Tag Archives: Sosial

Kisah Pagi Di Sebuah ATM.

Standard

Pagi ini saya terpaksa keluar karena ada keperluan mendesak ke ATM dekat rumah. Mini Market tempat ATM ini sangat sepi. Hanya ada saya, 1 orang SPG dan kasir. Tidak ada pembeli. Tidak ada juga yang sedang mengambil uang atau mengantri. Ah, senangnya. Kesempatan yang jarang, karena biasanya antrian di ATM ini panjang.

Kesempatan ini akan saya pakai untuk bayar listrik dan bayar Iuran Satpam sekalian, selain mengambil uang tunai tentunya. Saya membayar listrik dulu. Lancar. Saya menengok ke belakang. Tidak ada yang ngantri. Aman. Lalu saya mentransfer uang iuran bulanan Satpam. Lancar juga Saya menengok ke belakang lagi. Masih belum ada orang yang ngantri. Jadi aman ya. Saya teruskan kalau begitu.

Sekarang mengambil uang Cash untuk keperluan bayar bayar juga dalam bentuk cash. Saya memasukkan nomer PIN. Sambil menunggu instruksi berikutnya, sudut mata saya menangkap sesuatu.

Tiba tiba ada seorang wanita datang dari arah samping kanan agak belakang saya. Persis di depan ATM Bank lain. Tapi anehnya ia berdiri miring dan melihat ke arah saya. Kelihatannya seperti ngantri ke ATM yang sama dengan yang sedang saya gunakan.

Bukan ke ATM Bank lain yang ada di depannya “Ooh ok. Mungkin mau ke ATM ini….tapi kok ngantrinya di situ ya” bathin saya sambil berusaha cepat cepat menyelesaikan transaksi yang terakhir. Harusnya kan ia berdiri di belakang saya ya dg jarak +/- 1 meter. Tapi oke lah.

Tapi astaga!!!. Ternyata mesin ATM ini kehabisan uang. Dia tidak bisa melayani pengambilan uang untuk saya. Waduh.. gimana ya. Saya lagi butuh banget. Akhirnya saya coba lagi masukkan nomer PIN saya lalu menoleh ke orang yang sedang ngantri itu dan kasih kode ringan minta maaf karena saya mau coba ulang lagi mengambil uang dengan jumlah yang lebih kecil. Siapa tahu bisa. Wanita itu tidak menjawab kode saya karena lagi sibuk membuka dompetnya. Sayapun melanjutkan kegiatan saya.

Tiba tiba orang itu maju dan berdehem kencang “hemmm!!!”. Saya kaget dan menoleh. Waduuuh. Walaupun wajahnya tertutup oleh masker dan kerudung, tapi sorot matanya yang tajam kelihatan kalau ia marah dan tidak suka pada saya. Saya merasa nggak nyaman.

Lalu saya jelaskan padanya bahwa mesin ATM ini tidak mengeluarkan uang. Dan transaksi pengambilan uang saya tadi gagal. Jadi saya coba ulang dengan ukuran yang lebih kecil. Mohon pengertiannya juga.

Wanita itu tidak menjawab. Kelihatan masih tetap kesal pada saya. Saya tetap melanjutkan usaha saya untuk mengambil uang. Dan ternyata tetap tidak keluar juga. Ya sudah. Saya menyerah. Mungkin duit di mesin ATM ini memang habis.

Sayapun berlalu. Mengambil pasta gigi dan pembalut lalu membayar di kasir dengan sisa uang yang sebelumnya menang ada di dompet. Sambil menunggu kasir, saya menoleh ke mesin ATM di mana wanita tadi masih berdiri. Kedengaran ia mengomel sendiri dan mengetuk- ngetuk mesin ATM dengan jarinya dengan tidak sabar. Berulang ulang. Dengan tidak sabar. Saya lihat Mbak Kasir pun menoleh sebentar ke orang itu, lalu melanjutkan kembali pekerjaannya. Dalam hati saya heran. Kan memang uangnya habis. Sudah saya kasih tahu sebelumnya. Tapi ia tidak menggubris. Mana bisa uangnya keluar. Ditendangpun mesin ATM itu jika nemang uangnya habis, ya tetap tidak akan mengeluarkan uang.

Beberapa saat kemudian, orang itu keluar dari toko. Ia lewat di belakang saya karena posisi kasir di dekat pintu. Dan entah kenapa pula, saya kok refleks menoleh. Apesnya, rupanya ia juga sedang melihat ke arah saya. Tatapan matanya marah dan mengancan. Lho?!. Saya jadi bingung dan heran dengan orang ini. Maksudnya apa ya kok jadi marah besar ke saya gitu?. Untungnya ia keluar setelahnya.

Saya menarik nafas panjang dan menghibur diri saya agar tidak terlalu galau. Rasanya memang sangat tidak nyaman diperlakukan begitu. Saya menelisiki perbuatan saya, barangkali ada kesalahan saya yang telah saya perbuat yang membuat orang lain sampai sedemikian marahnya kepada saya.

1/. Mungkin dia marah karena saya kelamaan di mesin ATM. Saya melakukan 2 x transaksi non tunai dan sukses, lalu2 x transaksi tunai tapi gagal karena uang tidak ada. Saya melakukan multiple transaction karena sebelumnya toko itu sepi. Tidak ada yang ngantri di ATM. Dia muncul saat saya melakukan transaksi non tunai yg gagal itu. Lalu marah karena saya mencoba mengulang lagi. Padahal kan saya sudah ngasih kode minta maaf karena saya harus nengulang transaksi lagi. Dianya sendiri tidak merespon.

Ya… kalau saya cari cari kesalahan saya, mungkin dalam hal ini saya ada setengah salah juga. Mungkin harusnya, saat transaksi saya gagal, saya berhenti dulu, mundur dan mempersilakan dia dulu dan saya mengantri di belakang dia. Jadi untuk kasus ini saya kasih score kesalahan saya 50%.

2/. Mungkin dia marah karena uang cash tidak keluar setelah ia coba coba beberapa kali. Lah ?? Ini jelas bukan kesalahan saya. Kan tidak mungkin uang itu habis karena saya yang mengambilnya semua dan tidak menyisakan untuk dia. Lah, siapa pula saya ini, sisa uang di kartu ATM saya juga tidak seberapa. Selain itu sayapun gagal juga mengambilnya. Dalam kasus ini saya yakin kesalahan saya 0%. Lalu mengapa dia marah?

Ah!!!. Saya merasa capek memikirkannya. Rasanya tidak bisa saya jelaskan dengan akal sehat saya. Saya tidak kenal orang itu sebelumnya dan ia cuma lewat sepintas lalu dalam hidup saya. Mengapa saya biarkan ia merusak kebahagiaan hidup saya.

Mari kita pikirkan hal hal lain yang lebih membuat hati bahagia” ajak saya kepada diri saya sendiri.

Di Batas Rasa Iba Dan Kebodohan.

Standard

Satu hari, saya mengajak anak-anak untuk berjalan-jalan di sekitar area Pasar Seni, Kuala Lumpur. Ada banyak hal yang bisa dilihat dan dipelajari di daerah sana dan sekitarnya. Mulai dari Pasar Kasturi – Central Market, Museum Textil, Taman Burung, Taman Kupu- Kupu, Masjid Negara, Islamic Art Center dan sebagainya.

Anak-anak memutuskan untuk menggunakan MRT saja. “Lebih murah, Ma. Kita bisa saving-saving duit cash kita“. Saran anak saya. Saya setuju. Terlebih karena stock ringgit di dompet saya juga sudah mulai menipis. Kamipun melangkah keluar hotel dan menuju stasiun.

Di stasiun kami menuju auto ticket counter guna membeli coin. Memilih milih Line kereta yang ada di menu, tiba tiba seorang pria yang berdiri di mesin ticket di sebelah saya bertanya dengan ramah. “Hai!. Kalian mau ke mana?” tanyanya. Saya menjawab, mau ke Pasar Seni.

Begitu mendengar jawaban saya, dengan sigap ia membantu anak saya. Ceklak ceklik… kami bayar dan coin ticket kereta pun keluar. Sangat cepat kejadiannya. Ooh tentu saja. Karena ia seorang pria lokal yang pastinya sudah hapal dengan jalur-jalur MRT maupun kereta lain di kota ini.

