BUKAN WARGA

Standard

Pagi-pagi Mbak yang bekerja di rumah cerita pada saya, jika pohon kelengkeng yang tumbuh di halaman depan Posko Warga, batangnya patah dan tumbang gegara hujan angin semalam.

“Oh ya?”. Berarti saya tidur terlalu lelap semalam, hingga tak sadar ada hujan angin dahsyat yang bisa menumbangkan pohon.

“Padahal buahnya lagi lebat ya?”, sesal saya. Ingat kapan hari lewat di situ, buahnya tampak banyak dan sudah besar-besar, walaupun mungkin belum matang saat itu. Tentu sebentar lagi pasti ranum.

“Ya. Di sini yang beruntung selalu Tukang Sapu” katanya. Saya tertawa. Di perumahan ini ada beberapa orang tukang sapu yang bekerja memelihara taman dan jalanan serta fasilitas umum lain.

Tentu saja. Karena ia yang datang pagi-pagi, menemukan ada banyak buah jatuh di areal fasilitas umum untuk warga, ya dia ambillah. Masuk akal. Setahu saya memang tidak ada larangan untuk mengambil buah di fasilitas umum sepanjang tidak merusak. Beberapa kali saya lihat, Tukang Sapu mengambil buah sukun, rambutan, jambu kelengkeng, mangga, nangka yang tumbuh di fasilitas umum perumahan. Kadang-kadang warga yang lain juga mengambil.

“Pernah supirnya Bapak yang di depan itu ngambil rambutan di taman, dimarahi tukang sapu. Padahal cuma satu biji, Bu” katanya.

“Oh kenapa?” Tanya saya heran. Kan rambutan itu ditanam oleh pihak developer di taman perumahan yang merupakan fasilitas umum perumahan dan diperuntukkan bagi warga. Siapa saja warga di sini boleh mengambil jika mau dan jika ada tentunya 😀.

“Tapi kata Tukang Sapu supir itu tidak boleh mengambil, karena dia bukan warga” jelasnya.

Kenapa Supir itu dianggap bukan warga di sini ? Ooh, karena Supir itu tidak tinggal di perumahan ini. Ia hanya bekerja di sini, tetapi pulang pergi.

“Sama seperti saya, Bu. Kerja pulang pergi ke rumah Ibu di sini, tapi tidak menginap. Bukan warga. Jadi tidak boleh mengambil buah-buahan di taman”

Sebentar dulu ….

“Lha, tukang sapu itu, bukannya juga kerja pulang pergi saja dan tidak menginap di perumahan ya ? Bukan warga juga kan? Berarti tidak boleh mengambil juga? Tapi mengapa dia mengambil ? “

“Ya Bu. Dia bilang begitu, agar dia sendiri yang bawa pulang” katanya.

Ah! Dunia aneh-aneh saja. Mengapa ada orang yang mengaku lebih punya hak daripada orang lain, padahal diapun sebenarnya tidak punya hak. Sementara yang punya hak diam saja 🤣🤣🤣

REBUNG

Standard

Semalam Sity Nafsiyah tiba-tiba nge-chat saya apakah masih suka jalan pagi apa tidak. Yah.. sebenarnya tergantung mood sih. Lha kenapa memangnya?

Rupanya dia mengingatkan akan musim hujan begini adalah musim jamur dan musim rebung. Oh ya, saya jadi teringat. Entah kenapa musim penghujan kali ini saya tidak nemu jamur barat seperti tahun-tahun sebelumnya ya. Biasanya banyak bertumbuh di bawah pohon mangga di halaman, atau di taman.

Kalau rebung? Saya kurang memperhatikan. Tapi tadi sambil jalan pagi saya & Dewi coba mampir ke ujung belakang perumahan dimana banyak ditanam pohon bambu hias di sana sebagai penutup pagar perumahan. Pohon-pohon bambu itu tumbuh di sepanjang tembok perumahan yang cukup panjang.

Waah… betul. Ada banyak rebung yang saya lihat muncul di situ.

Kata tukang sayur, banyak ibu-ibu warga perumahan, ibu- ibu tukang taman, atau ibu-ibu yang kerja rumah tangga di perumahan, sudah pada ngambilin rebung-rebung itu sebelumnya, buat diolah jadi masakan. Rebungnya enak dan tidak pahit, katanya.

