Setelah menempuh penerbangan selama dua jam dari Kuala Lumpur, sampailah saya di Jakarta. Pesawat merapat ke terminal. Saya berkemas turun dan berdiri di alley pesawat. “Adik ke Jakarta, kan?” tanya seorang Ibu di belakang saya..”Ya, Bu. Saya ke Jakarta. Ibu juga dari Kuala Lumpur?”. Jawab saya. Ibu itu mengiyakan. “Dik, nanti saya tolong dikasih tahu caranya ya. Saya bingung caranya pulang. Belum pernah sebelumnya”. Ia mau ke Pamulang, tapi saudaranya yang awalnya mau jemput ternyata memberi kabar tidak bisa menjemput. Ok. Saya lalu menawarkan, bahwa Ibu itu boleh ikut saya sampai di Cileduk atau Bintaro. Dari sana bisa mengambil taxi sendiri ke Pamulang. Sudah dekat dan lumayan bisa irit ongkos.
Lalu ia bercerita banyak. Bahwa ia bekerja sebagai pembantu rumah tangga. Majikannya cukup baik. Namun menurutnya pekerjaannya sangat melelahkan. Ia jarang sekali mendapat istirahat. Kerja terus dari pagi sampai larut malam. Istirahat sebentar. Subuh harus bangun lagi utuk bekerja. Mulai mengurus anak, membersihkan dan merapikan rumah, mencuci gosok, memasak di dapur dan sebagainya. Semua ia kerjakan sendiri. Tidak ada pembantu lain. Ooh! Kasihan sekali. Berat juga ya?
“Tapi, dik. Agent saya jahat sekali” Katanya mengeluh kepada saya. “Saya dipindahkan terus dari satu agent ke agent yang lain. Dijanjikan pulang setelah dua tahun. Tapi sampai lima tahun saya ditahan terus. Dan inipun setelah saya nekat mau melapor, barulah saya diperbolehkan pulang.” katanya. Perasaan saya tidak enak mendengarkan itu. Bagaimana bisa seorang manusia ditransaksikan sedemikian rupa dari satu agent ke agent yang lain dan dicabut haknya untuk pulang dan bertemu keluarganya begitu saja.
Kami melewati gerbang imigrasi. Saya lihat pasport ibu itu warnanya hijau muda, sedikit berbeda dengan warna kulit pasport saya. Saya tidak tahu,apakah itu cuma variasi warna hijau saja atau memang semua pasport TKI warnanya hijau muda ? Petugas itu bertanya “Lho? Ibu belum pernah pulang dalam 5 tahun terakhir ini ya?” yang dijawab oleh ibu itu ”Ya Pak. Soalnya agent saya menahan saya terus” Petugas itupun bertanya lagi “ Oh, jadi ibu bekerja di sana?” “ Iya, Pak” Petugas lalu memberikan passport ibu itu kembali.
Saya mengajak ibu itu ke rest room, lalu menemani saya mengambil bagasi terlebih dahulu. Ia bercerita bahwa ia terpaksa menjadi TKI, karena mantan suaminya (almarhum) penjudi dan meninggalkan sisa utang sebesar 10 juta rupiah yang harus ia bayar. Jika tidak, maka rumah satu-satunya yang mereka miliki akan disita. “Kalau tidak begitu, bagaimana nasib kedua anak saya dan ibu mertua saya? Tidak bisa makan. Tidak punya tempat tinggal. Saya kangen sekali anak saya. Sudah lima tahun saya ditahan terus di Malaysia. Tidak diperbolehkan ke Indonesia.” Katanya dengan airmata mengambang. Saya jadi ikut terbawa oleh kesedihannya. Saya melihat kemuliaan hati seorang ibu di hadapan saya. Pengorbanan demi anak-anaknya. Betapa menyedihkannya.
Ia juga menyebutkan kepada saya, mengenai besaran penghasilannya dalam ringgit. Ketika saya kurs 1 ringgit = Rp 3 000,- saya agak terkejut. Ternyata hanya sekitar 25% lebih tinggi dari rata-rata gaji pembantu di Jakarta. Sebenarnya banyak juga rumah tangga yang membayar lebih tinggi atau sama dengan itu. Pekerjaannya pun lebih santai dan tidak capek, karena banyak yang membayar 2 atau 3 orang pembantu rumah tangga sekaligus. Bervariasi sih. Dan sayang, ibu itu ternyata tidak tahu berapa kurs ringgit. Sehingga tidak tahu, berapa jumlah gajinya dalam rupiah. Weleh! Pahit bener!. Dan lebih pahit lagi mendengarnya, ternyata ibu itu pulang tanpa membawa uang. Uangnya masih disimpan majikannya. Katanya nanti akan ditransfer. Ya..ampuuun!.
