Menyimak GEISHA. Kumpulan Puisi Ersa Sasmita. 

Standard

​Suatu kali mata saya tertumbuk pada sebuah prosa kecil di timelinenya Pak Ersa Sasmita di Facebook. Judulnya “Lukisan Yang Cemburu“. Entah kenapa saya tergelitik untuk menguntit kata demi kata, kalimat demi kalimat yang nenyusunnya hingga cerita berakhir. Semua dengan hati dag dig dug, antara rasa takut dan ingin tahu. Akhirnya berakhir dengan satu desahan kagum akan kepiawaian Pak Ersa merangkai kalimat dan mempermainkan emosi pembacanya. 
Kali berikutnya, saya mengintip lagi sebuah tulisannya yang lain. Kali ini berjudul “Sepasang KunangKunang Mati Di Matanya“. Melalui perjalanan emosi yang berbeda, namun berujung sama yakni ‘decak kekaguman akan kepiawaian Pak Ersa merangkai kalimat dan menorehkan cerita’. Plus kali ini saya salut, bagaimana perjalanan hubungan dari sepasang kekasih Ray-Liana  bisa terangkum hanya dengan menggunakan satu setting saja, yakni di Stasiun Kereta. 

Gara-gara membaca dua prosa itu, membuat saya penasaran akan karya-karya Ersa Sasmita yang lain. Maka berupayalah saya agar bisa membaca buku “GEISHA”kumpulan puisi dari Pak Ersa Sasmita. Sepemahaman saya, buku ini belum lama diterbitkan. Dan saya mendapatkannya melalui pemesanan online.

Nah minggu yang lalu buku ini datang. Dan membuat saya begadang saking penasarannya. Lalu apa komentar saya? 

Terus terang kata pertama yang bisa saya tuliskan adalah “Terkejut”.  Sungguh. Saya sangat terkejut dengan apa yang saya temukan di dalamnya. Di luar dugaan saya. 

Biarlah saya bercerita sedikit di sini…

Buku ini mengandung 95 buah puisi yang terbagi dalam 3 kantung penuh. 

Kantung pertama diberi judul ‘Nyanyian Kehidupan‘. Jika saya perhatikan, puisi-puisi di dalam kantung pertama ini memang bercerita tentang kehidupan, tetapi lebih fokusnya lagi tentang kehidupan tokoh perempuan yang tercetak dalam catatan sejarah maupun dalam cerita-cerita yang mengalir di masyarakat dunia. Dimulai dengan Wang Qiang, Xi Shi, lalu ada Geisha, Al Khayzuran Binti Atta, Malahayati, Inggit, Banowati, Arimbi, Dedes dan masih banyak lagi. Semuanya ada 22 buah puisi. 

Membaca puisi-puisi ini bagi saya jadi seperti membaca sejarah. Terus terang, tidak semua tokoh yang disebutkan di sini saya ketahui. Ada beberapa (bahkan cukup banyak) yang saya tidak tahu sebelumnya:  sama sekali tidak tahu, belum pernah membaca kisahnya atau pernah dengar tetapi tidak tahu ceritanya. Sangat jelas tertangkap di sini, jika pengarangnya memberikan tambahan pengetahuan tentang tokoh yang dimaksud kepada pembacanya melalui puisi. 

Hmmm… dimana ya saya menemukan  approach dengan content penulisan puisi serupa ini?  Tidak umum dalam puisi-puisi modern. Apa dalam kesusatraan kuno ya? Atau justru dalam modern Science poetry?  Rasa kenal, tapi sulit buat saya nge’recall’. Yang jelas, setelah membaca puisi ini saya merasa sedikit lebih ‘pandai’ dari sebelumnya. Yang tentunya itu tidak terjadi saat saya membaca puisi-puisi lain. 

Hal lain yang unik dari puisi-puisi di kantong pertama ini adalah gaya penuturannya. Aneh dan nyeleneh buat sebuah puisi. 