Kami pun mengambil secukupnya. Masih cukup banyak yang tersisa. Saya pikir kami harus menyisakan untuk orang lain yang mungkin ingin mengambil juga setelah kami. Selain itu, tetap menyisakan cukup banyak rebung demi keberlangsungan generasi pohon bambu ini tetap terjaga. Kalau diambilin rebungnya semua, ntar nggak ada lagi dong pohon bambunya 😀

Yang kami ambil inipun sudah banyak. Lebih dari cukup. Rencananya mau dibagi dua.

Sebagian dibuat Sayur Lodeh Rebung untuk lauk makan siang, dan sebagian lagi mau coba bikin Lumpia Rebung Ayam buat cemilan nanti sore.

Selama ini saya tidak terlalu tertarik pada rebung, karena rebung yang saya temukan di pasar jarang yang segar. Biasanya sudah direndam beberapa hari dan menurut saya itu bau. Sehingga hasil masakan yang menggunakan rebungpun sering bau.

Nah ini baru pertama kalinya di dapur saya, rebung segar yang baru dipetik langsung dimasak. Ternyata emang enaak bangeeet 😋😋😋. Tidak pahit, tidak bau. Tapi enak dan lezaat

BANYU PINARUH. Menjaga Tradisi Ibu.

Standard
Banyu Pinaruh

Hari ini adalah hari Reditè Paing Wuku Sinta dalam kalender traditional Bali. Hari yang mengawali wewukon baru. Hari ini juga disebut dengan nama Rainan Banyu Pinaruh. Tepat satu hari setelah hari Saraswati yang jatuh pada Saniscara Umanis wuku Watugunung.

Hari Banyu Pinaruh adalah bagian dari rangkaian hari raya Saraswati yang dirayakan sebagai hari penghormatan terhadap turunnya Ilmu Pengetahuan, Kesenian, Keindahan dan Kebijaksanaan (knowledge, art, beauty & wisdom).

Jika hari Saraswati adalah perayaan atas turunnya ilmu, maka hari Banyu Pinaruh adalah perayaan atas penerimaan ilmu pengetahuan itu sendiri oleh diri kita.

Hari ini selalu mengingatkan saya akan Ibu dan Kompyang (Eyang Buyut) saya. Akan masa kecil saya yang indah dan sangat menyenangkan.

Di hari ini, biasanya kami akan memulai pagi dengan membersihkan diri serta membasuh pikiran dari segala kekotoran, yang secara simbolik dilakukan dengan mandi di mata air seperti di Anakan atau di Arca (banyak masyarakat yang lain mandi di pantai), atau di rumah saja dengan menggunakan air kumkuman.

Ini adalah ritual pembasuhan dari segala bentuk kegelapan, kebodohan , kekotoran jiwa serta segala bentuk ketidaktahuan manusia.

Air kumkuman adalah air wangi yang dibuat oleh Ibu atau Kompyang saya pada hari sebelumnya, dengan cara mengasapi Jun (periuk tanah liat) dengan bahan wewangian yang dibakar – misalnya dari berbagai jenis kayu-kayuan (cendana/sandalwood, gaharu/oud, kemenyan/styrax, akar wangi/vetiver, dsb), agar segala bakteri dan kuman lain mati dan periuk menjadi wangi.

Mungkin teman-teman tertawa mendengar kata kemenyan 😀, bisa jadi karena di daerahnya kemenyan dikaitkan dengan mahluk halus ya 😀.

Tapi di Bali, karena tidak ada orang yang mengaitkan kemenyan dengan mahluk halus, jadi tidak ada orang yg takut dengan kemenyan. Kemenyan murni dilihat hanya sebagai bahan wewangian atau bahan parfum saja.

Demikian juga di dunia parfum, keempat bahan yang saya sebutkan di atas itu, termasuk kemenyan adalah bahan-bahan utama yang banyak digunakan dalam pembuatan parfum yang mahal- mahal.

Periuk lalu diisi air penuh lalu ditambahkan bunga-bunga wangi seperti cempaka dan irisan daun pandan arum. Lalu didiamkan semalam.

Mandi dan keramas dengan air kumkuman membuat tubuh wangi dengan sangat awet.

