya kali ini pembahasan soal kekalahan team Brazil ini cukup menarik. Dibahas dari sudut pandang dunia pemasaran oleh sang pakar marketing Pak Handi Irawan, yang juga merupakan boss-nya Frontier.

Pak Handi memulai pembicaraannya dengan menunjukkan skor 7-1, yang mengacu pada kemenangan Jerman vs Brazil. Lalu mengajak audience  untuk berada pada titik start yang sama, dengan pertanyaan yang membuat kita mikir: Mengapa Brazil bisa kalah melawan Jerman?

Pertanyaan ini tentu sangat menggelitik, mengingat bahwa: 1/ team Brazil selama ini dianggap tangguh, 2/ team Brazil bermain di kandangnya sendiri pula. Banyak orang menganalisa bahwa itu terjadi akibat lemahnya teamwork Brazil dan keinginannya yang sangat kuat untuk dominant sebagai tuan rumah – sehingga mungkin saja membuatnya menjadi over pede.

Nah ternyata Pak Handi punya jawabannya sendiri. Pak Handi mengaitkan kekalahan itu dengan kenyataan bahwa team Brazil lebih malas berlari dibandingkan dengan team Jerman. Hah? Malas berlari? Darimana tahunya?

Pak Handi bercerita tentang 2 merek sepatu yakni Adidas dan Nike. Soal pertarungan Nike vs Adidas dalam Piala Dunia 2014 ini sebenarnya cukup kerap juga diberitakan  di media-media – namun saya tidak pernah membaca detailnya soal sepatu ini. Menurut cerita Pak Handi, Nike memiliki sepatu Nike plus dengan sensor yang memberi tahu penggunanya berapa target kalori yang dibakar, apakah targetnya tercapai atau tidak,dsb.

Tak mau kalah Adidas pun mengeluarkan sepatu yang juga memiliki sensor yang baik untuk mengetahui tingkat kelelahan penggunanya – tentu dengan cara mendeteksi “heel compression” dan “heart rate signal”. Dari sanalah diketahui bahwa konon para pemain Brazil  rata-rata hanya berlari sebanyak 7.7 km sedangkan pemain di team lain berlari lebih banyak dari itu – pemain Belanda misalnya rata-rata berlari sebanyak 12 km selama pertandingan. Nah…bagian yang ini saya tidak pernah dengar sebelumnya. Sangat menarik!.

(*saat bercerita tentang 2 merek sepatu itu, saya jadi terkenang masa-masa di tahun 90-an saat saya bekerja sebagai Sales Supervisor di PT Mitra Adi Perkasa yang banyak menjual sepatu sport dan alat-alat sport lainnya. Jadi saya bisa membayangkan jika kedua brand itu mengembangkan teknologi canggih yang diaplikasikan pada sepatu keluaran terakhirnya).

Nah..nett-nett dari cerita ini adalah bahwa ; Malas berlari!!! Itulah yang menyebabkan team Brazil kalah dibandingkan dengan team German.  Berlari bukan hanya membuat kita menjadi lebih cepat, namun juga membuat otot-otot kita terlatih dan anggota tubuh kita memiliki stamina yang lebih baik dibandingkan jika kita tidak melatih diri berlari. Demikian juga ‘berlari’ dalam kehidupan sehari-hari.

Sebuah ilustrasi yang bagus. Saya tersenyum mendengarkan bagaimana Pak Handi kemudian menganalogikan kekalahan Brazil ini dengan kekalahan brand yang para pemasarnya juga malas berinovasi. Oleh karena itu, jika tidak mau kalah bersaing ya…jangan malas berlari. Pak Handi lalu melanjutkan ceritanya dengan beberapa pesan pemasaran lain. Wah..thanks to Pak Handi atas ceritanya.

Tentu saja cerita di atas sangat relevan bagi para pemasar. Karena memang pada prinsipnya apa yang dikatakan pak Handi itu benar adanya. Keterlambatan membawa inovasi baru ke pasar adalah salah satu penyebab terkuat, mengapa sebuah merk dagang bisa terpuruk dilindas pesaingnya. Di dunia pemasaran, pada akhirnya memang, bukan yang besar yang akan memakan yang kecil. Tapi yang cepatlah yang akan memakan yang lambat. Oleh karena itu, jangan malas berlari.

Bahkan jika kita pikir lebih jauh, petuah untuk “JANGAN MALAS BERLARI” ini juga bukan hanya relevan untuk para pemasar. Juga sangat relevan untuk kita semua dalam kaitannya dengan kehidupan kita sehari-hari.

