Yogyakarta! Adalah salah satu kota yang sangat saya sukai. Karena di kota ini, kebudayaan masa lalu yang gemilang masih tetap bisa kita rasakan dan nikmati di mana-mana, walaupun modernitas dan perkembangan teknologi juga tetap berlangsung seiring. Aksara Jawa masih bisa kita lihat dan baca di sudut-sudut kota, walaupun huruf Latin tentu saja mendominasi. Setidaknya saya melihat ada upaya pemerintah dan penduduk setempat untuk menjaga dan tidak membuang begitu saja apa yang sudah menjadi sebuah ‘achievement’ leluhurnya dalam dunia sastra.
Walaupun dalam kunjungan yang lalu ke kota ini, saya tidak sempat melihat-lihat lebih jauh – gara-gara kaki saya keseleo hingga tak sanggup berjalan -, namun saya tetap bisa merasakan suasana Yogyakarta disajikan di hotel tempat saya menginap, lewat makanan yang terhidang, musik yang diperdengarkan ataupun pernak-pernik yang dipajang.Sehingga ketika saya pulang kembali ke Jakarta, saya sadar betul jika saya baru saja kembali dari kota Yogyakarta.
Patung Loro Blonyo – saya sangat sering melihat patung pasangan ini. Ada berbagai ekpressi dan gaya dari Patung Loro Blonyo yang pernah saya lihat. Namun, saya belum pernah melihat yang model bergaya sederhana seperti yang ditunjukkan dalam patung ke dua yang saya temukan seperti di atas. Menurut cerita, loro blonyo adalah bentuk symbol, perlambang kesuburan yakni Dewi Sri -Sedana yang merupakan Dewi/Dewa Kesuburan dan Kemakmuran. Melihat itu saya merasa ada banyak sekali kearifan dan kedalaman filosofi dari setiap lambang dan symbol budaya yang terlihat di permukaan.
Rempah-rempah di Yogyakarta, juga mengingatkan saya akan perawatan wanita yang mencapai tingkat yang sangat membanggakan. Sementara kita di kota sibuk mencari kearifan dari bangsa lain untuk perawatan tubuh kita, sesungguhnya tanpa kita sadari para leluhur kita telah menemukan rahasianya dari alam kita sendiri yang tentunya lebih sesuai dengan tubuh dan kondisi cuaca di negeri tropis kita ini. Di Yogyakarta, kita mudah menemukan ini.
Sayup-sayup saya mendengar gendhing didendangkan dengan lembut oleh seorang pesinden….
“Yan ing tawang ono lintang, Cah Ayu. Aku ngenteni tekamu. Marang mego ing angkoso, Ni Mas. Sun takoke pawartamu. Janji janji aku eling, Cah Ayu. Sumedhot rasaning ati. Lintang-lintang ngiwi-ngiwi, Ni Mas. Tresnaku sundul wiyati.
Dek semono, janjimu diseksesni. Mego kartiko kairing roso tresno asih
Yen ing tawang ono lintang, Cah Ayu. Rungokno tangis ing ati. Binarung swaraning Ratri, Ni Mas. Ngenteni bulan ndadari.”
Ah…..dendang cinta yang sangat romantis dan melankolis. Yang meluluhkan hati siapapun pendengarnya.
Yogyakarta, saya ingin kembali!.
Mbak. Arti dendangnya apa? Saya gak ngerti bahasa Jawa.
LikeLike
He he..aku juga bukan orang yang berbahasa Jawa. Tapi karena Bahasa Jawa kurang lebih mirip dengan Bahasa Bali, jadi menurutku artinya kira-kira terjemahan bebasnya kaya gini:
Saat di langit ada bintang, sayang. Aku menanti kedatanganmu.Pada awan di angkasa,aku mencari berita tentangmu.
Janji-janji aku ingat, sayang. Tersedot rasanya di hati. Bintang-bintang berkerlip. Betapa murninya cintaku padamu.Terkenang saat itu, janjimu akan selalu kuingat. Awan dan bintang seolah menjadi saksi cinta kasih kita. Saat di langit penuh bintang, sayang. Dengarlah tangisan dalam hatiku. Bersama suara malam, sayang. Menunggu bulan Purnama.
he he..kira-kira begitu kalau orang Bali menjadi penterjemah Bahasa Jawa… he he..berharap ada orang Jawa yang memberi koreksi atau masukan jika berkenan..
LikeLiked by 1 person
Wahh. Kata2nya manis.
Bahasa Jawa dan bahasa Bali mirip? Saya baru tahu.
LikeLike
Sampai sekarang saya masih suka berdendang lirih lagu itu 😉
Bu Made sudah pernah ke Surabaya? Jika dolan ke sini, kabar kabari ya Bu…
LikeLike
Minggu lalu aku ke Malang tapi pulangnya lewat Surabaya karena mampir-mampir ke sana ke mari.. Ya As..nanti kapan-kapan kalau aku dapat eksempatan lagi main k Surabaya,kita ketemuan ya…
LikeLike
Ditunggu ya Bu…. kontakan lewat blog dulu aja… 🙂
LikeLike
jadi pengen keyogyakarta…
LikeLike
ayo Man,kapan kalau pulang ke Indo..kudu sempatin maen juga ke Yogyakarta..
LikeLike
Kepekaan jiwa seni Jeng Dani memampukan menikmati keelokan yang disajikan lewat aneka pernik simbol, Pantesan KLA menyanyi …Pulang ke kotamu. Ada setangkup haru dalam rindu…..
Salam
LikeLike
ya itu lagunya Katon juga sangat indah sekali Bu Prih…
LikeLike
Sayapun terbiasa mengikuti apa yang ditanamkan orang tua, bahwa untuk menjaga kebugaran tubuh cukup minum jamu yang diracik dan diperas maupun diolah secara langsung. Bahkan kalo pulang kampung, tanaman empon empon karang kitri sudah siap sedia di sekitar rumah. Dan tanpa obat kimiawi, cukup herbal di sekitar kita dengan ramuan warisan nenek moyang ternyata membuat keluarga saya lebih sehat
LikeLike
Bagus sekaliPak Ies masih meneruskan tradisi bagus yang dimiliki leluhur. jaman sekarang kayanya sudah mulai sangat jarang Pak yang mau dan bisa memahami jamu dan obat0obatan traditional… bahkan mencari orang yang punya pohon sirihpun sekarang sudah sulit.. Bangga sama Pak Ies.
LikeLike
Jogja memang istimewa, mbak Dani. Orangnya, kulinernya, suasananya selalu ngangeni
LikeLike
Ya pak Yudhi. Yogyakarta luarbiasa..
LikeLike
saya aja orang jauh dari Banyuwangi suka banget sama jogja, dan punya cita – cita suatu saat nanti bakal pindah ke jogja….jogja selalu di hati
LikeLike
Banyuwangi juga kotanya menarik Pak..
LikeLike
Yogyakarta adalah kota yang punya aura buat mengundang kita balik lagi kesana ya, mbak…jadi ikutan pengen kesana lagi, menikmati semua keunikannya 🙂
LikeLike