Untuk menambah awet wangi, biasanya Kompyang saya juga akan mengasapi tubuh dan rambut saya dengan ratus. Menurutnya ini penting, karena anak perempuan harus selalu awet wangi. Dan betul. Jika diratus, saya merasa wangi hingga berhari-hari, walaupun sudah berkeringat dan mandi serta keramas lagi dengan shampoo, tapi wangi ratusnya masih tercium enak.

Setelah sembahyang, berterimakasih dan bersyukur atas dianugerahkannya ilmu pengetahuan dan kebijaksanaan, maka kami merayakannya dengan makan Nasi Labaan.

Nasi Labaan adalah Nasi kuning yang dimasak dengan menggunakan air kunyit dan pandan arum, dihidangkan dengan lauk ayam suir atau udang, telor dadar, saur (serundeng), sedikit kecicang (kecombrang/honje), kecai (kacang yang baru tumbuh dari biji), sebagai simbol bersyukur.

Dan tidak lupa Kompyang saya juga menyiapkan Loloh Kunyit untuk saya minum agar saluran pencernaan bersih dan wajah tampak cerah.

Saya mengenang kembali masa kecil indah itu saat di Bali dan setiap hari Banyu Pinaruh, saya selalu membuat Nasi Labaan dan minum Loloh Kunyit. Air Kumkuman dan ratus, terkadang buat, terkadang tidak. Tergantung mood 😀

Saya pikir, tradisi Banyu Pinaruh ini bisa jadi datang dari tradisi orang-orang Jawa Timur yang bermigrasi ke Bali pada jaman Majapahit. Dan tetap terjaga di Bali. Senentara saya tidak tahu, apakah masyarakat Jawa Timur masih mempertahankan budaya dan tradisi aslinya ini.

Saya berpikir demikian, karena tradisi ini diturunkan oleh Kompyang dari pihak Ibu saya dan terjaga di keluarga Ibu saya yang memiliki marga Pande – klan ini merupakan keturunan dari para Mpu di tanah Jawa – termasuk dengan Mpu Gandring yang disebut-sebut dalam sejarah Singasari.

Sementara, di keluarga ayah saya sendiri yang merupakan masyarakat Bali Mula (Bali asli), tidak memiliki tradisi ini.

TUMIS KEMBANG TURI MERAH

Standard
Tumis Kembang Turi Merah

Teman-teman saya sudah bisa menebak, jika saya akan memasak Kembang Turi Merah di dapur, dengan melihat postingan saya sebelumnya di Sosmed tentang kembang Turi merah yang cantik jelita, yang mekar di pohonnya. (Pohon Turi merah itu aslinya milik tetangga saya – saya cuma memotret doang – saya tak punya pohon Turi 😀).

Kembang Turi Merah

Kali ini saya masak dengan menumis bunganya yang cantik ini. (Saya membeli sebungkus Kembang Turi Merah di pasar – jadi bukan ngambil milik tetangga 😀😀😀)

Pertanyaan yang paling sering dalam memasak Kembang Turi adalah bagaimana caranya memasak kembang Turi yang enak dan tidak pahit ?

Buang tangkai putik dan benang sarinya kembang turi agar tidak pahit jika dimasak.

Caranya gampang. Bersihkan bunga Turi dan buang tangkai putik beserta benang sarinya – karena bagian bunga inilah yang membawa rasa pahit pada bunga Turi. Jadi yang kita masak itu adalah bagian mahkota
Dan kelopak bunganya saja.

Nah, setelah dibersihkan, sekarang kembang Turi ini siap dimasak apa saja.
Kebetulan saya paling suka tumis Kembang Turi. Jadi bumbunya ya bumbu tumis sederhana saja yaitu bawang merah, bawang putih, cabe dan sedikit garam. Bagi yang mau penyedap silakan tambahin sendiri secukupnya, tapi bagi yang tak suka ya jangan ditambahin. Demikian juga gula, terasi dan tomat. Silakan ditambahi sendiri jika suka. Karena selera berbeda-beda dan kondisi kesehatan juga berbeda-beda.

Tumis Kembang Turi Merah

Kalau saya suka menambahi sedikit- sedikit (seujung kecil sendok teh) semua bahan itu agar rasanya jadi kaya, kecuali Tomat. Saya kurang menyukai campuran rasa tomat di tumis Kembang Turi ini.

