Rasa kesal, marah dan benci terkadang muncul di hati kita manusia. Banyak yang mungkin menjadi pemicunya. Bisa jadi berasal dari diri orang yang membuat kita marah itu. Bisa juga berasal dari diri kita sendiri.
Yang berasal dari kesalahan yang dilakukan oleh orang lain terhadap kita, misalnya jika orang itu berkata ketus pada kita. Atau menggossipkan kita di belakang. Melecehkan kita. Selalu kepo dan mencari gara-gara dengan kita. Mengkhianati kita. Bersikap sombong. Memfitnah kita. Mengambil hak kita tanpa ijin. Melakukan kekerasan fisik pada kita. Dan sebagainya. Rasa tidak suka kita terhadap orang itupun muncul. Tentu dengan level ketidaksukaan yang bergradasi. Mulai dari level agak tidak suka-tidak suka-sangat tidak suka-amat sangat tidak suka dan seterusnya berkembang menjadi rasa benci.
Rasa benci kadang dipicu oleh hal lain yang sebenarnya bukan karena ia berbuat sesuatu yang salah atau jahat terhadap kita, tapi justru berasal dari diri kita sendiri. Misalnya karena melihat orang lain sukses kita iri. Melihat orang lain yang sangat kolokan diladeni, kita juga ingin diperhatikan lebih. Atau karena melihat gaya bicara, tingkah laku orang itu kita tidak suka. Atau gara-gara mengetahui kejumawaan seseorang yang sebenarnya tidak merugikan kita juga. kita tidak senang. Dan lain sebagainya.
Banyak ya faktor faktor pemicu yang menyebabkan rasa benci bisa bersemai di hati kita manusia. Tidak usah jauh-jauh. Jika kita tengok di dunia maya, sering sekali kita mendengar kata ‘Haters’ alias para pembenci. Ada hatersnya Pak Jokowi, hatersnya Pak Prabowo, hatersnya Haji Lulung, hatersnya Pak Ahok, hatersnya Agnes Monica, hatersnya Ahmad Dani dan banyak lagi haters lain. Haters partai politik tertentu. Haters club olah raga tertentu. Haters agama tertentu, bahkan haters bangsa tertentu. Kalau kita iseng iseng menscroll-down komentar-komentar haters ini, sungguh membuat kita geleng-geleng kepala akan level kebencian yang mungkin menghuni diri seseorang. Sangat memprihatinkan.
Sekarang pemerintah mulai menggulirkan Undang-undang yang akan menjerat jika kita suka menebar kebencian. Saya rasa itu akan sedikit membantu mengurangi ekspresi kebencian, walaupun saya juga tidak begitu tahu bagaimana akan peliknya dalam mengeksekusi.
Namun terlepas dari Undang-Undang itu, barangkali yang lebih penting bagi diri kita adalah bagaimana kita sendiri berusaha meredam atau setidaknya mengurangi rasa kesal, rasa marah dan benci di dalam hati kita masing-masing. karena sebenarnya, apapun penyebabnya kita tidak pernah diuntungkan jika rasa kesal,marah dan benci ini ada di hati kita.
Ketika kita marah pada seseorang, seketika itu fisiologi tubuh kita terganggu.Seringkali kita merasakan aliran darah makin deras ke jantung. Makin deras ke kepala. Jika diukur, tekanan darah kita juga meningkat. Kepala kita pusing. Tidak enak makan. Susah tidur. Akibatnya kesehatan kitapun berada dalam resiko. Lah.. terus yang rugi diri kita sendiri dong? Sementara orang yang kita benci mungkin saat ini sedang menikmati hidupnya dengan jauh lebih sehat dari kita.
Kadang-kadang ketika marah, kita langsung mengomel. Sebenarnya ini juga kurang menguntungkan. Karena ketika kita mengomel-ngomel, sungguh wajah kita tidak ada menariknya sama sekali. Kecantikan kita pergi saat kita mengomel. Jadi bukan pilihan juga ya. Selain itu orang lain yang melihat kita mengomel dan tidak tahu duduk permasalahannya bisa jadi akan memiliki image buruk di kepalanya tentang diri kita.