Menjelang pintu keluar, dua orang petugas menghampiri kami. Seorang wanita muda yang sangat cantik dalam pakaian dinasnya ditemani oleh seorang pria. Ia minta agar ibu itu menunjukkan pasportnya. Saya menghentikan langkah saya. Petugas mempersilakan saya keluar. Saya tidak bergerak, karena saya sudah berjanji kepada ibu itu untuk menolongnya pulang. Wanita cantik itu berkata, bahwa ibu itu seharusnya melewati jalur khusus TKI. Ooh, OK. Saya tidak ngeh sebelumnya. Salah ya?
Lalu saya bertanya, proses apa yang harus dijalani oleh ibu itu dan berapa lama? Saya akan menunggunya sampai selesai. Wanita itu menolak menjelaskan kepada saya prosesnya dan menyuruh saya meninggalkan saja ibu itu, karena nanti akan ada yang mengantarkannya pulang. Ibu itu merengek, minta tolong jangan ditahan. Ia ingin dilepaskan karena ingin ikut saya, cepat pulang dan cepat bertemu anaknya. Tapi petugas tetap menyuruhnya lewat jalur itu. Karena begitu peraturannya. Oke, kalau begitu aturannya, saya membujuk ibu itu untuk mengikuti prosedur yang benar. Sebagai warga negara yang baik, sebaiknya kita mentaati aturan dengan baik.
Ibu itu merengek lagi, “Ibu ini saudara saya. Saya ingin ikut dengannya” katanya menunjuk saya. Saya pikir ibu itu sekarang mulai ngacau untuk menyelamatkan dirinya. Saya tidak mau dilibatkan dalam sebuah kebohongan. Akhirnya saya jelaskan apa adanya kepada petugas “ Saya bukan saudaranya. Saya hanya penumpang biasa yang kebetulan bertemu dengannya di pesawat. Merasa kasihan dan bersedia membantunya. Saya akan menunggu di luar. Silakan di proses”.
Saya tidak mau melakukan sebuah pelanggaran apapun. Saya hanya mau menolong orang yang kesusahan. Tapi tidak mau menolong orang melakukan pelanggaran hukum. Saya lalu bertanya kepada petugas, apa yang akan dilakukan oleh petugas terhadap ibu itu? Petugas tidak mau menjelaskan kepada saya. “Nanti ibu akan tahu di sana saja” kata wanita cantik itu kepada ibu TKI itu tanpa menjawab kepada saya. Aneh juga!. Berala lama? Sejam? Dua jam? Sehari? Dua hari? Seminggu? Aneh!. Petugas tetap menyuruh saya pulang saja dan jangan menunggu. Meyakinkan saya,bahwa ibu itu pasti akan diantarkan pulang.
Karena saya tahu ibu itu tidak membawa uang, lalu saya bertanya lagi kepada petugas, apakah Ibu itu nantinya perlu melakukan suatu pembayaran kepada petugas? Ibu itu mengatakan bahwa ia tidak punya uang jika harus membayar sesuatu kepada petugas. Mendadak saya lihat wajah wanita cantik itu berubah ketus dan suaranya kedengeran seperti membentak di telinga saya “ Nah itulah masalahnya, kenapa ibu tidak mebawa uang? Sudah berapa lama ibu bekerja ?” . Ibu itu menjawab setengah menangis” Lima tahun”. Wanita itu bertanya lagi. ” Mengapa lima tahun bekerja , tidak membawa uang?”. Gila!! Aneh banget sih menurut saya pertanyaannya. Apa memang harus begitu ya? Saya bingung deh melihat pemandangan itu.
Ini baru pertamakalinya saya melihat adegan seperti ini. Saya melihat ke wajah ibu itu. Matanya mulai berkaca-kaca. Sinar matanya penuh permintaan pertolongan kepada saya. Namun saya tidak bisa menolongnya. Karena saya juga tidak mengerti bagaimana aturan kepulangan TKI di negara kita. Dan saya pikir, sebaiknya setiap warga negara harus mengikuti peraturan yang berlaku. Saya urungkan niat saya untuk memberinya uang ala kadarnya untuk sekedar bekal. Karena saya takut nanti malah mempersulit keadaannya. Tapi saya merobek secarik kertas dan meninggalkan nomor telpon saya, seandainya ia masih ingin berteman dengan saya suatu saat nanti. Lalu saya mengucapkan selamat tinggal dan berdoa semoga semuanya berjalan baik-baik saja. Semoga negara memelihara dan melindunginya dengan baik.
Sayapun keluar. Masih sempat saya mendengar suara petugas itu yang memerintahkan ibu itu untuk berjalan lurus terus sampai ke gerbang di mana ada tulisan “ Selamat Datang Pahlawan Devisa”. Saya mendengarnya dengan getir. Mengapa pahlawan devisa diketusin ya? Hati saya rasanya seperti teriris. Pilu.
Di perjalanan pulang, tatapan mata ibu itu terbayang terus di mata saya. Saya baru saja menyaksikan sepenggal drama kehidupan seorang Ibu yang berusaha membantu memecahkan kesulitan keluarganya dengan segala kepahitan dan kegetiran yang harus dijalaninya. Seorang wanita yang mulia.
Tak terasa air mata saya meleleh …