 Jangan berharap menemukan kata-kata atau kalimat berbunga-bunga yang melambungkan rasa ini ke alam mimpi. Atau kalimat heroik patriotik seperti yang umum kita temukan dalam puisi.   Tidak ada. Saya sendiri terkecoh. Karena gaya bahasa yang dipakai di sini sangat naratif, simple dan mudah. Mirip orang ngobrol. Walaupun masih tetap mengindahkan rhyme dan kepadatan content.

Puisi puisi di kantong pertama ini lahir semuanya di tahun 2016. Jadi masih ‘fresh from the oven’ ya. 

Berikutnya di kantung ke dua yang berjudul “Nyanyian Rimba” ada 16 buah puisi. Isinya tentang hewan semua – lah …memang judulnya Nyanyian Rimba kok. Ya tentang Gagak, Buaya, Srigala, Belalang dan lain sebagainya. 

Masih sama dengan yang di kantong pertama, puisi-puisi di kantung ke dua ini juga menggunakan content approach dan gaya penulisan naratif dan simple serta mudah dimengerti. Dan saya perhatikan kebanyakan diciptakan di tahun 2016. 

Begitu memasuki kantung ke 3 yang diberi tajuk “Nyanyian Cinta“, tiba-tiba saya merasakan suhu yang berbeda. Ibarat memasuki babak kehidupan yang lain, terasa bahwa suasana, warna, desahan nafasnya pun berbeda. 

Untaian kata -kata penuh kerinduan, kenangan dan harapan terjalin sangat indah yang sangat melambungkan imajinasi ke negeri impian. Duhai betapa indahnya. 

Ini puisi seperti dalam pengharapan saya akan karya -karya Pak Ersa. Jumlah puisi paling banyak ada di kantung ke 3 ini dan setelah saya perhatikan lahir dari tahun tahun 2013, 2014 dan 2015. Hanya sedikit yang lahir di tahun 2016. 

Namun beberapa saat setelah mengecap semua keindahan kata kata yang dituangkan oleh Pak Ersa dalam kantung ketiganya, seketika saya menyadari kerinduan untuk kembali membaca ulang  dan menghayati puisi puisi dari kantung yang pertama dan kedua. Begitu berbeda. Dan begitu tidak biasa.Sangat menarik perhatian saya seperti magnet. Disitulah kekuatan Pak Ersa sebagai sastrawan, membuat karya-karyanya berbeda dan tidak kebanyakan. 

Dan sekarang saya mengerti, laksana kehidupan, puisipun bergerak. Ia tumbuh dan dinamis agar bisa tetap hidup di hati penggemarnya. Ia harus terus berubah dan mencari bentuk baru. Dan karenanya, seseorang harus berani memulai. Memulai untuk mengekspresikan pemikiran dan perasaannya dengan gaya penulisan dan pendekatan content yang berbeda. 

Salut Pak Ersa Sasmita!. 

“….. sebab mati memelukmu, puisi. Bagiku tetaplah indah.” 

=Ersa Sasmita 2014=

10 responses »

  1. Sebelum ibu menulis artikel ini saya mengira kalau puisi model naratif yang dimuat di koran2 itu untuk menghemat halaman, ternyata puisi model baru tho? Namun saya lebih tertantang mencari makna dari puisi2 model lama yang setiap barisnya ada arti tersendiri, kemudian ½ atau 1 baitnya ada artinya lagi, kemudian ½ atau seluruh puisi itu terdapat maknanya, seperti puzzle itu. Kalau ibu suka, ibu bisa membaca karyanya Kedung Dharma dari Jogya, saya dibikin mumet bener. Kalau puisi model naratif biasanya saya membacanya ya sambil menggelinding saja, tidak meresap. Tapi toh itu terserah orangnya saja kan bu … Apa ibu bisa menceritakan proses adanya puisi naratif dan siapa pencetusnya? Terima kasih …

    Like

  2. Selalu kagum dengan penulis puisi, bagaimana merangkum suatu kisah pembelajaran panjang dalam rangkaian kata yang efektif dan indah. Terima kasih Jeng Dani, berbagi kedalaman geisha-nya Pak Ersa Sasmita. Salam

    Like

  3. Pingback: Loksado Writers & Adventure 2017. Pertemuan Sastrawan, Gagasan & Pesonanya. | nimadesriandani

Leave a comment