Misalnya dalam posisi saya sebagai ibu rumah tangga,  petuah jangan malas berlari ini pun terasa sangat relevant. Kita jangan malas berlari ‘mencari cara dan terobosan baru’ dalam mendidik anak, memahami perkembangan anak dan tuntutan lingkungannya, sehingga kita mampu  mempersiapkan anak kita agar bisa menghadapi dunia pengetahuan dan arus informasi yang berlari dengan cepat. Anak-anak jaman sekarang tentu tidak bisa disamakan kondisinya dengan saat kita masih kanak-kanak dahulu. Oleh karena itu, sebagaiorang tua kita perlu sedikit lebih smart untuk bisa menyiapkan anak-anak kita dengan baik.

Nah… barangkali petuah “jangan malas berlari’ inipun relevant juga buat penulis blog seperti saya ini. Jika malas menggali ide baru, mengembangkan ide baru dan menjadikannya tulisan-tulisan baru yang segar dan bervariasi, bisa-bisa para pembaca  blog saya ini  mati kebosanan membaca tulisan saya yang itu-itu saja. Kupu-kupu lagi, kupu-kupu lagi. Atau kalau tidak, burung lagi , burung lagi. Ha ha…

 

 

 

Bandung: Mengunjungi Museum Geologi II.

Standard

Sebelumnya saya sudah menceritakan tentang kunjungin saya dan anak-anak ke Museum Geologi di Bandung – namun lebih pada benda-benda yang tersimpan di lantai dasarnya. Karena Museum itu terdiri atas dua lantai, maka saya dan anak-anak pun mengeksplore apa saja yang ada di lantai II ini.

Di sayap kanan, isinya ternyata lumayan menarik juga.  Karena di sana ada penjelasan tentang jenis-jenis batu-batuan dan kapan manusia mulai memanfaatkannya. Rupanya pada jaman Mesolitik, sejak manusia memanfaatkan gua-gua sebagai tempat tinggal, merekapun mulai memanfaatkan batu sebagai peralatan dan batu mulia sebagai perhiasan. Contoh batu yang disebutkan antara lain batu Andesit, Agate, Obsidian, Kalsedon, Jasper dan Basal. Lalu pada jaman Neolitik mereka sudah mulai memanfaatkan Tanah Liat untuk membuat gerabah, serta memanfaatkan bongkahan batu besar sebagai sarana upacara (kebudayaan Megalitik).

Di sana di pajang jenis batu-batu yang digunakan pada masa itu. Ada batu Jasper yang berwarna kemerahan mirip hati ayam, ditemukan di Tasikmalaya dan Batu Jasper Coklat di Garut. Jaman dulu dimanfaatkan untuk membuat Kapak Genggam, kapak Perimbas, Beliung dan Serpih. Lalu ada Batu Carnellian yang coklat berbercak bercak kelabu dari Jawa Tengah, dulunya dimanfaatkan untuk membuat Beliung dan Mata Panah.  Lalu saya juga meliat batu Obsidian yang hitam pekat dan berkilat yang ditemukan di Bandung dimanfaatkan untuk membuat serpih, untuk mengiris ataupun memotong. Lalu ada Archa Pradjnaparamita yang menggunakan batu Andesit ditemukan di Mojokerto. Batuan lain yang djuga ada di sana adalah Lempung Kaolinit dan Belerang  dan benda-benda masa kini yang tetap menggunakan bahan itu.

Yang menarik lagi adalah Bijih Timah yang ditemukan di Bangka dan Bijih Tembaga di Toraja – nenek moyang kita telah lama mencampur 2 jenis logam ini dan  menjadikannya sebagai Perunggu. Contoh benda-benda perunggu  yang dipamerkan di sana adalah Nekara yang ditemukan di Pulau Alor, NTT dan alat pertukaran uang pada jaman kolonial. Terus ada juga bijih besi yang ditemukan di Papua, dimanfaatkan banyak untuk pembuatan senjata seperti misalnya Keris dan Tombak yang ditemukan di Trowulan, Jawa Timur. Ada juga campuran logam lain, yakni Kuningan yang merupakan percampuran antara Tembaga dan Seng, salah satu contohnya adalah Wadah Air dari Kuningan yang ditemukan di Aceh. Berikutnya ada logam Nikel yang digunakan sebagai koin juga pada masa kerajaan dan kolonial.  Logam lain adalah  bijih emas yang ditemukan di Jawa Barat serta contoh-contoh pemanfaatannya. Juga Mangan.

