Barong Brutuk Di Desa Trunyan, Kintamani, Bangli.

Standard

Barong Brutuk2Saya diajak adik saya pergi ke Desa Trunyan, yang letaknya di tepi Danau Batur di Kintamani, Bangli. Ada upacara Ngusaba Kapat di Pura Pancering Jagat. Dalam rangkaian upacara ini akan diadakan pementasan Barong Brutuk, yakni salah satu bentuk kesenian Bali Kuno yang sudah sangat lama sekali tidak pernah dipentaskan. Mengingat langkanya  pementasan ini, tentu saja saya tidak mau menyia-nyiakannya.

Walau harus menghadapi sedikit halangan di jalan berupa pohon dan tiang listrik tumbang, pagi-pagi saya sudah sampai di Desa Trunyan.  Keramaian tampak di sekitar desa, terutama di areal Pura Pancering Jagat. Kami diterima dengan baik oleh pemuka adat setempat dan diberi penjelasan singkat mengenai upacara dan pementasan Barong Brutuk ini serta tata tertib yang harus kami patuhi selama acara berlangsung. Walaupun sebelumnya saya sudah pernah mendengar keberadaan Barong Brutuk ini, namun terus terang saya baru pertama kali melihatnya langsung dengan mata saya sendiri.

Barong Brutuk, adalah tarian Barong yang sangat kuno dan hanya ada di Desa Trunyan yang sejak ratusan tahun lalu dihuni oleh warga Bali asli. Tarian ini menggambarkan kehidupan para leluhur di jaman dulu. Menurut sebuah sumber konon Barong Brutuk ini adalah unen-unen (anak buah) dari leluhur orang Trunyan, yakni Ratu Sakti Pancering Jagat dengan istrinya Ratu Ayu Dalem Pingit Dasar.

Tidak seperti tarian Barong lain di Bali yang busananya biasanya sangat penuh dengan motif hiasan, busana Barong Brutuk ini sangat sederhana. Tidak ada ukiran, tidak ada potongan kaca, apalagi cat prada keemasan. Hanya  kumpulan daun pisang kering (Keraras), yang konon hanya boleh dipetik dari Desa Pinggan.  Tidak ada yang tahu mengapa harus dari Pinggan. Ketika saya tanyakan, beberapa orang penduduk hanya mengatakan ” Memang sudah begitu dari dulunya“.

 

Demikian juga topeng yang digunakan. Terlihat sangat sederhana dan berbeda dengan jenis barong-barong lainnya di Bali. Namun demikian, topeng-topeng itu tampak sangat berkarakter. Sebuah topeng misalnya digambarkan memiliki karakter wajah yang tegas dan kuat, sedangkan topeng lainnya memiliki karakter lebih feminine. Ada juga yang berkarakter tua, dan lain sebagainya. Tidak ada seorangpun yang bisa menjawab ketika saya bertanya, siapakah pembuat topeng itu. Mereka sudah menemukannya seperti itu. Turun temurun.

Bahkan menurut seorang penduduk yang menemani saya ngobrol, jumlahnya pun berubah-ubah setiap kali mereka membuka tempat penyimpanannya. Jika hari ini mereka membuka tempat penyimpanan itu menemukan 21 topeng, maka besoknya bisa jadi topeng itu akan berjumlah 23 buah. Kebetulan pada hari saya di sana, jumlah topeng yang ditarikan ada sebanyak 19 buah. Menurutnya, berapapun jumlah topeng yang ditemukan per hari itu, maka harus dipentaskan semuanya. Dan para Teruna (remaja pria) yang memakai topeng itu harus bisa memainkan peranannya.  Hmm…sangat menarik.

Yang berbeda lagi dengan Barong biasa, Barong Brutuk ini tidak diiringi dengan musik. Brutuk hanya berjalan-jalan di halaman atau mengelilingi Jeroan Pura sambil membawa cambuk.  Sehingga sebenarnya agak sulit kalau dibilang menari, karena memang hanya sembahyang,  berjalan berkeliling dan melecutkan cambuk. Tidak banyak penduduk diperkenankan masuk untuk menghindari lecutan cambuk. Banyak penduduk terlihat menonton dari balik pagar, ada juga beberapa yang nekat di pintu Jeroan. Beberapa kali nampak penduduk mengambil daun kraras dari barong Brutuk ini dan menyelipkan di telinganya. “Untuk apa?” tanya saya.