Saya berterimakasih. Orang itu mengangguk dengan sangat ramah. Lalu ia bertanya, apakah saya bersedia memberinya beberapa butir uang receh. Ia sedang kesulitan dan kehabisan uang. Oooh!. Saya memandang wajahnya dan merasa iba. Membayangkan jika saya berada di posisi dia.

Tentu saja saya tidak keberatan. Saya pun mengeluarkan semua uang logam yang ada di dompet saya. Dan memberikannya kepadanya. Ia mengucapkan terimakasih.

Lalu ia bercerita kalau sesungguhnya ia sedang bermasalah dengan kakinya. Ia menyingsingkan sedikit celana panjangnya dan saya melihat luka yang sangat serius. Oooh. Sungguh terkejut melihatnya. Luka yang besar yang tidak cukup hanya jika diobati dengan obat merah saja. Harus dibawa ke rumah sakit dan ditangani dengan serius. Bahkan mungkin perlu beberapa jahitan untuk menutup luka terbuka itu.

Saya pikir uang logam yang tadi saya berikan kepadanya tidak akan cukup. Lalu sayapun memberikan beberapa lembar uang kertas lagi agar bisa ia gunakan untuk mendapatkan perawatan yang baik dari rumah sakit. Saya menyerahkannya sembari berdoa dalam hati saya, semoga orang ini mendapatkan perawatan yang baik dan sembuh dari lukanya.

Tanpa saya duga, orang itu merunduk di hadapan saya, menyentuh kaki saya dengan tangan kanannya lalu mengusapkan tangannya itu di keningnya, sebanyak tiga kali. Saya terkesima dengan kelakuannya dan mencoba melarang ia berbuat begitu kepada saya. Tetapi ia keburu selesai. Setelah itu ia mengucapkan terimakasih dan saya melihat airmatanya mengambang sebelum ia melangkah pergi.

Mama apain orang itu?” anak saya yang rupanya melihat bagian akhir kejadian itu terheran -heran. Mengapa orang itu menunduk di depan saya dan menyentuh kaki saya, lalu menempelkannya ke keningnya. Saya bilang “Nggak Mama apain. Mama cuma kasih uang“, kata saya.

Anak saya terkejut. Rupanya ia tidak melihat kejadian saat saya memberikan uang pada orang itu. “Astaga, Mama!!!. Mengapa Mama berikan dia uang?. Itu sejenis…. scamming, Mama!!!“. Tegur anak saya yang sulung dengan suara tinggi. Saya terkejut akan reaksi anak saya yang tak terduga itu.

Mama ditipu!!!“. Lanjut anak saya yang bungsu lagi. Mereka seperti bersekutu mengkritik saya.

Saya membantah kalimat anak-anak saya itu. Saya bukan tertipu. Saya kasihan padanya dan memang ingin memberinya bantuan uang. Saya sadar. Dan bahkan sangat sadar melakukannya karena rasa kasihan. Karena rasa iba. Bagainana mungkin kedua anak saya bisa mengatakan jika saya tertipu.

Berapa banyak uang yang Mama berikan kepadanya?” tanya anak saya yang sulung.

Saya tidak menjawab dengan tepat. Jawaban yang tidak menipu, tapi tidak bisa dibilang jujur juga. “Hanya beberapa ringgit” jawab saya. Jawaban yang mengambang. Siapakah yang tahu, berapa batas kata “beberapa” itu?. Banyakkah? Sedikitkah?.

Saya lalu memberikan pengertian kepada anak saya. Itu bukan penipuan. Tapi masalah rasa iba kepada orang lain yang sedang kesulitan. Sebagai sesama manusia, kita wajib membantu orang yang sedang kesulitan, jika posisi kita memungkinkan untuk membantu.

Tapi ke dua anak saya tetap tidak yakin bahwa orang itu tidak menipu saya. Saya lalu mengingatkan, bahwa kaki orang itu luka parah. Dan kami semua melihatnya. Bukankah itu bukti yang cukup bahwa orang itu tidak menipu?.

Anak anak saya tetap tidak setuju. Belum tentu itu luka beneran. Kesan luka bisa dibuat buat. Banyak seniman bisa membuat karya tiruan luka. Ooh…ya. Bisa juga sih jika diambil dari sudut pandang itu. Anak anak lalu memberi contoh fakta beberapa kejadian pengemis dengan luka palsu yang memang kami pernah lihat sendiri, saat anak anak masih kecil.

Sampai akhir hari, saya masih sulit untuk setuju dengan pendapat anak-anak saya bahwa orang itu telah menipu saya. Karena saya yakin telah melihat luka beneran dan saya melihat airmatanya mengambang saat mengucapkan terimakasih kepada saya sebelum pergi.

Sementara anak-anak saya tetap berpikir bahwa saya sudah melakukan kebodohan karena begitu mudah ditipu oleh orang itu. Masalah air mata mengambang itu kan bisa juga soal keahlian seseorang ber-acting yang sangat bisa dilatih. Yaaa…. bisa juga sih jika kita hubung-hubungkan ke situ.

Sungguh saya tidak tahu yang mana yang benar dan yang mana yang salah. Karena semuanya memberi kemungkinan yang sama untuk menjadi benar ataupun salah. Hanya Tuhan yang tahu kebenaran yang sesungguhnya. Hanya Tuhan pula yang tahu di mana batas antara rasa iba dan kebodohan manusia.

Saya tercenung. Aaah…. tidak usah saya pusingkan apa yang telah terjadi. Ibarat sedang menonton sebuah potret. Kita tak pernah tahu kejadian apa saja yang terjadi sebelum kamera menjepret kejadian di foto itu, dan juga kejadian apa saja yang terjadi setelah potret itu dibuat. Tak usah kita pusingkan dan pertanyakan. Cukup nikmati saja satu single moment saat potret itu dibuat.

Tidaklah begitu penting, apakah orang itu memberi keterangan benar atau menipu. Yang lebih penting adalah keikhlasan hati kita. Sehingga membuat apapun dan seberapapun yang kita keluarkan menjadi berharga. Setidaknya di hati kita.

Saya pun melenggang pergi dengan hati riang.

Julit, Binjulid, serta kisah I Belog dan Be Julit.

Standard

Saya mendengarkan sebuah obrolan. Dalam obrolan itu seorang teman menyebut kata “Julit”, lalu teman teman saya yang lain tertawa berderai karena penyebutan kata “Julit” itu. Sayapun penasaran akan artinya. Cukup sering mendengar kata itu tapi saya tak tahu persis artinya. Mengapa orang -orang pada tertawa?.

Saya mendapatkan penjelasan bahwa “Julit” itu adalah istilah untuk orang yang suka iri hati pada orang lain dan tak segan mengekspresikan ke-iri hati-annya itu dengan terus terang. Contoh Julit misalnya adalah para “haters” artis tertentu, misalnya Syahrini. Ooooh…..begitu ya.

Belakangan saya mengetahui ternyata kata “Julit” ini berasal dari kosa kata bahasa Sunda “Binjulid” untuk menggambarkan orang yang sifatnya kekanakan dan suka iri hati atas kesuksesan orang lain.

Ha ha… itu berbeda dengan apa yang ada dalam pikiran saya sebelumnya. Saya yang dibesarkan dengan budaya Bali, mengenal kata “Julit” yang mengingatkan saya pada kebodohan (kurang positive juga) dan kejenakaan.

Julit dalam bahasa Bali adalah nama sejenis ikan tertentu yang tubuhnya panjang seperti belut tetapi bersirip. Ikan Sidat dalam bahasa Indonesianya. Habitatnya di palung palung sungai yang dalam sehingga termasuk susah ditangkap orang.

Be Julit. Be = ikan. Be Julit = Ikan Julit. Lah… nama ikan itu kan sesuatu yang baik dan menyenangkan. Lalu di mana letak hubungannya dengan kebodohan dan kelucuan? Begini ceritanya…

Alkisah jaman dulu ada seorang pemuda bodoh yang bernama “I Belog”. (Kisah lain tentang I Belog ini juga pernah saya ceritakan dalam tulisan I Belog dan bebeknya dan juga tulisan I Belog pergi ke Kuta sebelumnya.).

