Saat liburan sekolah nyaris habis, akhirnya saya bisa meluangkan waktu untuk membawa anak-anak bermain ke Bandung. Seperti biasanya, sepanjang perjalanan, saya mengambil kesempatan untuk memberikan introduction mengenai tempat yang akan kami tuju kepada anak-anak. Tentang hal-hal yang berkaitan dengan kota Bandung, terutama yang ada kaitannya dengan pelajaran sekolah, dengan cara melemparkan pertanyaan dan mengingatkan kembali. Misalnya tentang peristiwa Bandung Lautan Api di tahun 1946, kepahlawanan M. Toha, Konferensi Asia Afrika di tahun 1955, tokoh wanita Dewi Sartika dan sebagainya sampai anak saya yang kecil akhirnya kelelahan dan berkata “Ayolah, Ma. Ini kan masih liburan. Pengennya rileks. Jangan ditanya-tanya pelajaran terus. Kayanya cuma mama aja deh yang libur-libur juga ngejelasin pelajaran sekolah ” katanya protes. Ha ha…ya ada benarnya juga. Mereka kan sedang liburan. Sebaiknya saya jangan terlalu menjejalinya dengan material pelajaran.
Tapi anak saya yang besar malah membela saya ” Aku suka cara mama mengajarkan kita. Diajak melihat dan mengalami sendiri, sambil dijelaskan hubungannya dengan pelajaran sekolah. Itu justru membuat kita sangat mudah mengingat. Nggak perlu harus bersusah payah belajar dan ngapalin. Karena akan hapal sendiri” katanya kepada adiknya. Horee! Testimonial yang sangat baik dari anak saya yang besar. Saya senang. Tapi ia juga membenarkan sebagian kalimat adiknya, bahwa ia belum pernah melihat ada mama lain yang menerapkan metode pembelajaran seperti yang saya aplikasikan pada anak -anak saya. “Temanku mamanya juga seorang dokter. Tapi mamanya tidak explain ini- explain itu, atau test ini test itu, setiap kali melihat sesuatu. Nggak kaya mama” jelasnya. Ooh begitu. Akhirnya saya memutuskan untuk sedikit mengerem pertanyaan-pertanyaan saya.
Ada beberapa tempat yang saya tawarkan kepada keluarga untuk dipilih seperti Observatorium Boscha, Kampung Gajah, Situ Lembang, Gunung Tangkuban Perahu, Museum Geologi dan Trans Studio, namun sayang tidak semua tempat itu bisa kami kunjungi. Dari semua option itu, anak saya yang besar lebih memilih Observatorium Boscha, Museum Geologi dan melihat kawah Gunung Tangkuban Perahu. Sedangkan yang kecil lebih penasaran akan Kampung Gajah karena melihat gambar-gambar permainan outdoor yang disajikan di dunia maya dan menyangka bahwa di sana benar-benar ada gajah sungguhan. Saya sendiri ingin melihat kawah Gunung Tangkuban Perahu, dan Situ Lembang. Suami saya juga ingin mengajak kami melihat kawah Gunung Tangkuban Perahu. Trans Studio tidak dijadikan pilihan utama kali ini.
Sayang sekali,setelah saya search di internet, Observatorium Boscha yang biasanya terbuka untuk umum di hari Sabtu, kali ini ditutup mengingat bulan puasa. Anak-anak kecewa. Apa boleh buat, mungkin lain kali kami perlu datang kembali. Akhirnya kami memutuskan untuk melihat kawah.
Kami menuju Lembang. Menyusuri jalanan yang menanjak,memasuki hutan pinus dan terus mendaki akhirnya sampailah di kawah Gunung Tangkuban Perahu. Karena jarak sangat dekat dan bahkan kami berada di atas gunung itu, tentu saja tidak bisa melihat bentuk Gunung itu yang mirip perahu panjang yang tertelungkup.
Udara sangat dingin dan gerimis turun sebentar-sebentar. Saya mengajak anak-anak melongokkan kepala untuk melihat kawah. Wow! pemandangan di sini sangat indah. Bau gas belerang sesekali tercium menyengat dan menyebar dihembuskan angin. Namun tidak menyurutkan rasa ingin tahu anak-anak. Di dasar kawah tampak genangan air berwarna hijau biru pucat keputihan. Ada dua titik di dasar kawah yang mengepulkan asap putih ke atas. Menandakan gunung itu masih dalam keadaan aktif.
Melihat itu, anak saya yang kecil mulai banyak berceloteh dan bertanya serta mengkonfirmasi ciri-ciri gunung aktif. Jenis mineral dan batu-batuan yang dikeluarkan akibat letusan. Juga tentang berbagai jenis bentang alam. Nah, dia membahas sendiri pelajaran sekolahnya!. Bukan saya yang memulai.