Untuk penyedap, bagi yang nggak mau kena micin 😀 bisa diganti dengan daun salam.

UANG.

Standard

Suatu ketika saya pergi ke pasar untuk membeli sayur mayur yang jarang-jarang dibawa oleh tukang sayur keliling. Saya menemukan dan membeli sayuran jarang seperti genjer, daun pepaya, kembang turi, daun pakis, pucuk labu dsb. Saya jarang pergi ke pasar, jadi saya sekalian belanja sayuran untuk masak beberapa hari.

Saya pikir, tentunya sayuran jarang ini akan sangat menarik di hidangkan di meja makan. Saya akan memasak bergantian. Hari ini makan siang dengan sayur genjer, makan malam kembang turi, besok siang daun pepaya, besok malam tumis daun labu dst. sebelum kembali ke menu standard seperti kangkung, bayam, sawi, tauge, brokoli kembang kol tergantung yang tersedia di tukang sayur 😀

Setelah selesai, saya meminta tukang sayur menghitung harga sayuran yang saya pilih, lalu saya membayar. Sangat mengejutkan ternyata tukang sayur menolak selembar uang sepuluh ribuan yang saya berikan kepadanya.

“Maaf , Bu. Ada sepuluh ribuan yang lain nggak Bu? “

“Oooh. Kenapa memangnya?” Tanya saya.

“Uangnya dicorat-coret. Kami tidak mau menerima uang yang dicorat-coret begini” katanya sambil menyerahkan uang itu kembali kepada saya. Sayapun menerima kembali dan memperhatikan uang itu.

Ooh iya. Ternyata uang itu memang dicorat-coret di bagian gambar pahlawan Frans Kaisiepo-nya. Saya tidak tahu, siapa yang telah mencorat-coret uang itu. Dan sayapun tidak tahu, dari mana saya mendapatkan uang itu. Besar kemungkinan uang kembalian dari salah seorang pedagang. Tapi saya tidak tahu, pedagang yang mana dan kapan kejadiannya. Uang yang dicorat-coret itu sudah ada di dompet saya tanpa saya ketahui sebelumnya.

Setahu saya, walaupun uangnya dicorat-coret begitu sebenarnya tetap bisa ditukarkan ke bank, saat pedagang itu nanti nyetor ke bank. Tapi mungkin pedagang itu tidak mau repot dan tidak mau nanti jika pembeli lain tidak mau menerima uang kembalian yang dicoret. Ya sudahlah. Saya juga tidak mau menyusahkan orang lain.

Uang itupun saya masukkan kembali ke dompet dan untuk melanjutkan pembayaran ke pedagang itu, saya ganti dengan uang sepuluh ribuan lain yang tidak dicorat-coret.

Hari-hari berlalu, saya lupa mengeluarkan uang itu dari dompet dan saya bahkan tidak ingat lagi dengan uang sepuluh ribuan yang dicoret itu.

Hari ini saya ke pasar lagi setelah lebih dari seminggu sejak kejadian itu. Kembali membeli sayuran di dagang yang sama. Saat akan membayar, tiba-tiba saya teringat akan uang sepuluh ribuan yang dicoret itu. Saya harus meneliti jangan sampai saya memberikan uang yang dicoret itu lagi.

Lah, setelah memeriksa isi dompet, baru saya sadar jika uang sepuluh ribuan yang dicoret itu ternyata sudah tidak ada di dompet saya lagi.

Nah, kemana gerangan uang yang dicoret itu pergi ya? Saya coba mengingat-ingat. Selama seminggu ini ada beberapa transaksi yang saya lakukan, entah itu transaksi dengan tukang sayur, tukang buah, tukang roti, apotik, kantin, dsb. Waduuuh… tanpa saya sadari, mungkin saya telah menggunakan uang yang dicoret itu untuk membayar salah satu dari pedagang itu. Entah kapan dalam minggu ini.

Tapi anehnya tidak ada diantara mereka yang protes. Mungkin ia yang menerima nggak ngeh jika uang itu dicoret. Atau bisa juga ia ngeh, dan berencana akan menyetorkannya ke bank. Entahlah, saya tidak tahu.