Suatu kali I Belog pergi memancing ke sungai. Dan sungguh sangat beruntung kali ini ia berhasil menangkap ikan (Be)Julit yang panjang dan besar. Maka pulanglah ia dengan wajah berseri-seri ke rumahnya.

Sesampai di rumah, I Belog bermaksud untuk memasak Be Julit itu. Waaah… bakalan makan enak nih nanti malam. I Belogpun mulai membersihkan ikannya yang besar dan panjang itu dan seketika ia menyadari bahwa ia tidak memiliki alat masak yang memadai untuk memasak ikan Be Julit itu. Cepat ia berlari mengetuk pintu tetangga. “Me Made, punya panci panjang nggak? Saya ingin pinjam buat memasak?” Begitu tanya I Belog kepada tetangganya. Me Made menggeleng. Ia tak punya panci panjang. Maka ditawarkanlah kepada I Belog panci biasa yang dimilikinya. I Belog menggeleng, lalu pergi dan mengetuk pintu rumah tetangganya yang lain” Mbok Wayan, punya panci panjang nggak? Saya mau pinjam” Mbok Wayan menggeleng. Ia tak punya panci panjang yang bisa ia pinjamkan buat I Belog. “Adanya panci biasa. Mau nggak?”. I Belog menggeleng dan mengucapkan terimakasih. Kalau panci biasa ia juga punya.

Demikianlah I Belog mencoba lagi meminjam pada tetangganya yang lain, Luh Putu, Sak Ketut, Dayu Komang, Dewa Gede dan sebagainya. Tak satupun diantaranya memiliki panci panjang. I Belog merasa kecewa karenanya.

Aha! Lalu dia ingat… kalau panci panjang tak ada, bagaimana kalau penggorengan panjang? Merasa punya ide yang lebih baik, dengan semangat kembali ia mendatangi tetangganya satu per satu dan bertanya apakah ada yang punya penggorengan panjang? Dan kembali lagi jawaban para tetangganya tidak ada yang punya.

Saking heran dan penasarannya, tetangganya lalu bertanya” Hai Belog!Untuk apa sih, kenapa kamu membutuhkan panci panjang atau penggorengan panjang???”

I Belog menyahut “Untuk saya pakai memasak Be Julit yang panjang” jawab I Belog dengan sedih. Para tetangganya terkejut. “Astaga, Belog!!!. Kenapa tidak kamu potong potong saja Be Julitnya baru dimasak? Jadi kamu tidak perlu panci panjang ataupun penggorengan panjang“. Ha ha ha….

Moral ceritanya: Kadang kita perlu menyesuaikan diri kita sendiri agar “pas” dengan lingkungan, karena tak selamanya lingkungan bisa “pas” untuk kita.

Nah…ternyata dalam kemasan yang kocak dan bodoh, terselip pesan pesan luhur dari para tetua untuk generasi penerusnya.

Selamat pagi kawan!

Cerita Pembantu & Budhe Tukang Jamu.

Standard

Hari Sabtu pagi. Saya bangun agak kesiangan karena semalam baru kembali dari luar kota. Tapi karena niat saya mau berlari pagi, jadi nggak apa-apalah saya tetap keluar walaupun kesiangan 😀😀😀.

Berlari hanya di sekitar perumahan saja. Lumayan sudah mengeluarkan keringat. Dan yang lebih penting adalah bertegur sapa dan bertukar senyum dengan tukang sayur yang mangkal, pak satpam, ibu-ibu pembersih taman, tukang bubur, mbak-mbak yang sedang berbelanja dan juga para tetangga yang sedang berjalan-jalan pagi.

Usai berlari, saya mampir di tukang sayur untuk membeli pepaya dan selada air. Lalu ada si Budhe Tukang Jamu. “Olah raga pagi, Bu? “Sapanya dengan sumringah seperti biasanya. Saya tersenyum mengiyakan dan bercakap-cakap sebentar dengannya. Selalu menyenangkan jika ngobrol dengan Budhe. Sayapun memesan sebotol jamu sirih kunyit asem. Sambil menyiapkan jamunya, si Budhe bertanya kepada saya.

Bu, itu mbaknya yang kerja di ibu keluar ya Bu?”. Saya berpikir sejenak. Karena yang sekarang baru saja mulai bekerja. “Yang dari Purworejo”. Katanya. Oooh…

Ya Budhe. Cuma sempat kerja beberapa hari saja, terus pulang dan tak kembali” kata saya.

Alasannya apa Bu waktu minta ijin pulang?” Saya lalu menceritakan jika alasannya waktu itu adalah ingin pulang selama 2 hari karena ingin mengurus administrasi anaknya sebentar karena mendapat sejenis beasiswa. Ya jadi saya ijinkan, karena buat saya pendidikan anak itu sangat penting. Tapi di hari yang ia janjikan akan datang ia tak muncul. Demikian juga hari hari berikutnya hingga saya mendapat konfirmasi bahwa ia positive keluar.

Saya sendiri tidak menyesali kepergiannya, karena saya mendapatkan informasi berikutnya bahwa ia sebenarnya ogah-ogahan bekerja dan bahkan memiliki sejarah kejujuran yang buruk saat bekerja dengan majikan-majikan sebelumnya. Jadi beruntunglah saya tidak perlu bergalau hati seandainyapun ia ketahuan melakukan hal yang aneh-aneh. Tapi bagian ini tidak saya ceritakan kepada si Budhe Tukang Jamu.

Saat saya terdiam sambil mengingat-ingat wajah si Mbak yang cuma sempat bekerja beberapa hari saja di rumah saya itu, si Budhe tiba-tiba curhat.

Itu lho Buuuu! Mbaknya itu membawa kabur baju saya dan nggak bayar” katanya dengan muka sangat murung. Hah ???!!!.

Saya seperti tersengat listrik. Kaget!. Lha? Kok bisa?? Dia kan hanya beberapa hari saja kerja di tempat saya? Kok sudah sempat-sempatnya melakukan kejahatan?. Saya tidak mengerti. Selain itu, ia juga orang baru di perumahan ini. Karena sebelumnya ia bekerja di perumahan lain di BSD.

Lah..Budhe kok bisa percaya ngasih baju ke orang baru gitu? “ tanya saya heran. Si Budhe yang baik ini selain menjadi Tukang Jamu juga berjualan baju dengan cara nencicil-cicilkan kepada para pembantu rumah tangga di perumahan itu. Pernah saya ceritakan di tulisan ini (Tukang Jamu Dalam Ekosistem Perumahan) sebelumnya.

Lha…gimana to Bu?. Wong dia bilangnya besok pasti akan dibayar karena waktu itu dia nggak bawa uang. Ya saya percaya saja“. Katanya memelas. Saya kok tidak tega melihatnya.

Terus saya tanya tanya ke orang-orang. Dikasih tahuin itu pembantunya Ibu Dani. Terus karena nggak dateng-dateng, saya samperin ke rumah ibu. Saya ketok-ketok, nggak ada yang bukain pintu.”. Ceritanya. Waduuuh ..nama saya jadi kebawa-bawa deh ya.

Terus saya tanya Mbak Imah ( Tukang Sayur) katanya sudah lama nggak pernah muncul belanja sayur. Mungkin sudah pulang ke Jawa. Atau brenti kerja, Bu?”. Saya semakin tidak tega mendengarnya. Ya…memang dia sudah lama pamit pulang. Cuma beberapa hari saja di rumah saya. Walaupun cuma beberapa hari saja, ternyata sudah mampu menciptakan penderitaan bagi orang lain.

Saya bertanya berapa banyak ia berhutang. Budhe menyebutkan sejumlah angka. Ooh..rupanya tidak terlalu besar. Saya pikir saya masih bisa menalangin dengan ikhlas. Kasihan juga si Budhe jika ia harus nenanggung kerugian akibat ulah pembantu yang bekerja di tempat saya.