Simulator gempa bumiBerikutnya ada penjelasan tentang gunung berapi dan letusannya serta contoh-contoh barang yang hangus akibat letusan Gunung Merapi beberapa waktu yang lalu. Saya merasa sangat sedih melihatnya. Dan tiba-tiba seolah diingatkan bahwa letusan bisa datang kapan saja dan di mana saja di wilayah tanah air kita.  Bukan karena dosa, bukan pula karena kutukan siapa -siapa seperti yang beberapa orang ucapkan, tapi karena wilayah kita memang berdiri  di atas jaringan cincin api.  Di sana juga dijelaskan upaya -upaya apa yang harus kita lakukan untuk menghadapi bahaya letusan gunung api. Saya sangat mengapresiasi hal ini, karena sangat penting.

Di pojok ruangan ada simulator gempa bumi. Anak saya ingin mencoba simulator itu dan ingin merasakan bagaimana efek gempa bumi. Ia mengajak saya untuk ikut masuk ke simulator  dan tentu saja saya tidak mau karena saya sudah berkali-kali merasakan gempa bumi hebat sejak kecil, baik goncangan gempa bumi yang vertikal maupun goncangan horizontal. Jadi saya tidak perlu lagi mencoba. Saya sarankan ia masuk sendiri saja, supaya tahu rasanya.

Di ruang atas sayap kanan, memberikan kita gambaran tentang bebatuan secara umum yang tidak dikaitkan langsung dengan sejarah. Design dan lay out ruangan ini membuat saya sangat terkesan karena terasa berada di sebuah ruangan museum yang modern dan bersih. Benda-benda dipajang dengan baik dan rapi dan penjelasan diletakkan di dinding kaca di sekeliling ruangan. Saya tertarik pada bagian batu batu mulia. Penjelasan tentang jenis, bagaimana terbentuknya, di lapisan mana batu mulia didapatkan, tingkat kekerasan, jenis-jenis yang disukai di Indonesia dan sebagainya.

Ada contoh Batu Pirus atau yang dalam bahasa internationalnya di sebut dengan Turquoise yang warnanya biru ditemukan di Persia dengan tingkat kekerasan 5-6 skala Mohs. lalu ada Fluorit, Giok Jawa, Kalsedon Ungu, Garnet, Sunstone,Krisopal, rainbow Obsidian, Calceodo, Jasper Hijau, Amethyst.

Di dinding berikutnya ada penjelasan tentang minyak dan gas, apa itu hidrokarbon , bagaimana proses pemisahan minyak dan gas dilakukan, bagaimana minyak dan gas bumi terbentuk serta syarat-syaratnya, pengolahan gas, batubara. Berikutmya kita bisa membaca tentang Panas Bumi dan energi terbarukan dan diujung ruangan ada sedikit penjelasan tentang Sumber Daya Air.

Di tengah ruangan juga dipajang contoh batu-batuan, lalu ada penjelasan tentang nama jenis batu, lokasi penemuan dan penjelasan singkat tentang apa dan bagaimana pemanfaatannya. Misalnya ada batu yang disebut dengan Magnetit, ditemukannya di Subun-Subun, Tapanuli Selatan- Sumatera Utara. Lalu penjelasannya, sebagai bijih utama besi, bahan utama pembuatan besi dan baja. Penjelasan yang lumayan untuk orang awam seperti saya. Paling tertarik tentu memperlihatkan kepada anak saya, bagaimana bentuk bijih emas saat ditemukan di alam.

Secara keseluruhan, kunjungan ke Museum Geologi Bandung ini sangat menyenangkan. Banyak informasi dan ilmu pengetahuan.

Yuk kiat mengunjungi Museum geologi,Bandung!

 

Bandung: Mengunjungi Museum Geologi.

Standard

Salah satu tempat wisata lain di Bandung yang menarik perhatian anak saya adalah Museum Geologi. Nah..kalau ke sini,bukan hanya anaknya saja yang semangat, tapi juga ibunya. Ticket masuk ke Museum yang didirikan pada jaman Belanda itu ternyata sangat murah. Hanya Rp 2 000 per orang bagi Mahasiswa/Pelajar. Serta Rp 4 000 bagi pengunjung umum yang non Mahasiswa/pelajar. Sangat murah dibanding ilmu dan informasi yang kita dapatkan. Selain murah, ticketnya juga kelihatannya tercatat dengan baik, sehingga terhindar dari kebocoran. Oleh karenanya saya rasanya sangat  bersedia untuk ikut mempromosikan kepada khalayak ramai betapa menguntungkannya mengunjungi museum ini. Ayo! Ayo! Kita ramai-ramai mengunjungi Museum Geologi!.

Tambah senang lagi, karena ketika saya tanya kepada petugas, apakah saya boleh membawa kamera masuk? Apakah saya boleh mengambil foto-foto? Petugas mengijinkannnya!.

