Kisah Pohon Pisang Dan Keserakahan.

Standard

Bibi saya menanam serumpun pohon Pisang Mas di halaman belakang rumahnya. Beliau membersihkan dan merawatnya dengan sangat rajin. Setiap hari beliau mengamati perkembangannya dengan teliti. Mulai dari munculnya calon bunga (jantung), kemudian mekar dan akhirnya muncullah barisan buah pisang yang menyerupai sisir setelah kelopaknya gugur. Sisir demi sisir  muncul dan membentuk tandan buah yang cukup panjang, untuk kemudian matang dan siap dipanen. Selain dikonsumsi sendiri, biasanya bibi saya membagi-bagikan hasil panennya kepada kerabat atau tetangga sekitarnya.

Sebatang pisang hanya menghasilkan setandan pisang. Setelah berbuah, lalu pohonnya ditebang dan mati. Lalu bibi saya menunggu kembali anakan pisang baru selama berbulan-bulan untuk berbunga dan berbuah. Demikian seterusnya.

Suatu hari, sebuah anakan pisang menunjukkan perkembangan yang menyenangkan. Pohon itu mulai memamerkan kuncup bunganya. Dan menurut perhitungan, maka buah pisang itu akan matang dan siap panen menjelang Hari Raya Kuningan. Tepat siap panen pada saat yang benar-benar dibutuhkan!.Jika pisang ini matang tepat waktu, tentu beberapa keluarga tak perlu lagi membeli pisang untuk kebutuhan hari raya, karena bibi saya akan membagi-bagikannya sesisir atau dua sisir. Bibi saya senang bukan alang kepalang. Mulai menghitung hari. Dibutuhkan waktu selama 45 hari  bagi  buah pisang agar siap panen.

Sorenya di hari ke 42, seorang kenalan keluarga melintas di rumah dan melihat pohon pisang yang buahnya menjelang matang itu. Maka berkatalah ia kepada kakak sepupu saya “Pak, buah pisangnya kelihatan akan segera matang. Mungkin sudah waktunya untuk ditebang”.  Kakak saya mengiyakan. Memang buah pisang itu sebentar lagi akan matang. Berikutnya kawan itu menyampaikan maksudnya untuk meminta buah pisang itu. Kakak saya yang memang dermawan, seperti kebiasaannya langsung menyetujui permintaan kawan itu. Buah pisang itupun dipotong dan dibawa pulang oleh kawan itu.

Bibi saya awalnya tidak berkeberatan. Beliau setuju saja dengan ide anaknya untuk membagikan pisang itu. Memang ide awalnya untuk dibagi-bagikan kepada kerabat dan tetangga yang lain juga. Bibi saya menyangka bahwa kawan itu hanya akan meminta sesisir dua sisir  dari buah pisang itu. Toh jika punya pisang setandan, tidak akan habis dimakan sendiri. Namun alangkah tercengangnya bibi saya ketika tahu bahwa ternyata kawan itu mengambil seluruh buah dalam tandan itu. Jadi yang diambil bukanlah sesisir. Tapi setandan!.

Saya tertawa mendengar cerita bibi saya itu. Terbayang akan hari-hari beliau menunggu pisang itu matang hingga hari ke 42. Jadi tinggal menunggu 3 hari lagi agar bisa berumur 45 hari dan siap panen. Ternyata sebelum sempat panen, eeh ..sudah diambil orang lain.  “Sudahlah! Ikhlaskan saja” Kata saya agar bibi saya tidak terlalu memikirkan buah pisang itu lagi. “Kalau urusan ikhlas sih pasti ikhlas. Karena buah pisang itu rencananya memang akan dibagi-bagikan juga. Memang tidak untuk kita konsumsi sendiri” Kata bibi saya.  “Ikhlas adalah bagian mendasar dari proses yadnya (berderma). Tanpa keikhlasan dari hati, tidak ada gunanya kita berderma” lanjut bibi saya.

“Yang saya herankan hanya,  kok ada sih orang yang dikasih kesempatan untuk meminta malah mengambil semuanya. Tanpa sedikitpun berpikir untuk menyisakan sebagian buat orang lain”. Katanya lagi. Saya mengerti apa yang dimaksudkan bibi saya. Masalahnya memang bukan pada soal keikhlasan hati untuk memberikan milik kita kepada orang lain yang membutuhkan. Namun lebih kepada seberapa banyak  seharusnya penerima mengambil benda yang didermakan itu.

“Mungkin teman itu tidak mengerti bahwa sebaiknya ia jangan mengambil semuanya” kata saya lagi-lagi mencoba untuk memberi kemungkinan alasan agar bibi saya tidak terlalu memikirkannya lagi. Barangkali setiap orang memiliki latar belakang dan nilai yang berbeda dalam hidupnya.

Oh! Itu adalah prosedur standard. Setiap orang seyogyanya hanya mengambil sebanyak yang ia benar-benar butuhkan dan memikirkan bahwa orang lain juga membutuhkan. Bukan hanya dirinya sendiri. Jika tidak begitu, maka ia disebut dengan Lobha!” Katanya.

Lobha, adalah sebuah kata dalam bahasa Bali untuk mengatakan ‘tamak’ atau ‘serakah’. Mengambil atau menguasai lebih banyak dari yang seharusnya menjadi bagian atau hak kita. Dan LOBHA atau keserakahan merupakan salah satu dari SAD RIPU – enam musuh besar dalam diri sendiri yang perlu dibasmi. Sifat serakah yang muncul dalam diri, sebaiknya segera dibasmi secepat mungkin, jangan dibiarkan menjadi besar dan bahkan menguasai diri kita sendiri yang membuat hidup kita diselimuti oleh kegelapan. Akhirnya saya hanya terdiam dan membiarkan bibi saya memberi saya petuah panjang lebar  tentang sifat Lobha ini. Dan menasihati betapa seharusnya saya juga  menjauhkan diri darinya.