Akhirnya saya tepuk bahunya si Budhe. “Sudahlah Budhe. Nanti saya ganti. Biar Budhe nggak rugi” kata saya lalu membayar sekalian dengan harga jamu kunyit asem. Si Budhe mengucapkan terimakasih dan terharu. “Kok bisa ya ada orang kayak gitu. Nggak kayak yang lainnya di perumahan ini. Biasanya jujur. Apa dia juga ada minjem uang sama Ibu? ” tanya si Budhe. “Ya Budhe. Tapi nggak seberapa. Buat ongkos pulang dan keperluan di sana saja”. Kata saya. Dan saya sudah mengikhlaskannya saat itu. Jadi saya tak punya beban ataupun rasa sesal sedikitpun. Sekarang saya baru tahu ternyata ia merugikan si Budhe Tukang Jamu.

Sambil berjalan pulang saya jadi berpikir-pikir. Urusan pembantu rumah tangga memang masalah yang sangat pelik buat ibu-ibu. Kita memasukkan orang asing yang tak kita kenal ke dalam rumah kita.

Jika kita percaya begitu saja, kita tak pernah tahu sebelumnya apakah orang ini jujur dan akan terus jujur selama di rumah kita. Jika tidak, tentu kita yang akan kena musibah.

Tapi jika kita tak percaya dan cenderung curiga tentu akan menghasilkan hubungan kerja yang kurang harmonis juga dengan pembantu. Karena pada kenyataannya, menurut pengalaman saya kebanyakan dari mereka sebenarnya jujur-jujur dan baik-baik. Tentu tidak adil juga jika mereka dicurigai setiap saat.

Interview, sreening dan reference di saat awal menurut saya tetap penting. Walaupun kadang-kadang si pemberi referensi juga tidak mengenal cukup baik.

Teman-teman adakah yang punya pengalaman serupa?

Bertemu Kiki, Penjaja Kue Keliling di Melia Walk.

Standard

Suatu malam saya pulang kemalaman dari kantor. Jadinya telat masak deh. Takut anak-anak kelaparan menunggu, sayapun mampir ke ruko Melia Walk di Graha Raya buat beli lauk. Mau dibungkus dan dibawa pulang saja. Praktis.

Saya memesan dan menunggu antrian. Karena agak lama, sambil menunggu sayapun berjalan-jalan di sekitar ruko itu untuk melihat-lihat barangkali ada cemilan lain yang bisa saya belikan buat anak-anak.

Saat berjalan, seorang anak kecil dengan ransel di punggung melintas tak jauh dari saya. Ia juga menenteng 3 box yang isinya kue. Sambil melangkah masuk ke dalam restirant sebelah, ia menawarkan kuenya kepada pengunjung restoran. Sayang tidak ada yang berminat tampaknya. Anak itu berjalan lagi. Saya memperhatikan langkah kaki kecilnya. Anak itu terlihat tetap optimis, walaupun ditolak.

Merasa iba, akhirnya saya memanggil. “Bawa kue apa, dek?” Tanya saya. Anak itu membuka dagangannya. Rupanya ada donut, dan kue bulat yang isinya coklat. “Berapa harganya?”. “Dua ribu Bu” jawabnya dengan riang. Saya pun memilih kue kue itu.

Saya beli delapan buah ya” kata saya. Anak itu tampak semangat memasukkan kue kue yang saya pilih ke dalam kantong plastik. Wajahnya yang gelap tampak riang penuh harapan.

Saya jadi teringat akan anak saya sendiri. Mengapa ya anak ini masih berkeliaran di luar rumah menawarkan dagangan, padahal malam sudah cukup larut begini?Saya pun jadi ingin tahu.

Anak itu bernama Kiki. Umurnya baru 10 tahun. Kelas 4 SD. Menurut ceritanya, ia sudah berdagang kue setiap malam sejak ia kelas 1 SD. Saya nerasa prihatin mendengarnya.

Lalu kapan belajarnya?” Tanya saya. “Sore, Bu. Sepulang sekolah” jawabnya dengan pasti. Tetap dengan nada riang dan optimist. Entah kenapa, saya merasa menyukai anak itu. Dan semakin penasaran.

Rupanya anak itu mengambil barang dagangan dari bibinya yang sehari-hari membuat kue. Untuk setiap buah kue yang terjual, ia diberikan bibinya Rp 1 000. Kiki bercerita bahwa ia biasanya membawa 4 box kue yang totalnya 60 buah. Rata-rata ia hanya mampu menjual 2 box atau sekitar 30 kue semalam. Jadi untung yang bisa ia dapatkan sehari sekitar Rp 30 000. Lumayan ya.

Semakin ingin tahu, sayapun bertanya lagi untuk apa ia gunakan uang keuntungan itu. “Buat mama belanja dapur. Saya juga kadang ngambil. Lima ribu atau sepuluh ribu kalau ada perlu” katanya dengan muka senang. Oh!. Kerongkongan saya terasa tercekat mendengarnya. Rasa sedih dan tak percaya mendengar ucapannya itu. “Mama saya di rumah saja. Tidak bekerja” katanya saat saya tanya apa pekerjaan mamanya.

Sejenak pikiran sedih melintas di kepala saya. Memang bapak anak ini ke mana ya? Apakah orang tua mereka berpisah?. Atau……?.

Bapak saya di rumah. Sedang tidak punya pekerjaan sekarang. Lagi nyari nyari, Bu. Tapi belum dapat” katanya seolah meralat pikiran saya. Saya tercengang dibuatnya. Anak ini sangat tulus. Tidak sedikitpun ia menyalahkan orangtuanya yang nganggur yang membuat ia terpaksa harus bekerja sampai malam untuk menanggung keluarga. Ia seolah paham, bahwa itu hanya nasib buruk yang sedang menimpa ayahnya, sehingga daripada hanya bisa menyalahkan ia lebih memilih untuk membantu memecahkan masalah.

Saya kasihan sama mama. Jadi saya bantu cari uang dengan jualan kue” katanya. Tak terasa air mata saya mengambang. Dada saya rasanya sesak. Kalimat anak itu sungguh menyentuh hati saya sebagai seorang ibu. Ingin rasanya saya memeluknya saat itu.

Saudaramu ada berapa?” Tanya saya lagi. Dia bercerita jika ia punya satu orang kakak laki yang sekolahnya SMA tapi sudah tidak sekolah lagi saat ini. Dan tiga orang lagi adik-adiknyang masih kecil. “Kakakmu juga berjualan kue?” Tanya saya. Ia menggeleng. “Tidak, Bu. Dia nanti mau bekerja. Sekarang lagi cari -cari pekerjaan”. Saya semakin sedih mendengarnya.

Jadi, nggak ada orang yang bekerja di rumahmu selain kamu?” Tanya saya semakin pilu. Anak sekecil ini harus berjuang seorang diri setiap malam untuk memastikan dapur keluarganya mengepul. Mengapa yang lain tidak ikut berjualan kue juga? Bathin saya meronta. Tapi tentu saja saya tak punya jawaban dan pemecahannya.

Pernahkah kamu merasa sedih? ” tanya saya. “Pernah Bu. Kalau dagangannya nggak laku” jawabnya dengan lirih. Oooh. Rasanya saya benar-benar ingin merangkulnya. Cerita anak ini sangat mengharukan, walaupun belum tentu ia merasa apa yang ia sampaikan semengharukan begitu.

Akhirnya saya usap-usap kepalanya. Saya sampaikan pendapat saya bahwa ia anak yang sangat baik dan berbakti pada orang tua. Sejak kecil sudah berusaha dan bekerja keras. Kelak ia akan terbiasa menghadapi persoalan hidup dengan mudah. Semoga besarnya akan menjadi orang yang sukses dan berhasil dalam hidup. Anak itu mengamini doa saya.

Sayapun membayar harga kue itu dan meninggalkan sedikit tambahan rejeki untuknya malam itu.

Ia sudah melakukan yang terbaik yang bisa ia lakukan di usianya untuk membantu keluarganya. Semoga kelak ia menjadi orang yang sukses dalam kehidupan.

Melia Walk malam itu memenuhi pikiran saya dengan cerita si Kiki. Kiki barangkali hanya salah satu dari anak di Jakarta ini yang harus berjuang untuk membantu memenuhi kebutuhan keluarganya yang sedang mengalami kesulitan untuk hidup. Entah berapa banyak lagi yang menjalani kehidupan serupa di luar sana.