Sepintas mengenai Museum Geologi, Bandung.

Museum GeologiMenurut informasi yang saya dapat di dinding Museum, gedung museum yang semula bernama Geologisch Laboratorium ini didirikan oleh lembaga Dienst van den Mijnbouw pada tahun 1928 di Jalan Diponegoro Bandung yang  pada jaman itu bernama Rembrandt Straat, Bandung. Sang arsitek bernama Ir Menalda van Schouwenburg. Pembangunan gedung ini dilakukan selama 11 bulan dari tahun 1928 hingga diresmikan tgl 16 Mei 1929 – bertepatan dengan adanya Konggres Ilmu Pengetahuan Pasifik yang ke 4 di Bandung. Menurut catatan, menghabiskan dana sekitar 400 gulden. Waduuh…berapa ya kira-kira kalau diuangkan ke rupiah jaman sekarang?

Lalu ketika pendudukan Jepang, museum ini diambil alih oleh Jepang. Saya melihat ada beberapa foto-foto para surveyor yang dilatih oleh Jepang. Lalu berikutnya saya melihat foto kunjungan Presiden Sukarno pada tahun 1959. Dan terakhir direnovasi dan diremikan kembali oleh ibu Megawati pada tahun 2000. Jadilah museum seperti yang bisa kita lihat saat ini.

Sejarah Kota Bandung.

Situ bandungBagian yang paling menarik adalah ketika menonton film bagaimana sejarah kota Bandung jika dilihat dari sisi geologis. Seperti banyak tempat lainnya di Indonesia, darah Pasundan jaman dulunya pernah merupakan wilayah laut dalam yang kemudian naik ke permukaan. Bukti-bukti tentang itu sangat jelas ditunjukkan oleh adanya  bukit-bukit karang dan fosil-fosil moluska di beberapa area di Jawa Barat.  Dan pada jaman dulu,  Bandung merupakan sebuah dataran rendah berbentuk cekungan yang dikelililingi gunung-gunung berapi, dimana sungai Citarum purba mengalir ke laut. Namun ketika Gunung Sunda purba meletus sekitar 135 000 tahun yang lalu, material hasil letusannya itu rupanya membendung aliran sungai Citarum purba, sehingga air sungai menggenang dan terbentuklah Situ Bandung.  Sangat menarik mengetahui bahwa kota Bandung dahulunya adalah sebuah danau yang cukup luas.

Banyak peradaban purba ditemukan di tepian Sungai Bandung, seperti misalnya di DagoPakar, Lembang, Cicalengka, Banjaran, Soreang, Guwa Pawon, Cililin, Rancaekek. Saya melihat ada banyak artefak yang dipajang d Museum itu berupa beliung persegi, serpih, bilah, perkutor dari batu andesit.  Namun bukti keberadaan kearangka manusia baru ditemukan nyata ada di Guwa Pawon yang berada di kawasan Kars Rajamandala, Padalarang, Kabupaten Bandung.

Lalu kemana danau Bandung itu pergi? Bagaimana ia bisa lenyap? Rupanya pada sekitar 16 000 tahun yang lalu air danau ini perlahan merembes dan mengalir melewati rekahan pada material penyumbat, sehingga daerah cekungan danau itupun mengering dan meninggalkan aliran sungai Citarum yang dikenal saat ini. Daerah cekungan inilah yang kemudian dihuni oleh penduduk dan menjadi kota Bandung. Hmm… menarik ya.

Kehidupan Purba Yang Membatu. 

Gajah purbaFossils!. Semuanya tentu paham bahwa fossils adalah sisa-sisa mahuk hidup seperti binatang, tumbuhan maupun organisme dari masa lampau yang membatu.  Nah, tentunya jika kita masuk ke Museum Geologi ini kita akan banyak sekali menemukan fossils. Salah satu yang sangat menarik adalah fossils gajah  purba (Elephas hysudrindicus) yang dipajang di lobby masuk museum. Gajah ini luar biasa besar dan tinggi, nyaris mencapai langit-langit ruangan – yang barangkali tingginya 4 meter lebih. Dan fossils gajah ini ternyata ditemukan di Dusun Sunggun, desa Mendalem, Kecamatan Kradenan, Kabupaten Blora. Wah! Dulunya ada gajah di Jawa! Bukan hanya di Sumatera saja rupanya.  Dan begitu kita perhatikan lebih jauh lagi, ternyata gajah-gajah itu memang berkampung halaman di Jawa, bahkan sejak jaman Plesistosen. Ditemukan banyak sekali fossils gajah baik itu gigi, rahang,tulang paha dan sebagainya.  Ada fossils gajah asia ( Elephas maximus) yang ditemukan di Cipeundeuy -Padalarang , ada fossils gajah purba Stegodon dan bahkan ada juga fossils gajah yang berasal dari jaman Plesitocene yang disebut dengan Sinomastodon bumiayuensis.