Yang lebih parah lagi, jika saking marahnya merasa teraniaya, lalu kita menyumpahin orang itu. Kita berlindung pada kalimat bijak yang mengatakan bahwa ‘Doa yang keluar dari orang-orang yang teraniaya pasti akan dikabulkan’. Contohnya adalah doa ibu Malin Kundang. Waktu kecil kita membaca tentang dongeng ini. Bahwa ibu Malin yang teraniaya oleh kesombongan dan kedurhakaan anaknya tak mampu lagi membendung kepedihan hatinya. Akhirnya ibu Malin Kundang berdoa agar anaknya yang durhaka itu dihukum dan dijadikan batu. Walhasil,.. badai petir dan gelombang yang dahsyat menghantam kapal si Malin yang durhaka. Kapalnya pecah dan kandas. Si Malin akhirnya menjadi batu.
Terlepas benar tidaknya kisah ini (namanya juga dongeng), cerita ini memang berhasil mengajarkan jutaan anak-anak Indonesia agar tidak berbuat durhaka terhadap orang tuanya. Tetapi saya yakin dongeng ini tidak bermaksud mengajarkan kita “Jika kamu teraniaya doakanlah orang yang menganiayamu agar sesuatu yang buruk terjadi padanya“.
Ketika orang lain berbuat buruk,berbuat jahat terhadap kita, tentu Tuhan akan melindungi kita dan mengabulkan doa kita karena kita berada di posisi sebagai orang baik. Kita tidak berpikiran buruk, tidak berkata buruk dan tidak berbuat buruk terhadap orang lain. Namun begitu kita mulai mengucapkan sumpah dan doa agar orang lain mengalami sesuatu yang buruk, maka timbangannya sekarang berbalik. Mendoakan orang lain mengalami hal buruk adalah sesuatu yang jahat. Kalau begitu, sekarang penjahatnya pindah dong? Bukan lagi orang yang membuat kita sengsara dan teraniaya, tetapi penjahatnya sekarang justru diri kita sendiri.
Dalam sekejap, kita yang tadinya baik langsung menjadi jahat. Dan tentu saja Tuhan tidak mengabulkan doa orang jahat.
Poin saya di sini, adalah bahwa jarak kebaikan dengan kejahatan itu sangat dekat letaknya. Orang tua di Bali mengatakan “Ragadi musuh meparo. Ring ati tonggwanya tan madoh ring awak” – yah.. terjemahan cepat dan bebasnya adalah musuh terbesar itu ada di dalam hati kita sendiri.
Semuanya ada di dalam hati kita. Dan dengan mudah ia bisa bertukar rupa. Jika kita ingin tetap baik, dibutuhkan hati yang kuat agar kebaikan kita tidak cepat berubah menjadi kejahatan.
Jika mau berdoa, doakanlah sesuatu yang baik, untuk diri kita sendiri dan juga untuk orang yang telah mendzolimi kita. Misalnya doakan agar hatinya senang sehingga ia sibuk dengan dirinya dan tidak ingat untuk menjahati kita. Atau misalnya jika ada yang berbuat jahat terhadap kita di kantor dan kita sudah tidak tahan lagi berada di dekatnya, doakan agar ia mendapat promosi jabatan di perusahaan lain sehingga tidak menjahati kita lagi. Atau jika hati kita tidak ikhlas ya…tidak usah didoakan apa apalah.
Memelihara rasa kesal, marah dan benci rupanya lebih banyak memberikan kerugian bagi diri kita sendiri. RUGI!. Mungkin cara terbaik adalah dengan berusaha keras menyelesaikan masalahnya. Jika pun kita tak mampu menyelesaikannya dengan baik, mungkin kita harus memaksa diri kita agar segera melupakannya. Agar kita bisa melangkah ke depan dengan riang kembali.
Rasanya memang lebih mudah ngomong daripada mempraktekannya ya… Tapi mari kita sama-sama mencoba. Karena kalau kita tidak mulai mencoba lalu bagaimana kita akan berhasil?
Ayo kita move on!.