Musibah Di Jalan Raya.

Standard

KecelakaanHari Rabu minggu yang lalu saya pulang agak malam dari kantor. Ada banyak pekerjaan yang harus saya selesaikan. Memasuki Jalan Daan Mogot, saya berhenti sebentar hendak membeli Jeruk di mobil pick-up yang parkir di pinggir jalan. Belum sempat memilih, tiba-tiba sebuah kecelakaan sepeda motor terjadi persis di depan mata saya. Sang pengendara terlempar keras ke trotoar. Penabraknya lari dengan kecepatan tinggi. Ulu hati saya seketika terasa nyeri melihat pemandangan itu. Tanpa berpikir panjang saya berlari menghampiri korban. Berusaha memeriksa keadaannya  dengan hanya dibantu cahaya kendaraan yang lewat, karena pinggir jalan cukup gelap. Syukurlah ia sadar dan bisa bangun lagi. Tangan, siku dan kakinya luka. Celana panjangnya sobek sepanjang kakinya. Kelihatannya ia bermasalah dengan leher, punggung dan bahunya karena kebentur trotoar. Saya tidak tahu seberapa parah, karena gelap. Tapi ia mengeluh kepala dan lehernya sakit. “Kalau tidak pakai helm, tidak tahu deh Bu, bagaimana jadinya kepala saya kebentur trotoar” katanya tetap bersyukur.

Saya pikir  saya harus membawanya ke rumah sakit terdekat.Tapi pria itu tidak mau. Ia merasa masih cukup kuat. Akhirnya saya tanya di mana rumahnya? Ia bilang di Kebon Nanas. Saya menawarkan diri untuk mengantarnya pulang, karena melihat motornya yang terlihat ringsek. Beberapa pemotor lain yang lewat berhenti dan bersimpati kepada korban. Semuanya menawarkan pertolongan. Semuanya tidak ada yang keberatan jika harus mengantar pulang atau ikut mendorong motornya hingga ke bengkel terdekat. Dari mereka saya tahu,bahwa sang penabrak itu memang sudah menunjukkan ugal-ugalan di jalan sejak awal. Zig Zag dan mengendarakan motor dengan super cepat. Ada beberapa pemotor lain yang marah mengejar penabrak itu. Tapi rupanya kalah cepat dari sang penabrak.

Seorang teman kantor yang melihat saya di sana, juga ikut berhenti.  “Kenapa Bu?” tanyanya khawatir. Saya lalu bercerita apa yang terjadi. Yang mengalami masalah bukan saya. Tapi pria di depan saya itu.

Karena korban tidak mau diantar ke rumah sakit, saya berusaha memberinya pertolongan pertama dengan membersihkan dan memberi obat luka-lukanya. Sangat beruntung ada obat merah di kendaraan saya. Dan teman saya juga kebetulan sedang membawa alkohol untuk membersihkan luka, perban dan plaster. Ada juga yang memberikan air mineral. Jadi lumayanlah kami bisa membantu menutup lukanya yang terbuka untuk sementara. Kelihatan ia masih sangat gemetar, dan menahan sakit. Beberapa orang motoris menyarankan ia segera melatih menggerak-gerakkan persendiannya agar tidak keburu kaku. Ia pun menurut. Setelah agak lama, ia  mulai terlihat agak tenang dan menguasai dirinya kembali. Ia bilang kalau motornya hidup, mungkin ia masih bisa pulang naik motor.

Coba di start tidak mau hidup. Dicoba lagi berkali-kali tetap tidak mau hidup.  Saya menyarankan agar ia menitipkan di pos Satpam terdekat. Tapi teman saya dan yang lain masih mencoba memperbaiki dan menyambung kabel-kabel motor itu. Yang lain mencoba membantu memberi cahaya dengan hape-nya. Setelah beberapa lama akhirnya motor berhasil hidup kembali.  Syukurlah. Saya merasa sangat terharu.  Ternyata sangat banyak orang peduli akan sesama yang mengalami musibah.

Pria itu lalu  mencoba kendaraannya. Setelah kelihatannya Ok ia pamit dan mengucapkan terimakasih. Kamipun bubar. Saya kembali ke tukang jeruk.

Musibah di jalan raya. Tidak seorangpun ingin mengalaminya.Tapi terkadang tidak bisa kita hindarkan juga. Kita sudah berusaha hati-hati, belum tentu  orang lain juga begitu. Ada saja yang urakan di jalan dan tidak perduli akan keselamatan dirinya sendiri serta keselamatan orang lain. Jadi mesti waspada dan selalu pastikan kita menggunakan perlindungan yang maksimal. Minimal pakai helm. Kalau bisa pakai pakaian yang tebal dan sepatu yang kuat.  Lumayan untuk menghindari kejadian yang lebih parah. Seperti korban kecelakaan yang saya lihat itu. Kepalanya terbentur di trotoar, tapi untungnya masih terlindung oleh helm. Setidaknya,  lukanya bisa berkurang.

Seorang teman lain yang mendengar cerita saya itu bertanya  “Ibu nggak apa-apa? Nggak dikeroyok orang? Hati-hati lho di Jakarta ini. Kadang-kadang menolong orang kecelakaan malah disangka kita yang nabrak. Apalagi jika masa melihat hanya mobil kita satu-satunya yang ada di situ. Bisa-bisa kita yang digebukin masa” katanya. Hmm… saya jadi mikir juga sedikit. Ya sih. Sebelumnya saya pernah juga mendengar cerita begitu. Tapi nggak juga  sih. Orang lain tahu kok kalau bukan saya yang menabrak. Saya hanya bermaksud menolong.

Sebelumnya saya juga pernah mendengar peringatan, agar  hati-hati menolong orang kecelakaan di Jakarta. Mengantarkan orang kecelakaan ke rumah sakit, maksud kita baik tapi  resikonya cukup merepotkan juga. Jika kita yang membawanya ke rumah sakit, terkadang pihak rumah sakit malah membebankan biaya pengobatan kepada kita yang membawanya ke sana. Hmm..masak sih? Saya tidak tahu kebenarannya. Saya pikir seharusnya setiap rumah sakit tentu punya dana x% yang disisihkan untuk membantu  memberi pertolongan orang-orang yang kena musibah seperti ini. Demi kemanusiaan.

Terus ada juga yang cerita, maksud kita menolong malah kita jadi repot dipanggil polisi sebagai saksi. O ya.. menurut saya itu memang bisa saja terjadi. Karena memang kita melihat kejadian itu. Tentu wajarlah kalau polisi memanggil kita menjadi saksi.

Menurut hemat saya, atas nama kemanusiaan apapun resikonya sebaiknya kita tetap perlu berusaha menolong orang lain yang sedang mengalami musibah. Tentu saja sedapatnya kita. Karena  jika semua orang takut dan khawatir membantu orang lain, tentu kasihan sekali para korban kecelakaan itu. Bisa jadi telat mendapatkan pertolongan. Dan jika parah tentu fatal akibatnya.  Syukurnya yang saya lihat tidak begitu. Faktanya kejadian malam itu, banyak kok warga Jabodetabek yang masih peduli sesama. Banyak yang menyatakan kesediaannya untuk menolong. Semoga tetap seperti itu seterusnya.

 

 

Telepon Umum, Icon Komunikasi Masa Lalu.

Standard

Telpon UmumTadi pagi saya berjalan-jalan ke luar rumah. Belum berani berlari cepat untuk menghindari terkilir  ke sekian kalinya. Jadi pelan-pelan saja sambil menyapa para tetangga dan pedagang di perumahan. Tiba di depan ruko, pandangan mata saya tertuju pada kotak telepon umum yang berdiri di sana.  Di bawahnya ada 2 tong sampah. Kelihatan agak kumuh sih.

Sebenarnya box telpon umum ini masih berdiri tegak di tiangnya. Warnanya biru terang, walau catnya sedikit agak pudar, namun secara keseluruhan masih kelihatan bagus.  Ketika saya dekati, pesawat telponnya sudah tidak ada. Sudah digondol entah oleh siapa.Tinggal hanya dinding belakangnya yang memiliki 2 lubang mirip mata. Hmm…sayang sekali. Kenapa ya tidak dipasang lagi pesawat telponnya? Sekarang saya jadi berpikir, apakah telpon umum sudah benar-benar tidak dibutuhkan lagi sekarang ini?. Mengapa pemerintah (baca: PT Telkom) membiarkannya terlantar sedemikian rupa?.

