Pakis.. Sayuran Yang Konon Mengantarkan Kemenangan Majapahit atas Kerajaan Bali.

Standard

Pakis atau di beberapa tempat disebut dengan Paku, merupakan tanaman yang umum kita temukan di pinggir sungai dan pagar-pagar tegalan. Beberapa jenis pakis ini bisa dimakan. Jenis yang antara lain umum dimakan ini di Bali dikenal dengan sebutan Paku Jukut. Sejak jaman dulu nenek moyang kita memanfaatkannya sebagai bahan sayur mayur utama yang tinggal petik, tanpa ada usaha untuk membudidayakannya. Namun belakangan, karena tidak ada yang memperhatikannya dengan serius, pakis mulai jarang kita temukan di pasaran, terutama di kota-kota besar, walaupun jika kita bertandang ke pelosok-pelosok desa di negeri ini, sayur pakis masih cukup umum disajikan. Di kota besar, kalaupun terkadang masih bisa kita temukan di kota besar harganya mencapai 2x lipat sayuran biasa (kangkung, bayam, dsb). Beberapa rumah makan padang, saya temukan juga terkadang masih menyajikannya.

Pakis yang memiliki daun indah ini juga memiliki tekstur rasa yang cukup empuk dan enak. Kita bisa memanfaatkannya untuk ditumis, dicampur dengan kecambah kedelai, dipelecing ataupun dimasak dengan santan. Saya mendapatkan cerita turun temurun mengenai bagaimana pada jaman dahulu Gajah Mada maha patih Majapahit memanfaatkan Pelecing Paku dalam strateginya untuk mengalahkan kerajaan Bali yang dipimpin oleh Bedahulu (Saya tidak tahu pasti kebenarannya, apakah cerita ini sesuai sejarah atau justru memelintir sejarah, namun yang jelas kisah inilah yang diceritakan kepada saya, baik oleh guru kelas saya saat kelas 4 SD  dalam kisah-kisah Kerajaan di Bali, maupun oleh tetua-tetua di desa saya – yang masih tersimpan cukup baik dalam ingatan saya hingga sekarang).

Konon pada jaman Bali dipimpin oleh Raja Bedahulu, kebanyakan rakyat Bali merasakan ketidak tentraman karena ulah rajanya yang memiliki sifat kurang baik. Sering dikuasai angkara murka. Rakyat ketakutan bila harus bertemu raja. Karena bukan saja raja sangat semena-mena terhadap rakyat yang belum tentu bersalah, konon raja juga memiliki wajah yang sangat tidak rupawan, sehingga beliau malu jika rakyatnya memandang wajahnya yang kurang ganteng itu. Raja menghukum mati siapa saja yang berani memandang wajahnya. Beredar rumor bahwa raja memiliki wajah mirip babi. Dari sanalah mungkin beliau mendapatkan namanya sebagai Bedahulu  (hulu = kepala; berbeda antara badan dengan kepala). Mendapatkan informasi ini, Maha Patih Gajah Mada yang memang memiliki cita-cita ingin menyatukan Nusantara, segera mencari akal agar bisa memiliki alasan untuk menggempur kerajaan Bali. Disusunlah strategi kunjungan persahabatan ke Bali, dimana Gajah Mada meminta dalam suratnya untuk diterima dalam perjamuan istana yang menghidangkan sayuran khas Bali, yakni Pelecing Paku.

Sebagai informasi, Pelecing Paku, dibuat dengan cara merebus daun beserta batang pakis muda, dibelah dua memanjang, lalu diremas (dibejek) dengan perasan air jeruk limau, cabai, bawang merah & putih, garam serta terasi yang sudah digoreng terpisah.