Selain fossils gajah,kita juga bisa melihat fossils ular Phyton retilculatus pertama yang ditemukan di Indonesia. Lokasi penemuannya adalah di Ciharuman, Bandung. Panjangnya lebih dari 5 meter dengan diameter sekitar 30cm.  Lalu kita juga bisa menemukan fossils binatang-binatang lain seperti Harimau Solo (Felis tigris soloensis),  Panthera tigris di Trinil, kura-kura purba dari jaman Peistocene yang ditemukan di Trinil dan binatang-binatang lainnya.

Kita juga bisa melihat sisa-sisa tanaman, seperti fossils daun pakis ataupun fossils kayu dipajang di sana. Semuanya membuat kita berpikir bahwa betapa tuanya umur bumi kita dan isinya ini.

Lalu di ruangan yang berada di sayap kiri,kita bisa melihat berbagai jenis sisa-sisa binatang laut ,mulai dari kulit kerang raksasa (Tridacna gigsa) yang ditemukan di Padalarang – yang membuat kita berpikir, bahwa pada suatu masa di jaman dulu, wilayah Padalarang pernah merupakan wilayah laut dalam yang sekarang terangkat ke permukaan. Lalu ada amonite, berbagai jenis kulit kerang, siput dan lokan yang dikelompokkan berdasarkan habitatnya dan ketinggian wilayahnya seperti kelompok muara dan rawa, sungai dan danau, hutan bakau,paparan dangkal, paparan intermedier dan sebagainya. Tapi yang belakangan saya lihat itu membuat saya ragu, karena saya pikir sebenarnya itu adalah kulit kerang jaman sekarang ya, kelihatannya bukan semuanya fosils.

Lalu kalau kita masuk ke ruangan lain lagi – masih di lanta1, kita akan menemukan jejak-jejak kehidupan manusia purba seperti yang pernah diajarkan di bangku sekolah dulu. Ada berbagai macam replika tengkorak manusia purba dari berbagai belahan dunia di sana. Tentunya saya ingin melihat terutama yang ditemukan di sana. Saya bisa melihata adanya tengkorak Homo erectus yang ditemukan di Sragen, Homo modjokertensis yang ditemukan di Modjokerto, homo sapiens wadjakensis yang ditemukan di Wadjak, Tulungagung , homo erectus soloensis yang ditemukan di Ngandong.

Sangat beruntung saya bisa membawa anak-anak langsung melihat semuanya itu di Museum. Teringat jaman dulu saya bersekolah di Bangli, sebuah kota kecil di tengah pulau Bali – semua informasi ini hanya saya dapatkan dari pelajaran sekolah dan barangkali sedikit dari media yang tersedia pada saat itu.

 

 

Bandung; Mengunjungi Kawah Gunung Tangkuban Perahu.

Standard

Kawah Ratu, G Tangkuban PerahuSaat liburan sekolah nyaris habis, akhirnya saya bisa meluangkan waktu untuk membawa anak-anak bermain ke Bandung. Seperti biasanya, sepanjang perjalanan, saya mengambil kesempatan untuk memberikan introduction mengenai tempat yang akan kami tuju kepada anak-anak. Tentang hal-hal yang berkaitan dengan kota Bandung, terutama yang ada kaitannya dengan pelajaran sekolah, dengan cara melemparkan pertanyaan dan mengingatkan kembali. Misalnya tentang peristiwa Bandung Lautan Api di tahun 1946, kepahlawanan M. Toha, Konferensi Asia Afrika di tahun 1955, tokoh wanita Dewi Sartika dan sebagainya sampai anak saya yang kecil akhirnya kelelahan dan berkata “Ayolah, Ma. Ini kan masih liburan. Pengennya rileks. Jangan ditanya-tanya pelajaran terus. Kayanya cuma mama aja deh yang libur-libur juga ngejelasin pelajaran sekolah ”  katanya protes. Ha ha…ya ada benarnya juga. Mereka kan sedang liburan. Sebaiknya saya jangan terlalu menjejalinya dengan material pelajaran.