Telpon genggam sekarang bukan lagi barang mewah. Hampir semua lapisan masyarakat memilikinya. Mulai dari yang namanya pejabat hingga rakyat jelata memiliki hape.  Mulai dari si konglomerat hingga pemulungpun juga punya hape. Wah..Indonesia makmur banget ya?. Namun apakah memang sedemikian meratanya kemakmuran rakyat Indonesia sampai semuanya sudah punya telpon genggam? Sehingga telpon umum benar-benar sudah tidak dibutuhkan lagi?  Jika memang benar-benar makmur, mengapa masih ada banyak pengemis kita temukan di jalan raya? Mengapa masih banyak Pak Ogah di jalananan? Masa buat telpon genggam ada, tapi buat makan nggak ada?

Saya pikir pemerintah sebaiknya tetap menyediakan telpon umum. Karena walaupun penetrasi telpon genggam di Indonesia mungkin tinggi, namun saya yakin belum mendekati 100%. Dari sekian ratus juta masyarakat Indonesia tentunya tetap saja ada yang tidak memiliki telpon genggam. Atau barangkali hape-nya sedang rusak atau ketinggalan. Atau punya hape tapi nggak punya pulsa. Ada saja masyarakat yang tetap membutuhkan jasa telpon umum ini. Miinimal untuk keperluan darurat.

Saya salah satu pengguna yang merasa harus berterimakasih banyak  pada jasa telpon umum. Dulunya saya pengguna aktif telpon umum. Terutama karena saya tidak tinggal dengan orang tua saya sejak selepas SMA. jadi telpon umum merupakan sarana komunikasi yang super penting bagi saya. Buat nelpon keluarga, nelpon teman dan tentunya nelpon…..pacar saya di jaman itu. Pake telpon rumah kan biayanya lebih mahal. Lagipula saat itu di tempat kost saya tidak dipasang telpon. Jadi pake telpon umum tentu jauh lebih irit dalam memecahkan masalah komunikasi.

Banyak serunya juga menggunakan telpon umum. Mulai dari mencari lokasi telpon umum yang tidak rusak. Karena walaupun ada banyak telpon umum tersebar di kota tempat saya tinggal, namun secara bergiliran ada saja yang rusak. Nah kalau telpon umum di dekat tempat kost atau di kampus tidak befungsi, saya harus rela naik motor, naik bemo atau bahkan jalan kaki mencari telpon umum yang lain. Dan itu sering banget.

Lalu saat kita betemu telpon umum yang berfungsi dengan baik, belum tentu kita bisa langsung menggunakannya. Saya ingat di masa kejayaannya sekitar tahun 80-an hingga pertengahan tahun 90-an, orang-orang bersedia antri demi bisa menggunakan jasa telpon umum. Barangkali serupa dengan antrian di ATM jaman sekarang. Mengantri di depan telpon genggam saat itu sudah merupakan hal yang biasa. Dan walaupun jarang, kadang-kadang ada juga yang menyerobot di antrian dengan tidak sopannya. Bikin gondok juga. Tapi jika ada orang orang yang punya keperluan darurat ingin mendahului saya di antrian,biasanya saya persilakan dengan senang hati.

Bagian yang tidak enak lainnya adalah ketika antrian sudah sangat panjang dan lama, namun yang sedang menelpon tidak tahu diri. Ngobroooooolll aja terus tanpa perduli orang lain sudah menunggu diluar kehujanan, kepanasan atau berkeringat.

Setelah tiba giliran kita nih, masih ada lagi kemungkinan yang lain. Yaitu koin masuk tapi tidak nyantol dengan mudah. Tapi lepas dan jatuh keluar lagi.  Nggak click, sehingga harus melakukan beruang-ulang sampai uangnya bisa nyantol dan telpon siap digunakan. Hal kurang nyaman lainnya adalah saat kita berbicara tentang sesuatu dan orang lain ikut menguping pembicaraan kita. Nah itu nggak enak rasanya. Untungnya jaman dulu kebanyakan telpon umum ada boxnya dimana kita bisa masuk dan menutup pintu box itu. Walaupun kadang-kadang pintunya rusak juga.

Itu memory saya tentang telpon umum. Ada nggak yang punya kenangan lain seputar telpon umum? Apakah menurutmu Telpon Umum masih perlu disediakan dan dipelihara atau tidak oleh PT Telkom sih?

Tukar Kado.

Standard

Tukeran kadoIni cerita tentang hari pertama saya masuk kembali ke kantor. Sejak hari sebelumnya  saya sudah diwanti-wanti teman saya agar jangan lupa membawa kado untuk acara Tukeran Kado. Acara akan dilakukan pada hari Senin di minggu pertama saya kembali bekerja. Sudah terbayang akan serunya acara.  Saya pun harus segera menyiapkan kadonya. Nah kado yang harus disiapkan oleh semua orang tentunya memiliki persyaratan khusus. Nilainya harus sekitar Rp 50 000.   Tujuannya adalah agar para penerima kado tidak ada yang merasa dirugikan atas acara itu. Mau terima kado apapun sebagai tukerannya pasti yang ada hanya rasa seru.

Apa ya? Saya benar-benar tidak punya ide yang kreatif mau memberi kado apa. Jadi pada hari Minggu sore, dengan diantarkan oleh suami dan kedua orang anak, saya pergi ke sebuah hypermarket di bilangan Bintaro untuk mencari kado yang keren  dengan harga Rp 50 000. Sibuk hunting aneka barang  dengan harga Rp 50 000. Ada  gantungan baju  yang berputar  dari plastik. Harganya Rp 49 990. Nah ini kayanya cocok. Tapi entah kenapa saya merasa agak kurang sreg dengan hadiah itu. Lalu saya bertemu taplak meja makan dari renda imitasi, harganya Rp 49 000.  Kurang seribu ya. Mungkin nggak apa-apa ya. Kan plus minus. Warnanya putih bersih. Saya suka sih. Tapi lama lama saya amati, kok seperti palsu begitu ya. Mungkin karena saya kadang merenda  sendiri taplak meja saya dari benang katun, jadi begitu melihat  taplak meja renda yang pabrikan, saya merasa agak kurang natural.  Ah..parkir dulu barangnya. Saya mau melihat yang lain dulu.

Anak saya lalu memanggil saya ke bagian binatang piaraan.  “Ma! Bagaimana kalau hadiahnya  marmut saja?  Harganya pas Rp 50 000″ kata anak saya sambil menunjuk beberapa ekor marmut yang berada dalam sangkar kecil. Saya melihat harganya Rp 50 000.Pas!. Tapi saya mikir lagi. Walaupun dibungkus rapat dengan kertas kado, binatang ini tentu akan mencicit. Saya tidak bisa merahasiakan kado saya.  Selain itu belum tentu semua orang suka dengan marmut.Ah! Tidak jadi ah. Saya pun melanjutkan lagi hunting barang seharga Rp 50 000.

Ada frame photo, ada setrika, ada pemanas air listrik (ketelnya sih dari plastik ada tempat  makanan, lalu saya ketemu cangkir set. Ah! yang ini kelihatannya sangat menearikdan layak. Bentuk cangkirnya  tabung persegi empat. Bukan tabung bulat atau cylinder.   lagi lihat-lihat,lalau anak saya yang kecil menyongsong berlari dengan nafas ngos-ngosan . “Aduuuh, Mama. Lama banget sih Ma. Dari tadi dicari-cari  Papa. Belum dapat juga kadonya, Ma?”  Anak saya mengeluh dengan muka manyun dan langsung ndeplok di lantai. Saya jadi merasa tidak enak. Kelamaan milah milihnya. Tanpa ba bibu lagi langsung saya angkat cangkir set itu ke keranjang belanjaan.

Sampai di rumah saya langsung membungkus  kado itu dengan kertas kado yang sekalian saya beli di hypermarket tadi.  Besoknya saya bawa ke kantor.