Pada saat perjamuan inilah Gajah Mada duduk makan bersila dihadapan Raja Bedahulu sambil mengangkat tinggi-tinggi sebatang sayur Pelecing Pakis yang panjang, lalu mendongakkan kepalanya dengan alasan untuk menyantap sayuran ini dan sekaligus mencuri pandang ke arah wajah sang raja. Mengetahui hal ini, Raja Bedahulu sangat murka dan memulangkan tamunya dengan cara tidak hormat. Konon inilah yang menjadi sumber alasan bagi kerajaan Majapahit untuk menyerang kerajaan Bali, dengan hasil kekalahan pada pihak kerajaan Bali. Kemenangan kerajaan Majapahit ini di Bali kemudian dikenang sebagai kemenangan Dharma (karena pemerintahan Majapahit yang belakangan kemudian diakui lebih bersih dan jujur serta mengayomi rakyat) terhadap Adharma (karena pada dasarnya Raja Bedahulu dianggap sebagai Raja yang kasar, dikuasai kemarahan, kekejaman, dan bentuk  kegelapan lainnya – sehingga rakyat tidak menyukainya). Konon lagi, menurut cerita yang beredar, masyarakat Bali asli pada jaman itu sempat terbelah dua yakni;  Mereka yang berada di Bali bagian selatan umumnya menerima & menyambut Majapahit dengan sukacita & berpendapat bahwa Rajanya yang dikuasai  A-dharma memang seharusnya dimusnahkan dan merayakan kemenangan ini dengan besar-besaran dan memperingatinya secara berkala. Sedangkan mereka yang tinggal di Bali bagian utara, menganggap bahwa yang bersalah adalah rajanya sebagai individu, bukan kerajaan secara umum. Mereka senang rajanya yang dikuasai a-dharma kalah, namun  sulit menerima kemenangan kerajaan lain terhadap tanah airnya. Prinsip ’Right or wrong is my country’ rupanya diterapkan di sini.  Ketika masyarakat Bali yang telah berbaur dengan pendatang dari Majapahit di bagian selatan merayakannya, konon  masyarakat bali asli di bagian utara justru berkabung dengan cara tidak memotong rambutnya dalam jangka waktu tertentu (baik pria & wanita). Ayah saya menceritakan, bertahun  tahun kemudian , bahkan hingga masa kanak-kanaknyapun beliau masih menemukan beberapa tetuanya di desa-desa utara ini menjalankan tradisi memanjangkan rambut sebagai tanda duka cita. Namun pada saat ini, tentulah kita tak menemukan lagi tradisi ini di  bali utara dan bahkan kisah inipun barangkali nyaris lenyap di kalangan generasi sekarang,  ditelan oleh waktu.

Demikianlah kisah sayuran yang tumbuh lemah di pinggir kali ini ternyata mampu membuat cerita yang dikaitkan dengan sebuah perjalan kesuksesan sebuah kerajaan besar di Nusantara. Walaupun tidak jelas apakah kisah ini hanya dongeng semata atau sejarahnya memang demikian, saya tetap menemukan cerita ini sangat menarik buat saya, karena selain faktor strateginya, namun juga pada bagian dimana ternyata untuk hal & kondisi yang sama (kekalahan kerajaan bali) bisa mendapatkan respon yang berbeda dari 2 kelompok masyarakat, tergantung dari psikologi masyarakatnya. Pemahaman ini sangat penting terutama bagi mereka-mereka yang menjadi pengambil keputusan & kebijaksanaan yang melibatkan masyarakat banyak.

9 responses »

  1. Pingback: Kadaka, Si Pakis Sarang Burung. « nimadesriandani

  2. Sejarahnya emang simpang siur, yang saya tahu, Mayadenawa itu tidak sama dengan Bedahulu, Mayadenawa ditaklukan oleh Majapahit dan dipilih seorang Putera Bali untuk memimpin Bali di bawah Kerajaan Majapahit, tapi Putera Bali ini malah membelot dan mendukung rakyat Bali sendiri untuk memberontak, makanya disebut Bedahulu (menentang atasan)

    Setelah kejadian itu Majapahit kapok mengangkat Putera Bali dan lebih memilih Sri Kepakisan yang langsung didatangkan dari tanah Jawa. Adapun orang Bali memang bercampur baur dengan orang Jawa setelah terlibat perang bertahun2 setelahnya, dan Raja Bali memilih mengurangi perang dan mengurangi pemberontakan dengan menyebarkan filsafat Jawa, alhasil yang paling sukses adalah Dang Hyang Dwijendra, dan orang Jawa banyak ke Bali setelah Majapahit mengalami keterpurukan setelah perang paregreg dan penyerangan Demak

    Soal memanjangan rambut saya kurang tahu, Haha
    Nice, setidaknya saya tau beberapa cerita dari beberapa derah tentang Bedahulu selain dari ayah saya dan beberepa buku sejarah

    Like

  3. saya seneng banget dan favorite banget sama yang namanya pakis. lezat dan pasti abis dua piring nasi dan itu hanya saya peroleh saat pulang kampung ke pangandaran, ciamis…

    Like

  4. Saya kok malah pernah dengar jika cara memakan sayuran dengan teknik seperti terceritakan di atas juga dilakukan kala Gajah mada berkunjung ke Cina. Seperti kita ketahui, kala itu pula raja atau kaisar Cina tidak boleh dilihat oleh sembarang orang. BTW tulisan yang bagus

    Like

Leave a comment