Saya memandang isi dompet saya. Terlihat masih ada selembar uang sepuluh ribuan di sana. Bersih tidak bercoret. Sayapun gunakan untuk membayar. Uang itupun pergi dari dompet saya. Bye bye 👋
Semoga besok datang lagi membawa kawan yang banyak ya 😀😀😀

Setiap lembar uang memiliki sejarah perjalanannya sendiri. Dari satu pembeli ke pedagang, dari satu pedagang ke pedagang lainnya, dari satu pedagang ke pembeli dan seterusnya. Selama masa edarnya entah berapa banyak ia berganti pemilik. Berganti dompet, berganti rumah. Mungkin hari ini ia berada di dompet cantik warna merah jambu, besoknya di dompet lipat bersesak ria, besoknya lagi di saku celana yang berkeringat, besoknya di balik kutang kumal dan lusuh, lalu dicemplungkan ke celengan yang gelap gulita, bertapa di sana hingga berbulan-bulan sampai si pemilik memutuskan untuk membuka celengan itu, barulah ia kembali bisa bernafas menghirup udara.

Jika ia seorang penulis, mungkin ribuan kisah telah ia tuliskan dan ceritakan kepada penggemar tulisannya.

PENDOA YANG LUPA NAMA TUHANNYA.

Standard
Buku “Pendoa Yang Lupa Nama Tuhannya” karya Nuyang Jaimee

Peluncuran Buku Antologi Puisi tunggal ” Pendoa Yang Lupa Nama Tuhannya” – karya Nuyang Jaime, di PDS HB Jassin, Taman Ismail Marzuki, Jakarta tgl 1 Desember 2023.

Nuyang Jaime dalam peluncuran buku antologi puisinya “,Pendoa Yang Lupa Nama Tuhannya”.

Mungkin ini adalah peluncuran buku yang sangat emosional yang pernah saya hadiri. Diluncurkan oleh seorang perempuan perkasa yang tabah dan pemberani. Walaupun pada faktanya peluncuran buku ini diwarnai dengan banjir airmata dan isak tangis, namun semua yang hadir di acara itu tentunya tahu bahwa itu bukanlah sebuah bentuk kecengengan. Tangisan itu adalah sebuah bentuk keharuan dari sebuah perlawanan yang tak kenal menyerah.

Secara pribadi saya baru mengenal Mbak Nuyang kurang lebih dua tahun. Itupun karena sempat kontak lewat telepon dan bertemu beberapa kali di acara-acara PDS HB Jassin. Namun dengan membaca karya-karyanya, mendengarkan pemaparannya dan juga komentar para narasumber serta kawan-kawan penulis yang lain yang ada di situ, dengan cepat saya merasa lebih mengenal dan memahami Mbak Nuyang dengan lebih baik.

Seperti yang saya pahami, penulis dengan karakter yang kuat akan selalu menghasilkan karya-karya yang berkarakter kuat.

Seperti keterangannya sendiri, puisi-puisi dalam buku ” Pendoa Yang Lupa Nama Tuhannya” , sebagian besar lahir dari pergulatannya bersama rekan-rekan seperjuangannya di komunitas gerakan #save TIM . Ia menegaskan perlawanannya yang ogah dibungkam. Inilah pekik mematikan dari Cikini Raya !

Lalu jika kita simak puisinya yang berjudul ‘Para Penggilas Kemanusiaan’, hati kita jadi terkejut-kejut membacanya. Membacanya sambil menyadari bahwa ternyata ada orang yang perhatian dan berani mengangkat isue -issue ini yang mungkin ada di banyak benak pikiran orang lain yang hanya berani berpikir namun terlalu pengecut untuk mencetuskannya. Siapa berhak membangun kerajaan ? Siapa berhak tentukan kebenaran? Siapa berhak mengkafirkan umat? Siapa berhak mengatur Tuhan ? Pertanyaan-peryanyaan yang dilemparkan bagi kita pembacanya untuk merenung, berpikir dan jujur terhadap hati nurani kita. Sungguh ia seorang yang sangat pemberani.