Sesampai di kantor, teman-teman  melihat kebungkusan kado saya dan langsung pada komentar. “hah! Nggak boleh. Nggak boleh. Kok dibungkus kertas kado? Kan perjanjiannya harus dibungkus kertas koran?” Oh ya! Saya lupa! Salah ya jadinya. “ayo bungkus ulang dengan koran mumpung acar belum di mulai.” kata teman saya. hayaaa! ini jadi ngulang membungkus deh. Akhirnya ya saya membungkus kembali kado itu. Setalah selesai cepat-cepat menyerahkannya ke teman yang bertugas mengumpulkan kado. Lalu acar tukeran kado pun dimulai.  Setiap peserta diwajibkan mengambil nomor undian yang ditempatkan di  mangkok undian yang dikocok. Mirip dalam arisan.  Setiap orang berhak mengambil kado sesuai dengan nomor yang didapatkannya dari undian itu. Seperti sudah diduga, acaranya seru banget. Terutama pas saatnya membuka bersama-sama kado tahun baru yang kita terima. Setiap orang penasaran ingin buru-buru tahu apa yang diterimanya saat itu. Saya sendiri mendapatkan tiga buah dompet etnik  dari Bali yang terbuat dari anyaman daun pandan, yang tentunya bernilai sekitar Rp 50 000. Lah? Kok pas ya dapat dompet hias Bali?. Saya juga semangat untuk melihat benda apa saja yang diterima oleh teman-teman saya yang lain. Ada tempat minum, talenan dan pisau,  baju  mirip daster, kotak makanan, sandal, kotak tisue, bantal, sendok garpu set, bantal dan sebagainya.  Semua benda itu terlihat sangat menarik,  yang dengan sangat kreatif telah dipilih oleh teman-teman saya sebagai kado dengan memanfaatkan budget Rp 50 000.  Ada satu hadiah yang membuat saya ngiler : bibit bunga lavender dan media tanamnya.  Entah siapa yang memberikannya. Sayang tidak jatuh ke tangan saya.

Dan ketika saya tahu cangkir persegi empat yang saya pilih diterima seorang teman , diam-diam sayapun berdoa semoga teman saya itu menyukainya. Semoga ia tidak menganggap pilihan saya lebih buruk dari pilihannya sendiri.

Saya senang dengan acara ini. Pertama tentu karena seru dan hebohnya.  Ke dua karena acara-acara seperti ini membuat kami semakin dekat satu sama lain. Sangat berkesan dan tentunya akan sering saya kenang.

Bagaimana cerita teman-teman dalam menyambut tahun baru? Apakah ada acara seru yang dilakukan?

Sekali Lancung Ke Ujian, Seumur Hidup Tak Dipercaya.

Standard

???????????????????????????????Pulang dari kantor, ke dua anak saya sudah menunggu dengan wajah tidak sabar.  Jarang saya melihat mereka sedang menganggur tidak melakukan apa-apa  ketika saya sampai di rumah. Biasanya saya menemukan mereka sedang menonton TV, sedang bermain game, sedang menyiapkan buku untuk dibawa ke sekolah esok harinya, atau sedang belajar, sedang menyelesaikan prakaryanya atau sedang makan.  Wah! Ada apa ini?

“Maaf Ma! Boleh periksa tas Mama ya? Mama mungkin membawa dua charger komputer ke kantor” kata anak saya yang besar sambil menjelaskan bahwa batere laptopnya habis. Saya mengangguk, membolehkan anak saya memeriksa tas saya. Anak saya yang kecilpun menyusul mengatakan hal yang sama. Bahwa ia tidak bisa meyalakan laptopnya karena beterenya juga habis. Ouh! Begitu ya? Saya nggak ngeh kalau tanpa sengaja telah membawa lebih dari satu charger ke kantor. Waduuh, saya jadi kasihan sama anak-anak saya. Jadi dari tadi tentunya tidak bisa bermain game atau mengerjakan tugas sekolah yang membutuhkan komputer karena chargernya terbawa tanpa sengaja oleh saya.

Kedua anak sayapun dengan bergegas membuka tas laptop saya dan  wajahnya seketika kecewa ketika tidak menemukan charger lebih di sana. Hanya sebuah. “Wah?! Kok nggak ada  ya?. Jangan-jangan di kantong yang ini?!” anak saya lalu membuka kantong tas yang lainnya, namun tidak menemukan charger laptop mereka di sana. Masih belum berputus asa, mereka lalu memeriksa tas tangan saya. Masih tetap tidak bisa menemukan  apa yang dicarinya.”Hmmm..kemana ya?”  Keduanya tampak berpikir keras mencari tahu kemana gerangan chargernya.

Mengetahui itu sayapun ikut mengingat-ingat, apakah saya memang ada membawa charger lebih ke kantor. Rasaya sih tidak ya.Lalu kemana charger itu pergi?  Untuk urusan personal, saya dan suami sama-sama menggunakan komputer merk A di rumah. Sedangkan kedua anak saya menggunakan komputer merk B.  Jadi biasanya yang sering saling bertukar charger adalah saya dengan suami karena chargerya sama. Atau anak saya yang besar dengan yang kecil. Namun berhubung laptop dinas saya dari kantor adalah merk B juga, maka kadang-kadang charger kantor sayapun bisa tertukar dengan anak-anak.  Kalau habis dipinjam, charger kadang -kadang ketinggalan di rumah alias lupa tidak terbawa ke kantor. Ruwet deh!.

Masalah tambah ruwet, karena salah satu dari charger anak saya juga ketinggalan saat kami pulang kampung sebelumnya. Tidak terbawa ke Jakarta. Akibatnya sekarang ada tiga laptop dengan merk yang sama hanya menggunakan 2 charger. Kurang satu deh. Semakin seringlah charger saya dipinjam anak-anak. Atau kadang kalau charger saya dipakai oleh salah satu anak, maka saya yang meminjam charger anak yang satunya lagi. Itulah sebabnya ketika anak-anak menyangka bahwa sayalah yag  membawa charger mereka, saya tidak buru-buru menyangkal. Siapa tahu memang terbawa oleh saya? Walaupun dalam hati saya merasa tidak ada melihat 2 charger di dalam tas.

Nah lho?! Jadi kemana charger itu sekarang ya?

Karena baru pulang dari kantor dan merasa agak malas membongkar-bongkar, saya menyarankan agar anak-anak bertanya kepada si Mbak yang di rumah saja. Siapa tahu ia yang merapikan dan menyimpankan chargernya. Anak-anak pun menurut. Dan benar saja,  ternyata Si Mbak yang merapikan dan menyimpan charger itu di dalam laci meja belajar anak-anak. Waw..pantes aja. Karena tidak pernah menyimpan charger di sana, jadi anak saya tidak terpikir sama sekali bahwa chargernya sebenarnya ada di rumah. Mereka cuma puya satu dugaan kuat bahwa sayalah yang tanpa sengaja membawa charger itu ke kantor.

Ketika saya bertanya,mengapa anak-anak menyangka saya yang membawa dan bukannya mengubrek-ubrek laci meja belajarnya terlebih dahulu? Anak saya menjawab, bahwa mereka menduga begitu karena sebelumnya saya pernah tanpa sengaja membawa charger lebih dari satu ke kantor.  Oh ala..!Rupanya begitu ya?  Sekali berbuat salah, rupanya jadi dicurigai akan mengulangi hal yang sama lagi ya? Apalagi kalau berbuat curang, lain kali tentu tidak akan dipercayai lagi. Jadi lain kali berhati-hatilah.

Ini bisa terjadi pada segmen kehidupan kita yang lain juga. Di sekolah misalnya. Janganlah sekali-sekali mencoba mencontek. Karena jika sekali saja ketahuan mencontek, maka semua nilai bagus yang pernah kita dapatkan dari usaha murni dan jujur kita sebelumnya, jadi hilang semua. Karena sekarang semua teman-teman menyangka  bahwa kita mendapatkan nilai tinggi yang sebelumnya itu adalah hasil mencontek juga. Tidak menyenangkan, tentunya.