Tapi anak saya yang besar malah membela saya ” Aku suka cara mama mengajarkan kita. Diajak melihat dan mengalami sendiri, sambil dijelaskan hubungannya dengan pelajaran sekolah. Itu justru membuat kita sangat mudah mengingat. Nggak perlu harus bersusah payah belajar dan ngapalin. Karena akan hapal sendiri” katanya kepada adiknya. Horee! Testimonial yang sangat baik dari anak saya yang besar. Saya senang.  Tapi ia juga membenarkan sebagian kalimat adiknya, bahwa  ia belum pernah melihat ada mama lain yang menerapkan metode pembelajaran  seperti yang saya aplikasikan pada anak -anak saya. “Temanku mamanya juga seorang dokter. Tapi mamanya tidak explain ini- explain itu, atau test ini test itu,  setiap kali melihat sesuatu. Nggak kaya mama” jelasnya.  Ooh begitu. Akhirnya saya memutuskan untuk  sedikit mengerem pertanyaan-pertanyaan saya.

Ada beberapa tempat yang saya tawarkan kepada keluarga untuk dipilih seperti Observatorium Boscha, Kampung Gajah, Situ Lembang, Gunung Tangkuban Perahu, Museum Geologi dan Trans Studio, namun sayang tidak semua tempat itu bisa kami kunjungi.  Dari semua option itu, anak saya yang besar lebih memilih Observatorium Boscha, Museum Geologi dan melihat kawah Gunung Tangkuban Perahu. Sedangkan yang kecil lebih penasaran akan Kampung Gajah karena melihat gambar-gambar permainan outdoor yang disajikan di dunia maya dan menyangka bahwa di sana benar-benar ada gajah sungguhan. Saya sendiri ingin melihat kawah Gunung Tangkuban Perahu, dan Situ Lembang. Suami saya juga ingin mengajak kami melihat kawah Gunung Tangkuban Perahu. Trans Studio tidak dijadikan pilihan utama kali ini.

Kawah Ratu, G Tangkuban Perahu1Sayang sekali,setelah saya search di internet, Observatorium Boscha yang biasanya terbuka untuk umum di hari Sabtu, kali ini ditutup mengingat bulan puasa. Anak-anak kecewa. Apa boleh buat, mungkin lain kali kami perlu datang kembali. Akhirnya kami memutuskan untuk melihat kawah.

Kami menuju Lembang. Menyusuri jalanan yang menanjak,memasuki hutan pinus dan terus mendaki akhirnya sampailah di kawah Gunung Tangkuban Perahu. Karena jarak sangat dekat dan bahkan kami berada di atas gunung itu, tentu saja tidak bisa melihat bentuk Gunung itu yang mirip perahu panjang yang tertelungkup.

Udara sangat dingin dan gerimis turun sebentar-sebentar. Saya mengajak anak-anak melongokkan kepala untuk melihat kawah. Wow! pemandangan di sini sangat indah.  Bau gas belerang sesekali tercium menyengat dan menyebar dihembuskan angin. Namun tidak menyurutkan rasa ingin tahu  anak-anak. Di dasar kawah tampak genangan air berwarna hijau biru pucat keputihan. Ada dua titik di dasar kawah yang mengepulkan asap putih ke atas. Menandakan gunung itu masih dalam keadaan aktif.

Melihat itu, anak saya yang kecil mulai banyak  berceloteh dan bertanya serta mengkonfirmasi ciri-ciri gunung aktif. Jenis mineral dan batu-batuan yang dikeluarkan akibat letusan. Juga tentang berbagai jenis bentang alam.  Nah, dia membahas sendiri pelajaran sekolahnya!. Bukan saya yang memulai.

Lalu ia bertanya tentang jenis batu-batuan yang ada di sana. Apakah ini mengandung belerang? Apakah ini mengandung emas? Dan bebagai pertanyaan lain yang tentunya tidak semua bisa saya jawab. Saya hanya tahu bahwa mineral yang pasti terkandung adalah belerang alias sulphur. Dan jika itu ada pada batuan, tentunya berwarna kuning. Tapi bukan berarti itu emas. Membedakannya tentu sulit,karena tidak ada pembanding. Pastinya emas akan lebih keras, karena metal. Saya tidak bisa menjelaskan lebih banyak lagi. Ia tampak kecewa dan merasa bahwa ternyata mamanya tidak sepintar yang ia harapkan. Lalu saya ingatkan kepadanya, bahwa saya memang tidak ahli tentang batu-batuan karena tidak belajar di bangku kuliah. Lalu ia bertanya, fakultas apa yang mengajarkan ilmu itu? Saya menjawab “ Itu bisa dipelajari di Fakultas Geologi“.   Lalu ia berkata dengan yakin ” Kalau gitu, aku mau kuliah di Fakultas Geologi kalau nanti sudah besar” katanya. Saya tertawa.  Tentu saja saya pasti mendukung. Apapun pilihannya.