Penduduk mempercayai bahwa potongan daun kraras dari Barong Brutuk itu membawa keselamatan dan berkah. Demikian juga lecutan cambuknya. Dipercaya memberi kesembuhan (tamba) bagi yang sakit. Beberapa orang anak-anak memanggil-manggil dan menggoda Barong Brutuk agar mencambuk ke arah mereka. “Ratu!! meriki Ratu!” (Ratu! Ke sini Ratu!) atau “Malih Tu! Malih Tu! Nunas Tamba, Tu!” (lagi Ratu! Minta Obat). Namun ketika  Barong Brutuk itu mendekat dan mencambuk, anak-anak itu pada berlarian dan tertawa senang. Ada beberapa orang yang sempat terkena lecutan juga. Bahkan ada seorang penduduk yang tampak sedang sakit malah bersimpuh memohon dicambuk, dan ketika dicambuk bukannya kabur namun malah menyerahkan diri – karena ia percaya akan khasiat pengobatan dari lecutan Barong Brutuk itu. Selain itu bebrapa kali saya lihat Barong Brutuk itu melemparkan buah-buahan dari banten ke penonton. Dan orang-orang berebut untuk mendapatkannya,karena juga dipercaya sebagai berkah dan obat.

Pementasan ini sangat panjang. Pagi hari hanya di halaman Jeroan Pura, lalu setelah istiahat sejenak dilanjutkan ke areal Jaba Pura (bagian luar /areal Pura yang lebih rendah). Sore harinya dipentaskan bagaimana pria dan wanita Trunyan pada jaman dulu mencari pasangannya, yang disebut dengan acara metambak-tambakan. Barong Brutuk dengan topeng raja dan ratu menarikan tarian percintaan ini. Mereka sama -sama menari dengan aggresif-nya, hingga akhirnya merasa cocok dan menikah. Saya dijelaskan bahwa dalam kepercayaan masyarakat Trunyan, bahwa urusan mencari jodoh bukanlah hanya urusan pria saja yang harus aggresif menyeleksi dan menentukan pilihan hidupnya, namun para wanita pun layak sama aggresifnya dalam menentukan pilihannya sendiri.

 

Seorang penduduk mengatakan bahwa tarian sakral ini sudah tidak pernah dipentaskan sebagaimana seharusnya sejak  dua puluh tahun lebih, walaupun pernah diperagakan di Pesta Kesenian Bali. Namun seorang ibu lain mengatakan bahwa seingatnya tarian ini pernah dipentaskan pada tahun 2002.  Sayapun jadi penasaran, kapan seharusnya tarian ini dipentaskan? Jika tidak dipentaskan,apa sebabnya? Dan jika sekarang dipentaskan lagi, tentu ada penyebab juga. Sayang sekali saya tidak mendapatkan jawaban yang conclusive atas pertanyaan di kepala saya ini. Walaupun ada yang mengatakan Tarian sakral ini dipentaskan dalam rangka untuk memohon kesuburan.

Menurut seorang penduduk, Barong Brutuk seharusnya dipentaskan setiap dua tahun sekali, pada upacara Ngusaba Pura Pancering Jagat yakni pada Purnama Kapat. Purnama Kapat (bulan Purnama ke-empat dalam penanggalan Bali)  itu sendiri oleh penduduk diberi kode Kapat Lanang dan Kapat Wadon. Barong Brutuk hanya dimainkan pada Kapat Lanang oleh para Teruna (remaja pria). Tahun berikutnya, saat Kapat Wadon, Barong Brutuk tidak dipentaskan. Pada Ngusaba di Kapat Wadon ini, yang aktif adalah para Daa Bunga  (remaja puteri). Mereka akan mengisi kegiatan upacara dengan menenun kain suci. Itulah sebabnya secara natural, Barong Brutuk hanya dipentaskan setiap dua tahun sekali. Tidak ada yang bisa memberikan jawaban pasti kepada saya mengapa tarian ini tidak dipentaskan. Hanya sebuah cerita singkat bahwa pada tahun 2007, terjadi bencana tumbangnya pohon Beringin besar yang tumbuh di Pura itu, sehingga tidak memungkinkan untuk dilakukan pementasan. Lalu apa yang terjadi pada tahun-tahun sebelumnya?

Masih banyak pertanyaan yang menggelayut di kepala saya. Namun karena hari sudah semakin sore, maka sayapun berpamitan kepada para pemuka desa Trunyan untuk pulang ke Bangli.

 

12 responses »

  1. nambah satu pengetahuan budaya lagi Mba Dani. Dulu saya sempat takut sama barong gara-gara film horor Indonesia yang gak bertanggung jawab pake sosok barong. Hueheheh..

    Like

  2. Pertunjukan langka, kami pembaca bersyukur Mbok Ade hadir mendokumentasikan dalan catatan dan foto, jadi dokumentasi berharga.
    Tertarik dengan pemakaian dan pemaknaan daun keraras (Jawa:klaras)
    Matur Suksma

    Like

Leave a comment