Di akhir acara, ia juga membawakan puisinya sendiri yang berjudul ” Rempang, Tanah Melayu” – yang diciptakan dari konflik agraria yang sempat mencuat di pulau Rempang dimana warganya melakukan penolakan untuk direlokasi demi pembangunan Rempang Eko-City. Puisi yang sangat menarik.

Sebagai pribadi, Mbak Nuyang luar biasa. Sangat disayangi teman-temannya. Di acara peluncuran bukunya, ia menerima beberapa buket bunga ucapan selamat, dan saya juga menyaksikan beberapa rekan berjibaku ikut mensukseskan acara ini. Tidak kurang dari Mbak Shantined dan Pak Nanang Ribut Supriyatin ikut menjadi MC, Iyus kromatik menyanyikan puisi, Jack Al-Ghozali, Yogi S Karmas, Guntoro Sulung II membacakan puisi dg cara yang unik . Pembahasan tentang Mbak Nuyang dan karyanya ini dilakukan oleh Prof Dr Wahyu Wibowo dan Pak Tatan Daniel drngan dimoderatori oleh Mbak Rita Sri Hastuti.

Satu hal lagi yang patut saya acungi jempol dari Mbak Nuyang Jaimee ini adalah persiapan peluncuran bukunya sendiri yang beliau tangani sendiri. Mengumumkan rencana peluncurannya, menyiapkan pre-order, mempersiapkan eventnya, meng-create awarenesss di kalangan target pembacanya, mengumpulkan endorser dan sebagainya.

Seorang Event Organizer yang mengorganisir eventnya sendiri. Salut dan angkat topi.

Sukses selalu untuk Mbak Nuyang Jaime.

TIGA PENIUP SERULING – karya pelukis Eddy Yoen.

Standard

Masih dari pameran lukisan di Perpusnas RI – saya menemukan sebuah lukisan yang saat itu sedang akan dipasang oleh petugas. Jadi masih diletakkan di bawah. Saya sempat mengamati lukisan yang terlihat sangat artistik itu. Beneran indah. Cantik dan rapi.

Tiga Peniup Seruling – karya pelukis Eddy Yoen

Saya bukan ahli lukisan, tapi entah kenapa lukisan ini mengingatkan saya akan lukisan-lukisan Pablo Picasso. Saya tidak bisa menjelaskan dimana letak kesamaannya tetapi saya merasa lukisan ini sealiran.

Sepintas saya melihat seperti 3 orang wanita Bali sedang bermain seruling. Mungkin karena saya melihat ada bunga di rambutnya.

Oke, karena petugas sedang bekerja di sana, jadi saya tidak bisa berlama-lama merenunginya di situ.

Pelukis Eddy Yoen veserta lukisannya, Tiga Peniup Seruling

Setelah berputar-putar melihat lukisan-lukisan yang lain, saya bertemu dengan pelukis Eddy Yoen. Seketika saya bertanya, yang mana lukisannya? Karena saya tahu Pak Eddy juga ikut menjadi peserta pameran.

Beliau lalu mengajak saya untuk melihat lukisannya.

Lho? Ternyata lukisan 3 orang peniup seruling itulah lukisan Pak Eddy Yoen. Sekarang lukisan itu sudah dipasang di dinding tempat pameran. Tapi sayang, pencahayaannya kurang. Harusnya lukisan itu akan terlihat jauh lebih cantik lagi jika dibawah sorot lampu.

Sayapun bertanya kepada Pak Eddy tentang makna lukisannya itu. Beliau menunjukkan kepada saya kepala orang di atas 3 peniup seruling itu dan menjelaskan bahwa lukisan itu adalah satu orang yang sama.

Sayapun melihat ke arah kepala itu , terlihat ada orang juga di dalamnya dan jika kita perhatikan lebih jauh lagi, iya betul juga, itu gambar satu orang.

Dan tiga peniup seruling itu menggambarkan 3 orang majus dari timur yang menjumpai Yesus. Oh ternyata lukisan ini penuh makna dan mengandung unsur religi juga.

Lukisan yang indah.

SATRIYO BUDOYO – karya pelukis Indah Soenoko .

Standard
Satriyo Budoyo – karya pelukis Indah Soenoko, mrnggambarkan Bung Karno sebagai pahlawan kebudayaan.

Dari sedemikian banyaknya lukisan yang dipamerkan di pameran lukisan Pahlawan Tanpa Batas Ruang Waktu, ada sebuah lukisan yang unik.