Gerimis turun. Kami berteduh di warung-warung kosong yang tutup karena bulan puasa.  Seorang pedagang topi dan tas bulu menawrkan dagangannya kepada kami.Saya tidak membeli, tapi mengajaknya ngobrol sambil menunggu hujan reda.  Menurutnya gunung ini, memiliki 12 kawah semuanya. (catatan: sebelumnya saya mendapat informasi dari sumber lain bahwa jumlah kawah di sini ada 9).  Tapi Bapak itu sangat meyakinkan dan berkata  bahwa dari 12 kawah itu hanya 4 yang dibuka untuk umum, yakni kawah Ratu, kawah Domas, kawah Upas dan kawah Baru. Yang lain ditutup karena gas yang dikeluarkannya masih berada di level yang membahayakan pengunjung. Kawah yang kami kunjungi ini, bernama kawah Ratu.

1830 mMenurut informasi resmi Gunung ini memiliki ketinggian 2 804 m di atas permukaan laut (dpl), tapi saat berada di kawah Ratu, saya melihat angka 1830 m di pahat di batu. Saya jadi bertanya-tanya, apakah maksudnya bahwa tempat ini bukan yang paling tinggi ya?. Atau apakah terdapat kekeliruan informasi?  Dan tempat ini ternyata sudah masuk wilayah Subang. Ada tulisannya gede-gede di situ. Bukan lagi Bandung – bagian ini barangkali bisa saya pahami karena bisa jadi kawah ini berada di perbatasan Subang – Bandung.

Bapak itu lalu bercerita bahwa pada bulan Oktober 2013,  kawah ini meletus untuk kesekian kalinya dan kawasan ini sempat ditutup sementara. Beliau lalu bercerita tentang bagaimana situasi pada saat itu. Orang-orang dan para pedagang yang berlarian turun menyelamatkan diri. Anak-anak saya mendengarkan dengan penuh perhatian cerita Bapak itu. Saya hanya mengangguk-angguk sambil memikirkan perbedaan informasi yang saya terima.  Namun demikian, tetap saja kunjungan kali ini memberikan pengalaman dan pengetahuan baru baik bagi anak-anak maupun bagi saya sendiri.

Gerimis datang dan pergi. Namun kabut datang dengan lebih pasti. Kami pun turun selagi jarak pandang masih cukup baik.

Melepas Anak Bermain Ice Skating.

Standard

Ice Skating.Sudah sejak lama anak-anak menyampaikan keinginannya untuk bermain Ice Skating kepada saya.  Karena dua hal, saya belum bisa memenuhinya. Pertama, karena saya sendiri tidak bisa bermain Ice Skate, sehingga tidak bisa menemani. Dan yang ke dua, saat liburan sekolah begini, saya masih cukup sibuk di kantor, sehingga belum  punya waktu untuk menemani mereka. Namun anak-anak  tidak kehilangan akalnya. Merasa cita-citanya tidak kesampaian ditemani bermain Ice Skating oleh saya, mereka rupanya menitipkan diri pada seorang tetangga yang kebetulan anaknya yang bernama Matthew  adalah sahabat karib mereka. Mamanya  Matt meninggalkan pesan di telpon genggam saya, bahwa mereka sedang bermain Ice Skating di Bintaro X-change. Sepulangnya   mereka berceloteh betapa menyenangkannya bermain Skate di atas lapangan yang berlapis es.

Beruntungnya punya tetangga yang juga sekaligus ibu dari teman-teman bermainnya anak-anak. Jika sibuk, jadi kami bisa bergantian menemani anak-anak melakukan aktifitasnya. Karena minggu kemarin saya kebetulan di rumah, dan anak-anak  minta bermain Ice Skating lagi, tentu  kali ini giliran saya untuk menemani mereka. Yang bermain ada empat orang anak.

Tiba di Bintaro X-change pukul dua siang. Anak-anak memesan ticket yang harganya sedikit lebih mahal karena weekend. Ticketnya seharga Rp 70 000/orang pada saat weekend. Dan saya mengingatkan agar anak-anak juga mengenakan glove agar tidak kedinginan saat berada di ruangan es dan menyewa sebuah locker untuk menyimpan barang bawaannya.

Lapangan terlihat sangat penuh. Maklum musim liburan sekolah. Katanya Ice Skating ring yang ada di dekat rumah ini adalah Ice skating yang terbaik dan terluas di Indonesia. Saya tidak tahu kebenarannya. Namun bisa jadi sih. Rasanya lapangan es yang saya lihat di Malaysia, agak lebih kecil dari yang ini.

