Saya hendak pulang kampung. Sedikit mepet waktunya, saya buru-buru masuk ke pesawat. Nomor kursi saya 4B. Ditengah. Sebetulnya agak kurang suka. Tapi apa boleh buat. Nggak punya pilihan lain.
Saya menyimpan ransel saya di kabin atas, lalu segera duduk. Saat itu seorang pria sudah duduk di kursi 4A di sebelah saya di pojok dekat jendela. Pria itu tersenyum ramah pada saya. Tetapi saat saya memasang Seat-belt saya, pria itu tiba tiba mencari-cari seat beltnya dan bilang jika saya sedang mendudukinya.
Sayapun membuka Seatbelt saya dan berdiri. Oh, ternyata memang benar, Seatbeltnya nyasar ke kursi saya dan tanpa sengaja saya duduki. Kok bisa ya?. Bukankah dia sudah duduk sejak tadi dan mengapa belum nemasang Seatbeltnya segera?.
Sebenarnya agak merepotkan, karena saya yang sudah pasang Seatbelt harus buka seatbelt lagi, berdiri dan kemudian pasang seatbelt lagi.Tetapi nggak apa apalah. Mungkin karena dia sedang sibuk chat di WA dengan keluarganya menjelang terbang. Hati baik saya memaklumi.
Sayapun duduk kembali dengan santai dan membaca majalah yang ada di saku kursi.
Beberapa saat kemudian, tiba-tiba “gedubukkk!!!”. Aduuuuh!!!. Sakiiit. Hape pria itu jatuh menimpa lutut saya, lalu jatuh ke lantai pesawat. Sayapun ikut mencari-cari di bawah, karena jatuhnya miring ke arah posisi saya. Jadi di bawah kaki saya.
Kok bisa ya?. Hapenya jatuh saat dia pakai. Saya cuma heran saja, karena tangannya kekar kan harusnya dia bisa pegang erat. Tapi okelah. Hati baik saya memaafkan perbuatannya itu yang lumayan membuat lutut saya sakit. Tentunya dia tidak sengaja.
Dalam perjalanan dari Jakarta ke Denpasar saya tidur. Tak terasa sebentar lagi mendarat menurut pengumuman. Mata saya masih mengantuk. Jadi saya meneruskan tidur.
“Excuse me!” Terdengar suara dari sebelah. Saya kaget. Ooh… rupanya pesawat sudah hampir sepi. Orang orang sudah sebagian keluar dari pesawat. Sementara saya tertidur. Aduuuh…malunya. Mungkin sebenarnya ia pengen cepat keluar, tapi terhalang oleh saya. Mungkin saya telah membuatnya kesal juga.
Cepat-cepat saya bangun. Berdiri dan sambil mengantuk membuka pintu kabin di atas. Bermaksud mengambil ransel saya. Semoga hati baiknya memaafkan saya.
Terlihat sebuah ransel hijau di tempat tadi saya meletakkannya. Nah ini dia!. Saya mengambil ransel itu, pria yang duduk di sebelah saya itu berusaha membantu saya. Berat. Tapi saya memang masukan beberapa lembar pakaian, tas kosmetik, dompet, laptop dan chargernya. Tapi ranselnya sudah keburu saya turunkan sendiri dan saya letakkan di bangku “Ooh …lumayan baik hati juga dia rupanya” pikir saya.
Saya mencangklongkan ransel saya di punggung dan bersiap-siap mau jalan. Tiba-tiba gerakan saya ditahan pria itu. “This is my backpack!” katanya ke saya. Lho??.
Saya memandang ransel yang saya pegang baik-baik. Warnanya hijau tua. Masak sih ransel ini milik dia?. Bukannya punya saya ya?. Saya memandangnya lebih dekat lagi. Sejujurnya saya juga mulai ragu. Karena ransel yang saya bawa adalah milik anak saya. Sehingga saya nggak ingat pasti detailnya. Lalu saya mendongak. Mencari cari apa ada ransel lain di atas. Oh..syukurlah. Agak ke dalam masih ada sebuah ransel lagi. Warnanya juga hijau. Oh…mungkin itu milik saya. Saya tarik dan benar. Itu memang ransel saya. Sayapun menoleh pada dia dan meminta maaf lalu melangkah pergi. Ia tersenyum ramah pada saya. Semoga hati baiknya memaafkan kesalahan saya.
Sambil berjalan keluar pesawat saya merenung. Sungguh aneh kejadian ini. Dua kali ia melakukan perbuatan yang tanpa sengaja mengganggu saya dan dua kali saya melakukan perbuatan yang tanpa sengaja mengganggunya. Seperti saling membayarkan, walaupun tanpa sengaja. Karmaphala Cicih. Lunas ya?. Impasss!.
Untungnya saat ia melakukan perbuatan yang mengganggu, saya tidak terlalu mempermasalahkannya. Segera memaklumi dan memaafkan. Sehingga saat saya berbuat kesalahan tanpa sengaja, iapun tidak terlalu mempermasalahkan saya.
Sesungguhnya kita manusia tidaklah luput dari kesalahan setiap hari. Ketika ada orang lain berbuat kesalahan yang mengganggu kita, hendaklah kita segera memaklumi, memaafkan dan mengikhlaskan. Karena kita tak pernah tahu kapan kita melakukan kesalahan yang mungkin mengganggu orang lain.