Lalu ia bertanya tentang jenis batu-batuan yang ada di sana. Apakah ini mengandung belerang? Apakah ini mengandung emas? Dan bebagai pertanyaan lain yang tentunya tidak semua bisa saya jawab. Saya hanya tahu bahwa mineral yang pasti terkandung adalah belerang alias sulphur. Dan jika itu ada pada batuan, tentunya berwarna kuning. Tapi bukan berarti itu emas. Membedakannya tentu sulit,karena tidak ada pembanding. Pastinya emas akan lebih keras, karena metal. Saya tidak bisa menjelaskan lebih banyak lagi. Ia tampak kecewa dan merasa bahwa ternyata mamanya tidak sepintar yang ia harapkan. Lalu saya ingatkan kepadanya, bahwa saya memang tidak ahli tentang batu-batuan karena tidak belajar di bangku kuliah. Lalu ia bertanya, fakultas apa yang mengajarkan ilmu itu? Saya menjawab “ Itu bisa dipelajari di Fakultas Geologi“. Lalu ia berkata dengan yakin ” Kalau gitu, aku mau kuliah di Fakultas Geologi kalau nanti sudah besar” katanya. Saya tertawa. Tentu saja saya pasti mendukung. Apapun pilihannya.
Gerimis turun. Kami berteduh di warung-warung kosong yang tutup karena bulan puasa. Seorang pedagang topi dan tas bulu menawrkan dagangannya kepada kami.Saya tidak membeli, tapi mengajaknya ngobrol sambil menunggu hujan reda. Menurutnya gunung ini, memiliki 12 kawah semuanya. (catatan: sebelumnya saya mendapat informasi dari sumber lain bahwa jumlah kawah di sini ada 9). Tapi Bapak itu sangat meyakinkan dan berkata bahwa dari 12 kawah itu hanya 4 yang dibuka untuk umum, yakni kawah Ratu, kawah Domas, kawah Upas dan kawah Baru. Yang lain ditutup karena gas yang dikeluarkannya masih berada di level yang membahayakan pengunjung. Kawah yang kami kunjungi ini, bernama kawah Ratu.
Menurut informasi resmi Gunung ini memiliki ketinggian 2 804 m di atas permukaan laut (dpl), tapi saat berada di kawah Ratu, saya melihat angka 1830 m di pahat di batu. Saya jadi bertanya-tanya, apakah maksudnya bahwa tempat ini bukan yang paling tinggi ya?. Atau apakah terdapat kekeliruan informasi? Dan tempat ini ternyata sudah masuk wilayah Subang. Ada tulisannya gede-gede di situ. Bukan lagi Bandung – bagian ini barangkali bisa saya pahami karena bisa jadi kawah ini berada di perbatasan Subang – Bandung.
Bapak itu lalu bercerita bahwa pada bulan Oktober 2013, kawah ini meletus untuk kesekian kalinya dan kawasan ini sempat ditutup sementara. Beliau lalu bercerita tentang bagaimana situasi pada saat itu. Orang-orang dan para pedagang yang berlarian turun menyelamatkan diri. Anak-anak saya mendengarkan dengan penuh perhatian cerita Bapak itu. Saya hanya mengangguk-angguk sambil memikirkan perbedaan informasi yang saya terima. Namun demikian, tetap saja kunjungan kali ini memberikan pengalaman dan pengetahuan baru baik bagi anak-anak maupun bagi saya sendiri.
Gerimis datang dan pergi. Namun kabut datang dengan lebih pasti. Kami pun turun selagi jarak pandang masih cukup baik.
Waaa asyik ya mbak, liburan sambil belajar 😀
saya belum pernah ke sana
LikeLike
idihhhhh seru banget sis yoooo 😀
LikeLike
Tangkuban Parahu masuk dua wilayah, Mbak. Kabupaten Subang & Kabupaten Bandung Barat. Dan kalau mau liat bentuk seperti perahu terbalik, liatnya dari rumah saya aja yuk … hehehe.
LikeLike
Wah akhirnya sempat jalan-jalan juga, Mbak 🙂
Soal hasil ngobrol dengan penduduk setempat, memang sering kali penduduk setempat melebih-lebihkan sih, Mbak. Tinggal kitanya yang kadang dibuat puyeng karena harus menyaring mana yang bener dan mana yang kurang tepat
LikeLike
salut banget sama bunda Made yang bisa ngajarin anak-anaknya sambil liburan. 😀
dulu sempat juga ke gunung tangkuban perahu pas perpisahan sd. jadi ingin ke sana lagi nih. 😉
*padahal tinggal di Bandung*
LikeLike
sudah di buka kembali ya bun tangkuban perahunya
LikeLike
aku terakhir ke tangkuban perahu itu waktu masih kecil kalo ga salah… belakangan kalo ke bandung cuma buat nengokin sodara ama makan2 doang hehehehehe…
LikeLike
Masuk jurusan Geologi karena terinspirasi dari Gunung Tangkuban Perahu ya, Mbak.. Hihihi.. Asik jugak tuh 😛
LikeLike
Pernah sekali turun ke kawah tangkuban perahu tapi pas naiknya lagi minta ampun… Cape banget… Huahahaha
LikeLike
wah seru liburannya ya Bu…anak yang kecil suka science ya Bu…
LikeLike
Saat liburan memang saatnya senang-2 tapi juga belajar sama anak. Biar tetap ingat sama pelajaran… hehee…
LikeLike
Duh jadi inget masa kuliah, beberapa kali hiking kesana dari lembang lewat Jayagiri, ke kawah Domas terus ke puncak. Jadi kepengen kesana lagi 🙂
LikeLike