Di lukisan itu terlihat tokoh Bung Karno sedang memainkan wayang Limbuk dan Cangik dengan kedua tangannya bak seorang dalang.

Limbuk dan Cangik adalah dua tokoh wayang Jawa (soalnya tokoh ini kok nggak ada ya di pagelaran wayang Bali 😀). Mereka adalah punakawan perempuan yang setia pada majikannya.

Dengan menempatkan tokoh Bung Karno bersama wayang di tangannya, pelukis Indah Soenoko ingin menggambarkan tokoh Bung Karno yang sangat mencintai budaya negeri sendiri. Beliau adalah pahlawan kebudayaan alias SATRIYO BUDOYO dalam Bahasa Jawanya.

Pelukis Indah Soenoko dengan karyanya : Satriyo Budoyo di pameran lukisan Pahlawan Tanpa Batas Ruang Waktu, di Perpusnas RI, Jakarta.

Saya jadi merenung sendiri memandang lukisan Ibu Indah itu.

Ya. Pada kenyataannya, bangsa Indonesia saat ini sedang dalam perjalanannya menuju kemusnahan budaya dan jati dirinya sendiri.

Banyak kesenian, tarian, busana, adat istiadat daerah asli Indonesia yang ditinggalkan oleh pemiliknya (bangsa Indonesia) saat ini. Tergantikan oleh budaya asing dan meniru jati diri orang asing tanpa ada yang menyadari dan berbuat sesuatu untuk menyelamatkannya.

Entahlah, pikiran saya jadi agak kusut. Saya jadi merasa sedih memikirkan itu. Entah kapan dan dimana lagi kita melihat bangsa kita kembali bangga dan berjaya dengan budayanya sendiri.

Jika ada orang yang konsisten berjuang untuk mempertahankan budaya asli Indonesia saat ini, maka ialah sang Satriyo budoyo.

Lukisan berlatar belakang gelap ini, seolah membenarkan pikiran saya tentang sendunya nasib kebudayaan asli Indonesia kini.

Saya suka lukisan ini karena menyiratkan pesan-pesan kebangsaan yang disampaikan oleh pelukisnya.

Dan hal lain yang saya kagumi adalah semangat tinggi Ibu Indah untuk terus melukis dan ikut serta pameran, di usia beliau yang sudah menginjak 69. Walau harus datang ke lokasi pameran bertatih-tatih dengan tongkatnya beliau kelihatan tetap semangat.

Saya berharap ketika kelak umur saya mencapai umurnya beliau, saya bisa masih tetap sesemangat beliau.

Selamat dan sukses untuk Bu Indah.

3 GENERASI – karya pelukis Titiek Sundari.

Standard
3 Generasi, Ibu Fatmawati, Ibu Megawati dan Mbak Puan. Air kopi di atas kanvas. Karya pelukis Titiek Sundari

Kembali bertemu dengan Mbak Titiek Sundari. Kali ini di pameran lukisan ” “Pahlawan – Tanpa Batas Ruang waktu” yang diadakan di gedung Perpusnas Jakarta.
Sebenarnya saya sengaja datang ke pameran ini karena informasi dari Mbak Titiek. Saya memang ingin melihat lukisan Mbak Titiek yang lain yang menjadi ciri khasnya – dilukis dengan menggunakan air kopi.

Saya datang sebelum acara pembukaan dimulai, sehingga sempat melihat-lihat dulu sementara orang-,orang masih memajang lukisan.

Pelukis Titiek Sundari dengan karyanya 3 Generasi, Ibu Fatmawsti, Ibu Megawati dan Mbak Puan Maharani.

“Ayo, tebak! Yang mana lukisanku? ” tantang Mbak Titiek kepada saya. Saya tersenyum. Saya pikir ada tiga hal yang harus saya perhatikan jika disuruh menebak begini.

Pertama saya harus mencari lukisan yang dilukis dengan air kopi.
Kedua, saya harus melihat lukisan yang profilenya kuat
Ketiga, jika bukan terbuat dari air kopi, maka saya harus menemukan lukisan yang rapi garis dan tarikannya.