Saat akan masuk, petugas menginformasikan bahwa setengah jam  lagi  akan dilakukan pelapisan es. Proses pelapisan es akan memakan waktu setengah jam sendiri. Ia menyarankan agar anak-anak masuk sekitar jam tiga saja.  Saya melongokkan kepala saya ke lapangan es dan memang lapangan itu mulai kelihatan mencair. Saya setuju dan menjelaskan keadaan itu pada anak-anak. Merekapun setuju untuk menunda masuk, lalu mengisi waktu dengan bermain games di  counter Hawaii. Saya memutuskan untuk duduk di Food Exchange satu lantai di atas Ice Skating ring itu dan melihat proses pelapisan es dilakukan oleh petugas.

Pukul tiga sore, anak-anak turun ke ring. Ke dua anak saya kelihatan belum bisa bermain dengan baik. Namun atas bantuan Matt yang kelihatan lebih percaya diri dan lebih jago, perlahan-lahan yang kecil  mulai bisa bergerak sedikit ke tengah. Mulai melepaskan pegangannya di tepi ring.

Ia mulai berjalan pelan-pelan. Sempat terjatuh sekali, lalu bangkit lagi. Kelihatan tidak patah semangat sama sekali. Berdiri dan mencoba bergerak lagi. Kali ini lebih stabil. Ia melepaskan tangannya sama sekali dari ring dan berjalan ke tengah dituntun Matt. Saya melihat betapa tinggi tingkat kesabaran  si Matt dalam menuntun dia agar bisa lepas berjalan sendiri di tengah-tengah lapangan es. Beberapa saat kemudian ia sudah mulai bisa bergerak sendiri, meluncur dan melakukan aktifitas seperti halnya orang-orang lain di lapangan es itu. Ah, big thanks to Matt!. Ketika anak saya mulai bergerak sendiri,Matt tetap mengikuti dengan pandangannya dan sesekali mendekat untuk memastikan sahabatnya itu baik-baik saja. Sehingga ia sendiri mengorbankan waktunya sendiri untuk bersenang-senang demi memastikan sahabatnya bisa meluncur sendiri.  Hanya setelah lebih dari dua jam dan anak saya memutuskan untuk berhenti bermain,barulah Matt kelihatan  meluncur sendiri  dengan kecepatan yang tinggi,menikmati permainannya sendiri dan enjoy life!.  Saya terharu melihat persahanatan luar biasa yang ditawarkan Matt kepada Aldo, anak saya.

Anak saya yang gede kelihaannya tidak mengalami kemajuan sebaik adiknya. Kerjanya hanya nempel dan berpegangan di pinggir ring saja. Namun demikian ketika saya tanya apakah ia ketakutan, putus asa atau masih tertarik untuk bermain Ice Skating? Iia mengatakan ia bahwa ia masih tetap ingin mencoba. Melihat itu semua saya berpikir lain kali saya  akan mencarikan coach yang benar untuk mengajarkan anak saya agar bisa bermain Ice Skating dengan baik dan benar.

Pelajaran yang saya ambil dalam menemani anak bermain Ice Skating ini antara lain:

1/.  Karena lapangan es cukup licin, dibutuhkan keberanian dan kesiapan mental untuk jatuh, dan kesediaan untuk bangun kembali. Dorong anak yang memang tertarik dan memiliki minat besar untuk bermain Ice Skating. Jika anak mengatakan takut untuk mencoba sejak awal, sebaiknya jangan dipaksa. Omong-omong, bermain Ice Skating ini juga cukup bagus untuk keberanian dan melatih mental siap jatuh bangun dari anak.

2/.  Anak yang belum sukses pada hari pertama, bukan berarti tidak akan sukses di kali berikutnya. Jika ia menyatakan tetap berminat, perlu dibantu oleh orang yang sudah lebih pengalaman dan berani. Atau jika tidak ada, mencarikannya seorang coach bisa jadi merupakan hal yang tepat.

3/ Sahabat merupakan orang yang tepat bagi anak untuk diajak bersama bermain.Mereka bisa saling mendukung dan saling menyemangati.

4/. Pastikan anak-anak berpakaian dengan cukup baik agar tidak mudah kedinginan. Sarung tangan dan kaus kaki bisa disewa, tapi jika sering bermain,  lebih baik bawa sendiri dari rumah.  Cegah anak bermain Ice Skating dalam keadaan flu. Karena dingin es akan menambah beban pada hidungnya.

Dan pelajaran terakhir yang sangat menyentuh hati saya kali ini adalah tentang persahabatan yang tulus pada anak-anak – dimana saya bisa melihat sebuah bentuk kebersamaan dan dukungan penuh terhadap sahabat yang berada diatas kepentingan sendiri yang ditunjukkan oleh Matt kepada saya. Sekali lagi, thanks to Matt for the inspiration!.