Angin bertiup perlahan melewati pagar halaman dan melintas diantara daun-daun pisang yang bergerak gemulai.  Diam-diam saya memikirkan perkataan bibi saya. “Ambil sejumlah apa yang menjadi hak kita saja. Atau sesuai dengan kebutuhan kita saja!” Sejauh mana saya telah mampu mengendalikan diri dari sifat lobha ini? Entahlah! Rasanya sih saya tidak seperti itu. Saya tidak lobha. Namun memang, sejujurnya  saya tak pernah menganalisanya dengan baik selama ini. Jangan-jangan tanpa saya sadari ketamakan ini mulai pula menggerogoti jiwa saya. Dan tanpa saya sadari, jangan-jangan saya juga telah mengambil lebih banyak dari apa yang sesungguhnya saya butuhkan.

21 responses »

  1. Bahasa padang dan Bali gak jauh beda soal ketamakan Mb Dani. Kami menyebutnya lobo. Lobha emang jd masalah ketika yg diambil adlh barang materi yg belum kita punya. Tapi kalau ilmu kita disarankan utk berlobha2.
    Iya kenapa kita punya sifat jelek ini ya Mbak, selalu menginginkan lebih? Mungkinkah itu asalnya dari sifat kita yg lain, yg tak kunjung puas itu?. Kayaknya dalam diri kita ada sumur dalam yg tak akan pernah penuh kalau diisi. Inikah penyebabnya?
    Ngomong2 soal teman si bibi yg minta pisang setandan itu, kok gak ditolak saja sih? Katakan bahwa yg punya jg sdh punya rencana dng pisang tsb. Emang orang Bali punya sifat gak enakan ya Mbak? Kalo gitu sedikit beda dng orang padang yg kalo ngomong berkecenderungan terbuka 🙂

    Like

    • Ya – serupa Mbak Evi. Orang Bali mengatakan itulah keinginan yyg tak kunjung terpuaskan yang bagaikan samudera yang dalam, tak ada habis-habisnya. Kalau sifat gak enakan – saya pikir orang Bali memang punya juga sifat ini, Mbak Evi. Walaupun mungkin kadarnya berbeda-beda pada setiap orang. Bibi saya adalah seorang yg sangat terbuka dan terus terang – jika beliau melihat langsung kejadian itu, tentu beliau akan katakan terus terang permasalahannya. Tapi beliau tidak melihat langsung saat kakak saya mengijinkan kawan itu meminta & mengambilnya. Hanya mengetahui sesudah pisang itu tidak ada dan awalnya menyangka hanya diambil 1-2 sisir.

      Kalau kakak saya memang tidak pernah memikirkan hal-hal spt itu. Dan menurut saya juga agak nggak enakan. Ketika ditanyapun prinsipnya adalah ” Jika ada orang yang sampai berani meminta (bukan diberi dengan sukarela), berarti ia memang sedang lagi butuh dan memang tidak punya. Kalau tidak benar-benar butuh dan tidak punya, tentu ia tidak akan meminta“. he he.. beda lagi. Mungkin karena anak laki, barangkali..

      Like

  2. terkadang kita memang tak habis fikir dengan orang2 spt diatas….meminta sesuatu tanpa melihat kebutuhan ataupun keinginan dari si tuan rumah….mbok ya sadar kalau meminta itu ada batasannya ya…..syukur aku bukan tipe seperti itu mb Ni….masih ada rasa malunya, memang itu semuanya tergantung dari didikan ortu pada masa kecilnya bagaimana…….atau jangan2 ortunya sma seperti itu ya….oalahh….

    Like

    • waduh kok bisa seperti itu ya – rasa tamak ( keserakahan ) memang menegerikan ya mbak, itu sifat dasar manusia kita, kita hanya bisa belajar untuk mengendalikannya angan sampi rasa tamak itu yang mengendalikan kita… d(^.^”) terima kasih untuk pelajarannya di pagi hari ini – semangat

      Like

  3. aku setuju sama bli Budi, orang itu nggak minta mbak tapi ngrampok, keterlaluan dia, kok ya nggak tahu malu

    ada juga ajaran mengambil sebutuhnya mbak di sini saat di toko ada jajanan gratis misalnya coklat atau buah atau makanan lainnya, yg dipajang begitu saja di dalam toko tanpa ada yg njaga pengunjung toko bisa mengambil gratis tapi yaitu org sini biasanya mengambil secukupnya, sekali mulut dibuka istilahnya, khan masih banyak pengunjung toko lainnya, malu kalau mau ngambil smeuanya, kemaruk dong namanya

    Like

  4. mbak andani jika pohon pisang tidak ditebang setelah berbuah bisa apa tidak? Bukti keserakahan manusia, pohon pisang sudah berikan buah yg baik, kenapa tidak biarkan saja pohon itu layu dan mati sendiri. God bless u.

    Like

    • Bisa saja Pak Sudirman. Sering juga nggak ditebang kok. Dibiarkan sampai layu dan busuk sendiri. Banyak orang menebang batang pisang untuk dimanfaatkan sebagai makanan ternak. Tapi kalau nggak punya ternak ya dibiarkan layu tanpa guna.

      Like

Leave a comment