Itulah sebabnya mengapa ada pepatah “Sekali lancung ke ujian, seumur hidup tak dipercaya” . Tentunya tidak asing dengan pepatah lama ini bukan?

Gossip! Jangan Cerita Kepada Siapa-Siapa Ya…

Standard

KenyiriSeorang teman bercerita kepada saya betapa kesalnya ia digossipkan oleh orang-orang di lingkungannya. “Kalau memang perhatian, mengapa tidak bertanya ke aku, kok malah bercerita kepada orang-orang lain.” Keluhnya. Walaupun saya tidak tahu detail, apa yang sedang digossipkan orang-orang tentang dirinya, saya merasa kasihan mendengarnya.  Saya membayangkan seandainya saya yang menjadi dirinya. Tentu akan merasa sangat tidak nyaman.

Gossip!. Terlepas dari benar-atau tidaknya, selalu menggelitik keingintahuan. Karena pada dasarnya, manusia adalah mahluk yang dibekali ‘curiousity’ yang tinggi. Kaypo! Pengen tahu!. Selain pengen tahu, manusia adalah mahluk sosial. Yang jika memiliki sesuatu (berita), maka ingin secepatnya berbagi dengan orang lain.

Demikianlah proses gossip terjadi. Kalau saja kita tidak menyadari bahwa bergossip itu adalah perbuatan yang kurang baik, tentu kita semua akan sangat suka bergossip. Termasuk saya, tentunya. Namun, karena ajaran, berbagai kejadian dan pengalaman hidup membuat banyak orang akhirnya justru menghindarkan diri dari bergossip. Sayapun meminta teman saya itu untuk tidak usah bercerita lagi kepada orang lain. Karena orang lain belum tentu menolong. Selain itu menceritakan kekesalan hati berulang kali bukannya menyembuhkan, namun justru menambah kesal. Lebih baik cari pemecahan masalahnya dan kalau perlu klarifikasi untuk menghentikan gossip yang beredar.

Mendengarkan Gossip.

Seringkali kita tak mampu menghindarkan diri dari mendengarkan gossip. Misalnya jika  gossip  itu berawal dari curhat biasa seorang teman. Si A mengeluh bahwa ia diperlakukan begini oleh Si B.  Lalu mulai menceritakan kesalahan yang dilakukan oleh si B yang kemudian berkembang menjadi gossip.

Pengalaman saya mengatakan, jika mendengarkan curhat seperti ini biasanya kita cenderung akan  bersimphaty kepada pencurhat.  Kita juga cenderung akan mencocok-cocokan apa yang ia katakan dengan pengalaman kita sendiri. Dan … terbawa ikut berpikir negative, lalu mengiyakan apa yang dikatakan oleh si pencurhat.

Padahal kita baru mendengar sepihak dari sudut pandang si pencurhat, yakni Si A dan belum mendengar dari sudut pandang yang sebaliknya – yaitu Si B.  Bagaimana jika yang bercurhat-ria adalah Si B? Barangkali simphaty kitapun akan lebih tertuju kepada Si B dan bukan kepada Si A?

Lebih parah lagi, terkadang kitapun ikut terpancing menceritakan sedikit kejelekan yang kita ketahui tentang orang yang bersangkutan kepada si pencurhat, yang mengakibatkan masalah sepele itu kemudian menjadi besar dan berkobar.  Tanpa kita sadari, kitapun jadi ikut terlibat dalam lingkaran gossip itu.

Saya pernah mengetahui sebuah kejadian seorang teman. Sebutlah namanya Si C yang tadinya hanya bertindak sebagai pendengar curhat, ikut  terpancing sedikit mengemukakan pendapatnya yang negative terhadap orang lain.  Namun sungguh aneh!. Cerita si C  justru yang merebak kemana-mana dan menjadi tajuk berita. Akhirnya ia menjadi tertuduh sebagai pelaku gossip. Padahal Si C hanya bercerita 5% saja, sementara si pencurhat yang bercerita 95% kejelekan orang tidak terpublikasi.

Mengingat itu, maka saya  selalu berusaha berhati-hati  mendengarkan  curhat dan gossip.  Berusaha menahan diri agar jangan sampai ikut terbawa  berpendapat buruk yang belum tentu benar.  Terutama jika yang curhat adalah orang yang belum saya percayai dan kenal dengan baik.

Gossip Bekerja Melebihi Kecepatan Suara.

Teringat cerita dari suami saya. Pernah suatu masa di kantornya banyak sekali gossip yang beredar. Tembok dan langit-langit kantorpun terasa bertelinga dan berlidah. Apapun curhat yang disampaikan, pasti sampai ke telinga orang banyak dengan sedemikian cepatnya. “Melebihi kecepatan suara.”istilahnya.

Suami saya mengidentifikasi seorang rekan kerjanya yang sangat hobby bergossip. Ia sebut sebagai Biang Gossip. Namun yang bersangkutan tidak pernah mau mengaku dan merasa dirinya bukan biang gossip seperti yang dituduhkan orang.  Karena tetap tidak mau mengaku, suami sayapun mengarang sebuah berita bohong bahwa dirinya akan resign dalam waktu dekat . Berita karangan itu hanya ia ceritakan kepada si Biang Gossip dan tidak kepada orang lain. Diawali dengan kata khas cerita gossip “Eh..tahu nggak? “ dan disertai dengan pesan penutup  “Jangan bilang-bilang ya…”.

Tujuannya untuk membuktikan bahwa dialah si Biang Gossip dan sekaligus untuk mengukur kecepatan gossip berkembang di gedung kantor itu. Benar saja, hanya dalam hitungan  lima menit,  seorang rekan di department lain yang cukup dekat dengannya menelpon dan bertanya, apakah benar ia akan resign dari perusahaan dalam waktu dekat. Ha ha ha..

Perilaku Yang Bernilai Berita.

Gossip adalah berita kasak kusuk yang tidak diketahui kebenarannya. Gossip akan merebak dengan baik, jika memiliki NILAI BERITA. Dan Nilai Berita erat kaitannya dengan perilaku yang luar biasa..alias diluar kebiasaan umum.

Misalnya, saya ambil contoh di kantor – perselingkuhan dengan rekan kerja, akan sangat mudah sekali dijadikan bahan gossip. Mengapa? Karena seperti kata pepatah, saat kita jatuh cinta “Dunia  terasa hanya milik kita berdua”. Kita tidak sadar bahwa setiap gerak-gerik kita, tatapan mata kita, senyum kita dan sebagainya diamati oleh orang sekantor. Karena pandangan kita berfokus hanya pada si dia, kita pikir orang lain tidak tahu.  Bagaimanapun kita berusaha keras untuk menutup-nutupi, orang lain tetap akan membaca.  Mungkin banyak yang pura-pura tidak tahu, atau tidak perduli, tapi sebenarnya mereka tahu.

Dan jatuh cinta membuat “Tai kucingpun rasa coklat”.  Oleh karenanya kita akan semakin bertindak aneh menurut takaran umum. Kita akan cenderung memberi fasilitas lebih dan memberikan perlakuan istimewa kepada si dia. Sementara kepada yang lain, tidak. Dan bagaimanapun kita mencoba mengalihkan perhatian orang dengan mencoba juga memberikan perhatian yang setara (menurut kita) kepada yang lainnya, tetap saja orang lain akan bisa membaca bahwa itu berbeda. Orang justru akan melihat kita berpura-pura dan membaca strategy pengalihan perhatian itu.

Mengapa begitu? Karena sebagian besar orang di usia kerja, sudah pernah jatuh cinta. Dan mereka bukan orang bodoh. Tentu saja tidak bisa dibohongi.

Demikian juga kelakuan lain yang tidak umum, seperti  misalnya berpakaian yang kurang biasa, korupsi, kong kalikong, memberikan bisnis kantor dengan teman atau kerabat kita (nepotisme)dan sebagainya.  Semuanya akan mudah memancing pembicaraan orang. Sebaliknya jika kita bertindak biasa-biasa saja, bersih dan tidak ada sesuatu yang ditutup-tutupi, tentu tidak akan memancing orang membicarakan diri kita.

Menghindarkan diri untuk berprilaku yang berbeda dengan norma umum, akan sangat membantu kita untuk tidak dijadikan sasaran gossip.