Saya berkeliling dan sempat berhenti pada lukisan Mbak Titiek. Ini kayaknya terbuat dari kopi dan ini lukisan profile tiga perempuan. Mirip Ibu Mega beserta kakak adiknya. Tapi entahlah. Tidak ada name tag tentang lukisan itu di sana. Lagipula warnanya agak pekat jika itu terbuat dari kopi.

Coba saya keliling lagi. Cari yang lain

Banyak lukisan yang dipamerkan, tapi kelihatannya saya tidak menemukan diantaranya yang kira-kira digambar Mbak Titiek.Ada satu, lukisan seorang perempuan yang sedang bekerja dengan laptopnya. Lukisan ini rapi juga. Tapi saya juga ragu.

Akhirnya saya dijelasin oleh Mbak Titiek bahwa lukisannya itu adalah yang lukisan Ibu Mega dengan ibu dan putrinya. Oooh, pantesan saya tadi sudah sempat menerka yang ini. “Tiga generasi dong?” Komentar saya sambil tertawa. Eh…beneran. Ternyata judul lukisan itu memang 3 Generasi 😀

Mbak Titiek memiliki kekuatan dalam melukis ekspresi orang, sehingga ketika harus melukis profile, terlihat sangat mirip dengan tokoh/ obyek yang dilukis.

Selain itu lukisannya juga detail dan rinci . Seperti misalnya gambar kerudungnya Bu Fatma, sangat detail. Keren dah pokoknya.

Pameran Lukisan “Pahlawan – Tanpa Batas Ruang Waktu”

Standard
Pameran lukisan Pahlawan Tampa Vatas Ruang Waktu

Tadi siang saya ikut menghadiri pembukaan pameran lukisan di Perpusnas, Jln Medan Merdeka Selatan, Jakarta. Di undangannya tertulis pkl 13.00. Bergegaslah saya ke situ. Berangkat awal, karena takut telat 😀

Walau melewati demo yg cukup mengganggu lalu lintas, saya tiba bahkan sebelum pukul 12.30. Masih ada sekitar 30 menit lebih buat saya ngobrol dengan teman-teman pelukis yang ada di sana, sambil melihat-lihat, sebelum acara akan dibuka oleh Bapak Agus Sutoyo selaku Kepala Pusat Jasa Informasi Perpustakaan dan Pengelolaan Naskah Nusantara Perpusnas RI/ yang mewakili, pada pukul 13.00.

Hingga pukul 13.00 saya lihat belum ada tanda-tanda pameran akan dibuka. Rupanya acara pembukaan terlambat dimulai – molornya hingga sekitar sejam. Lama juga ya 😀. Dan karena Pak Kepala berhalangan hadir, jadi akan dibuka oleh Ibu Fera sebagai yang mewakili.

Saya melihat- lihat lukisan yang dipajang. Themanya pahlawan. Ya, dibagian depannya diisi dengan lukisan Bung Karno, Pak Sudirman, Bung Tomo. Yang menarik ternyata ada banyak lukisan pahlawan tanda jasa bagi murid, bagi anak dan keluarga. Misalnya lukisan kuli panggul pengangon bebek, guru piano, TKI pahlawan devisa dan sebagainya orang-orang yang menjadi pahlawan tulang punggung keluarga. Ya memang. Sosok Pahlawan masa kini sudah berubah banyak. Bukan lagi yang fokus pada yang mengangkat senjata dan berangkat ke medan perang, tapi termasuk juga yang memperjuangkan ekonomi keluarga, pendidikan, dan sebagainya. Sesuailah dengan judul pameran ini, “Pahlawan – tanpa batas ruang waktu,”

Selain kebanyakan lukisan memang ada kaitannya dengan thema pahlawan, tapi beberapa lukisan menurut saya tidak ada hubungan dengan pahlawan sama sekali

Banyak lukisan yang bagus -bagus, hanya sayang, menurut saya tata letak dan juga displaynya agak berantakan, terkesan asal terpajang saja. Mungkin karena terburu-buru. Pencahayaan kurang, terutama di areal display agak belakang. Sayang banget, lukisan bagus jadi banyak yang redup dan kurang terlihat keindahannya. Semoga besok sudah bisa diperbaiki.

Pameran ini berlangsung dari tanggal 28 Nov hingga tgl 11 Desember 2023.